Negara ASEAN Masih Menghadapi Kesenjangan Pembiayaan Infrastruktur
Total dana investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan infrastruktur di negara-negara ASEAN tidak kecil. Namun, masih ada problem klasik berupa kesenjangan pembiayaan infrastruktur yang nyata.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan pembiayaan infrastruktur yang dihadapi negara-negara Asia Tenggara semakin kompleks di tengah ancaman nyata perubahan iklim dan kapasitas fiskal pemerintah yang tertekan akibat pandemi. Di tengah berbagai kendala itu, upaya menarik minat sektor swasta untuk ikut berinvestasi di proyek pembangunan infrastruktur tidak selalu mudah.
Kajian Bank Pembangunan Asia (ADB) mengestimasi, negara-negara ASEAN membutuhkan total dana investasi 2,8 triliun dollar AS sampai 3,1 triliun dollar AS hingga tahun 2030 untuk pengembangan infrastruktur. Artinya, setiap tahun dibutuhkan 184 miliar sampai 210 miliar dollar AS untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Untuk kasus Indonesia, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dibutuhkan total dana Rp 6.445 triliun untuk penyediaan infrastruktur. Dari nilai tersebut, pemerintah melalui APBN dan APBD hanya mampu menyediakan dana Rp 2.385 triliun, BUMN/BUMD menanggung Rp 1.353 triliun, sedangkan sisanya diharapkan bisa dipenuhi dari investasi sektor swasta, yakni Rp 2.707 triliun.
Dalam acara High Level Dialogue on Promoting Sustainable Infrastructure Development dalam rangka Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) Ke-2 yang digelar di Jakarta, Kamis (24/8/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, total dana investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan infrastruktur di ASEAN tidak kecil.
Kendati demikian, masih ada problem klasik berupa kesenjangan pembiayaan infrastruktur (infrastructure gap) yang nyata, alias selisih antara kebutuhan pendanaan untuk penyediaan infrastruktur dan realisasi dana yang tersedia.
”Kesenjangan ini berdampak pada daya saing dan produktivitas suatu negara. Pemerintah sendiri telah mengalokasikan anggaran khusus untuk infrastruktur, tetapi itu tidak bisa ditanggung sendiri. Perlu dukungan pendanaan yang signifikan dari sektor swasta,” kata Sri Mulyani dalam sesi dialog bersama menteri dan pejabat kementerian keuangan se-ASEAN itu.
Untuk kasus Indonesia, 42 persen dari kebutuhan pendanaan infrastruktur itu perlu dibantu swasta. Ia mengakui, masih ada kendala dalam hal membuat perencanaan proyek investasi infrastruktur yang menarik bagi investor swasta (investment-ready project pipelines).
”Investor swasta sebenarnya bersedia berpartisipasi, tetapi mereka tentu mengharapkan return yang setimpal dan risiko yang minim. Risiko ini yang masih jadi kendala terbesar. Ada risiko politik, risiko kebijakan yang berubah-ubah, risiko bencana, dan lain-lain,” katanya.
Di sisi lain, tidak semua sektor dan daerah memiliki daya tarik yang sama bagi investor. Pembangunan infrastruktur di Jawa, misalnya, lebih mudah menarik investasi ketimbang di luar Jawa. Itu karena populasi di Jawa lebih besar, dengan tingkat daya beli masyarakat yang relatif lebih tinggi ketimbang kawasan di luar Jawa.
”Seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan, dibutuhkan pendanaan publik dulu di awal untuk infrastruktur dasar, sebelum kita bisa menarik lebih banyak investasi swasta untuk infrastruktur pendukung lainnya,” katanya.
Filipina juga menghadapi tantangan unik untuk membiayai pembangunan infrastrukturnya. Sekretaris Departemen Keuangan Filipina Benjamin E Diokno mengatakan, sistem politik di negaranya melarang presiden petahana untuk mencalonkan diri lagi dalam pemilihan umum sehingga pemerintah hanya memiliki masa jabatan selama enam tahun.
Pemerintah Filipina akhirnya fokus pada proyek infrastruktur jangka pendek demi meninggalkan warisan tertentu sebelum masa jabatannya berakhir. Kini, perspektif itu mulai diubah dan pemerintah mulai merancang pengembangan infrastruktur berjangka menengah-panjang.
”Kami sadar, pengembangan infrastruktur kami tertinggal dari negara-negara ASEAN lain karena sistem politik kami. Itu mengapa beberapa tahun terakhir ini kami harus bergantung pada pendanaan eksternal, seperti dari Bank Dunia, ADB, dan negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan,” katanya.
Laporan terbaru ADB, ”Reinvigorating Financing Approaches for Sustainable and Resilient Infrastructure in ASEAN+3”, yang dirilis pada Mei 2023 menyoroti masalah serupa. Dalam kajiannya, ADB menyatakan, kesenjangan pembiayaan infrastruktur di negara-negara ASEAN semakin menantang pascapandemi.
Itu karena anggaran pemerintah sudah banyak terpakai untuk membiayai kebutuhan saat pandemi. Selain itu, tingkat utang pemerintah juga meningkat selama pandemi, sedangkan laju penerimaan negara melambat. Sementara itu, menarik investasi swasta tidak selalu mudah.
Meski pandemi sudah berlalu, arus investasi asing untuk pembiayaan infrastruktur di ASEAN belum kembali ke level prapandemi. Persepsi bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab pemerintah membuat sektor swasta enggan masuk.
Keraguan investor semakin menjadi-jadi di tengah instabilitas politik, inkonsistensi kebijakan, dan minimnya perencanaan proyek investasi yang menarik dengan imbal hasil investasi (return) setimpal dan minim risiko. Ancaman krisis iklim yang semakin nyata juga menambah kompleksitas dalam mencari pendanaan infrastruktur.
Menteri Keuangan Thailand Arkhom Termpittayapaisith mengatakan, agar lebih mudah menarik investasi swasta, pemerintah kini perlu menyesuaikan perencanaan infrastrukturnya dengan isu perubahan iklim. Ia mencontohkan, pembangunan pusat kesehatan di Thailand saat ini tidak hanya sebatas mendirikan bangunan dan menyediakan alat kesehatan, tetapi memastikan bangunan itu sudah hemat energi.
”Karena ketika kami bicara dengan ADB, rekomendasinya kami harus memastikan proyek itu hemat energi dan ramah lingkungan. Jadi, sekarang elemen-elemen tambahan seperti itu harus dimasukkan dalam perencanaan proyek infrastruktur kami,” ujarnya.