RI membidik potensi kerja sama ekonomi setara Rp 490,5 triliun melalui KTT Ke-ASEAN. Pemerintah perlu mengawal peluang itu, termasuk menjamin kendala klasik yang sering menghambat realisasi investasi infrastruktur.
Oleh
AGNES THEODORA
·5 menit baca
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida berbicara di Forum ASEAN-Indo Pasifik di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (6/9/2023). Jepang akan mempromosikan kerja sama untuk memperkuat konektivitas di enam isu, mulai dari pengembangan infrastruktur hijau, konektivitas digital, hingga resiliensi rantai pasok.
JAKARTA, KOMPAS — Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN telah resmi diakhiri. Agar tidak berujung menjadi wacana, banjir tawaran proyek kerja sama dari negara-negara lain di kawasan yang dikumpulkan melalui Forum ASEAN-Indo Pasifik perlu dikawal realisasinya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara.
Hingga hari terakhir perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, Indonesia membidik potensi kerja sama ekonomi senilai 32 miliar dollar AS atau setara Rp 490,59 triliun melalui kegiatan penjajakan bisnis (business matching) yang dilakukan selama dua hari penyelenggaraan Forum ASEAN-Indo Pasifik (AIPF).
Ada total 50 proyek kerja sama yang melibatkan Indonesia dan mayoritas berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Misalnya, pengembangan energi dan migas (lima proyek), pembangunan jalan tol (sembilan proyek), pelabuhan (lima proyek), kesehatan (enam proyek), pupuk (tiga proyek), infrastruktur (10 proyek), pariwisata (sembilan proyek), serta ekosistem baterai kendaraan listrik dan rantai pasok (tiga proyek).
Secara total, terdapat 93 proyek kerja sama yang terkumpul antara negara-negara ASEAN dan mitra di kawasan Indo-Pasifik dan luar kawasan. Nilainya mencapai 38,2 miliar dollar AS atau setara Rp 585,6 triliun. Terkumpul pula 73 proyek kerja sama potensial senilai 17,8 miliar dollar AS atau setara Rp 272,8 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, tingkat kegagalan kerja sama ekonomi tersebut akan tinggi jika potensi yang terkumpul tidak segera ditindaklanjuti oleh setiap negara di kawasan. Oleh karena itu, Indonesia telah mengelompokkan potensi proyek berdasarkan skala prioritas dan potensi realisasinya.
”Ini harus benar-benar kita jaga satu per satu supaya menjadi realita. Indonesia sendiri sudah mengategorikan, ada proyek jangka pendek, menengah dan panjang. Kita akan fokus mengejar yang jangka pendek ini dulu,” kata Erick di sela-sela perhelatan KTT ASEAN di Jakarta Convention Center, Kamis (7/9/2023).
Beberapa proyek yang diprioritaskan Indonesia, antara lain, kerja sama rantai pasok kendaraan listrik dengan negara-negara kawasan dan luar kawasan, pembangunan infrastruktur hijau dan energi terbarukan, serta proyek yang berkaitan dengan pengembangan infrastruktur di Ibu Kota Nusantara (IKN). Proyek-proyek prioritas itu sejalan dengan kebutuhan yang dipetakan dalam cetak biru BUMN 2024-2034.
Tidak hanya menarik investasi dan pendanaan untuk pembangunan di dalam negeri, Indonesia juga akan terlibat dalam proyek kerja sama yang ditawarkan oleh negara tetangga lain di ASEAN. Contohnya, Filipina mengajak Indonesia untuk membangun kereta api di negara tersebut. Posisi Indonesia sebagai produsen besi dan baja bisa mendorong realisasi proyek yang tidak bergantung pada impor.
Apalagi, PT INKA (Persero) juga tengah memperluas pembangunan pabrik di Banyuwangi, Jawa Timur, yang semakin menegaskan posisinya sebagai BUMN produsen kereta api terbesar se-Asia Tenggara. ”Kebutuhan gerbong kita ke depan tidak akan kekurangan dan kita tidak terjebak mengimpor gerbong. Apalagi, sekarang ada market baru di luar negeri,” kata Erick.
