Efek Kebut Proyek Strategis Nasional di Rempang hingga IKN
Sewindu proyek strategis nasional dijalankan, masih ada beberapa lokasi proyek yang dihadapkan pada masalah konflik lahan yang tidak bisa diselesaikan dalam sekedipan mata.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Sejak 2016, pemerintah telah menyelesaikan 161 proyek strategis nasional atau PSN di seluruh Indonesia, mulai dari sistem air minum, jalan tol, bandara, bendungan, hingga industri. Namun, sesuai revisi daftar PSN dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023, Agustus lalu, masih ada sekitar 50 proyek dan program yang harus diselesaikan.
Hadir memberikan pembukaan acara Sewindu Proyek Strategis Nasional di Jakarta, Presiden Joko Widodo mengakui, penyelesaian PSN itu tidak lepas dari masalah pembebasan lahan yang menjadi masalah utama dalam implementasi rencana pembangunan.
”Tapi, karena Menteri BPN-nya mantan Panglima TNI, nah itu, memudahkan. Pak Hadi ini kalau ada persoalan lahan, ke bawah, senyum gitu aja rampung semua. Baru senyum, belum diem, kalau diem urusan pembebasan lahan rampung,” ujar Jokowi, Rabu (13/9/2023).
Hal itu disampaikan di hadapan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto, yang juga hadir dalam acara tersebut.
Kementerian ATR/BPN dinilai cepat menyertifikasi 106 juta dari 126 juta bidang tanah yang harus dilegalkan.
Sertifikasi itu, antara lain, dibutuhkan untuk melancarkan pengadaan lahan PSN dan memberikan kepastian kepemilikan lahan oleh rakyat.
Dalam hal penggunaan lahan rakyat untuk PSN, Jokowi mengingatkan agar masalah itu segera dicarikan solusi inovatif tanpa menggunakan pendekatan represif. Pendekatan ganti rugi atau ganti untung diyakini membuat masyarakat senang. Hal ini, menurut dia, perlu dilakukan salah satunya untuk menyelesaikan konflik terkait pengerjaan PSN di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
”Tadi malam saya telepon Kapolri. Ya, salah komunikasi saja di bawah, salah mengomunikasikan. Diberi ganti rugi, diberi lahan, diberi rumah, tapi mungkin lokasinya belum tepat. Itu yang harusnya diselesaikan. Masa urusan kayak gitu sampai Presiden,” ujarnya.
Seperti diketahui, awal September ini terjadi konflik karena warga Rempang menolak rencana relokasi 16 kampung adat Melayu yang ditawarkan pemerintah. Sementara itu, di wilayah mereka akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City. Proyek itu digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) dan ditargetkan bisa menarik investasi sebesar Rp 381 triliun hingga tahun 2080 (Kompas.id, 12/9/2023).
Adapun warga meminta pembangunan proyek Rempang Eco City dilakukan tanpa penggusuran karena kampung adat hanya mengokupansi sekitar 10 persen dari total luas lahan di Pulau Rempang. Sementara itu, pemerintah daerah menawarkan lokasi relokasi seluas 450 hektar di Pulau Galang. Di sana akan dibangun 2.700 rumah tipe 45 di atas lahan 500 meter persegi, lengkap dengan fasilitas esensial warga.
Namun, mengingat proses pembangunan tempat relokasi butuh waktu lebih dari dua tahun, pemerintah kota menawarkan warga rumah susun dan rumah tapak untuk ditinggali sementara hingga uang Rp 1,2 juta per bulan kepada setiap keluarga untuk menyewa tempat sesuai dengan keinginan mereka.
Dalam ketidaksiapan dan penolakan warga tersebut, polisi justru menurunkan pasukan ke empat kampung. Aparat memaksa kampung harus segera dikosongkan untuk mendirikan industri kaca investasi China hingga menara ikon Rempang Eco City. Hal ini mengikuti target penyerahan lahan kepada PT MEG paling lambat pada 28 September 2023.
Selain PSN di Pulau Rempang, proyek lain yang juga masih dipermasalahkan adalah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur Saiduani Nyuk dalam diskusi daring bertajuk ”Sketsa Masa Depan Pembangunan IKN dan PSN Pasca-Pemilu 2024” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Rabu lalu, menyoroti kekhawatiran adanya pengusiran masyarakat adat di lokasi proyek.
Sejauh ini, pemerintah menawarkan relokasi bagi masyarakat terdampak pembangunan IKN, khususnya komunitas masyarakat adat di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
”Relokasi bukan solusi yang adil bagi masyarakat adat yang memiliki ketergantungan hidup pada alam dan keterikatan dengan situs sejarah leluhur. Relokasi komunitas masyarakat adat pada kawasan ini sama artinya dengan upaya genosida masyarakat adat,” ujarnya.
Saiduani mengatakan, masyarakat adat sesungguhnya tidak menolak IKN. Namun, hingga saat ini tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memastikan jaminan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat.
Pada kesempatan sama, dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Mustofa Agung Sardjono, menyampaikan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan PSN yang terkesan diburu-buru cenderung tidak mempertimbangkan aspek sosial dan tanpa solusi penanganan yang serius.
”Selain persoalan eksistensi masyarakat adat, isu sosial lainnya yang juga perlu diselesaikan dengan tuntas yaitu terkait potensi eksodus migran dalam kaitannya dengan perekonomian dan identitas kultural, serta potensi kerawanan konflik vertikal dengan investor dan konflik horizontal dengan kelompok masyarakat jika asimilasi tidak berjalan dengan optimal,” tuturnya.
Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa menyampaikan, ambisi untuk mewujudkan IKN sebagai salah satu smart city, smart metropolis, dan forest city pertama di dunia tidak seharusnya mengabaikan fenomena tuntutan masyarakat adat sekitar IKN tersebut.
Ini juga diharapkan menjadi perhatian pada pembangunan PSN lainnya di Indonesia. Masyarakat adat dan komunitas lokal diharapkan tidak terusir dari tanah kelahirannya karena kebut-kebutan pembangunan PSN.