Isu logistik
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah mesti benar-benar mengawal potensi kerja sama ekonomi yang sudah terkumpul agar hasil KTT ASEAN tidak berujung menjadi wacana. Isu yang sering dikeluhkan investor dalam pembangunan infrastruktur seperti urusan pembebasan lahan, pemberian insentif dan pembiayaan, serta perizinan, perlu diatasi sejak awal.
”Investor perlu kepastian dan kemudahan. Memang dalam forum AIPF sudah terkumpul minat dan komitmen, tetapi itu kerap terkendala eksekusinya sehingga hambatan-hambatan itu harus segera dipetakan dan disikapi sejak awal,” kata Faisal.
Ia menilai, untuk menguatkan posisi ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan di panggung dunia, logistik menjadi kunci penting. Biaya logistik yang lebih efisien berkat infrastruktur memadai akan melancarkan perdagangan intraregional di ASEAN, termasuk mendukung cita-cita ASEAN untuk menjadi pusat produksi kendaraan listrik dan industri lainnya.
Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah pasca Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yaitu mengoneksikan perdagangan sesama ASEAN serta menjadikan ASEAN tidak hanya pusat pasar global, tetapi juga pusat produksi global. ”Untuk mencapai tujuan itu, isu logistik yang masih kentara karena gap infrastruktur yang tajam di kawasan perlu diatasi,” katanya.
Berdasarkan estimasi kajian Bank Pembangunan Asia (ADB), negara-negara ASEAN membutuhkan total dana investasi sekitar 2,8 triliun dollar AS sampai 3,1 triliun dollar AS hingga tahun 2030 untuk pengembangan infrastruktur. Artinya, setiap tahun, dibutuhkan 184 miliar dollar AS sampai 210 miliar dollar AS untuk membiayai pembangunan infrastruktur di kawasan.
Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansury mengatakan, AIPF diharapkan bukan sekadar menjadi forum diskusi rutin, melainkan juga membuahkan kerja sama konkret antara para negara mitra dan ASEAN sebagai motor utamanya. Agar lebih mengikat, daftar proyek-proyek kerja sama itu dimasukkan dalam bagian lampiran dalam dokumen deklarasi para pemimpin ASEAN.
”Kita harapkan proyek-proyek yang sudah kita identifikasi ini bisa direalisasikan supaya AIPF bukan sekadar menjadi forum diskusi saja,” katanya.
Mengejar ketertinggalan
Ia mengatakan, sejalan dengan cetak biru BUMN 2024-2034, Indonesia sedang berusaha mengejar pembangunan infrastruktur berskala internasional. Infrastruktur menjadi syarat dasar untuk memuluskan jalan Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045. Ia pun membandingkan Indonesia yang masih tertinggal dengan negara-negara adidaya.
”Amerika Serikat itu sudah membangun 30.000 kilometer jalur kereta api sejak tahun 1860, Korea Selatan sudah mengalokasikan 50 persen APBN-nya sejak 1960 untuk membangun infrastruktur. Nah, kita sekarang lagi mencoba mengejar ketertinggalan itu,” ujarnya.
Pembangunan IKN juga tidak luput dari fokus pemerintah. Erick mengatakan, dari hasil penjajakan bisnis selama perhelatan AIPF, cukup banyak negara yang menyatakan minat berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan sektor penunjang lainnya di IKN.
Pemerintah memang sedang berusaha menarik minat investasi sebanyak-banyaknya dari sektor swasta untuk pembangunan IKN karena kapasitas APBN yang terbatas untuk membiayai proyek besar itu.
Berdasarkan daftar tawaran proyek yang diusulkan Indonesia untuk dikerjasamakan lewat AIPF, ada empat proyek investasi dan pendanaan yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur IKN, antara lain, inisiatif pendanaan pembangunan IKN dengan Korea Selatan melalui Program Economic Innovation Partnership (EIPP) yang fokus pada pembangunan infrastruktur dasar, manufaktur, dan kota cerdas. Ada pula tawaran proyek yang terkait dengan pembangunan instalasi pengolahan air (IPA) bebas emisi di IKN berkapasitas 30.000 meter kubik per hari dengan Korea Selatan.