Pertamina International Shipping Berencana Beli Kapal LNG
Saat ini, Pertamina International Shipping memiliki 98 kapal, termasuk di antaranya mengangkut minyak mentah, BBM, dan elpiji. Hingga 2027, diperlukan investasi lebih dari 50 kapal.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina International Shipping, anak usaha PT Pertamina (Persero), bersiap mengakuisisi kapal pengangkut gas alam cair (liquified natural gas/LNG). Kendati masih menunggu kepastian proyek yang ada, akuisisi ditargetkan dapat dimulai tahun ini. Bisnis pengangkutan LNG dinilai akan kian potensial dalam transisi energi ke depan.
Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Yoki Firnandi di sela-sela diskusi ”Navigating the ASEAN’s Logistics Landscape: Overcoming Complexity for Success” di Jakarta, Rabu (6/9/2023), mengatakan, salah satu bentuk partisipasi PIS dalam LNG yakni keikutsertaan dalam tender proyek gasifikasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Ia menambahkan, untuk masa mendatang, PIS juga akan semakin mengambil peran dalam bisnis LNG. ”Dengan Pertamina Group, misalnya, kan ke depan ada Masela yang merupakan lapangan gas besar meski baru berproduksi pada 2030. Ada juga (proyek) Tangguh Train 3. Kami siap (dalam bisnis pengangkutan LNG),” kata Yoki.
Sementara untuk ke luar Indonesia, kata Yoki, produksi gas di dunia diprediksi akan terus tumbuh, terutama di kawasan Timur Tengah dan Amerika Utara, yang akan membutuhkan sarana transportasi. Padahal, pada 2028, diperkirakan ada kekurangan (shortage) sarana angkutannya hampir 30 persen. Peluang itu yang coba ditangkap oleh PIS.
Terkait rencana akuisisi kapal LNG jelang akhir 2023, Yoki belum dapat berkomentar lebih jauh. ”Tahun ini kami berharap ada, tetapi prasyaratnya kepastian project. Mungkin ada beberapa yang akan kami realisasikan. Namun, yang jelas, (LNG) ini perspektifnya jangka panjang. Akan menjadi tema besar dalam konteks pengembangan bisnis kami,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk kebutuhan domestik, pemilikan kapal pengangkut LNG dapat dilakukan dengan membeli/akuisisi kapal tua. Namun, untuk perdagangan internasional atau antarnegara dan benua akan dibutuhkan kapal baru yang lebih modern, ramah lingkungan, dan konsumsi bahan bakar yang lebih minim.
Saat ini, kata Yoki, PIS memiliki 98 kapal, termasuk di antaranya mengangkut minyak mentah, bahan bakar minyak, dan elpiji. Sementara pada 2027, pihaknya ditarget memiliki 130 kapal dengan berbagai jenis angkutan. ”Tetapi bukan berarti tinggal menambah 32 kapal karena ada kapal-kapal yang perlu peremajaan juga. Investasi yang diperlukan hingga 2027 lebih dari 50 kapal,” katanya.
Menurut Yoki, sebagai bagian dari perusahaan energi, PIS memiliki fondasi yang kuat sehingga lebih bisa bersaing dibandingkan dengan perusahaan pengangkutan swasta. Dengan modal tersebut, PIS pun terus mengembangkan usahanya ke pasar luar negeri demi tumbuh serta menangkap peluang yang lebih besar.
Logistik kawasan
Dalam diskusi panel Rabu, Yoki mengemukakan, PIS menjalankan dua peran dalam berbisnis. Pertama, PIS mendukung aktivitas PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan induk. Kedua, PIS melakukan bisnis di luar Pertamina.
Pengembangan perlu terus dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi di Asia, termasuk Asia Tenggara, sangatlah pesat. ”Maka, (pertumbuhan ekonomi) itu perlu didukung perkembangan logistik di kawasan. Setelah Covid-19, kami mengembangkan logistik, baik dari angkutan maupun sarana infrastrukturnya,” kata Yoki.
Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menuturkan, di tengah pertumbuhan ekonomi ASEAN, yang perlu difokuskan lebih dulu ialah dibentuknya standar mengenai perlogistikan di kawasan. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan yang hendak ditetapkan. Dengan itu, diharapkan pengembangan energi hijau bisa mulus.
”Sementara di Indonesia, infrastruktur telah dibangun masif seperti pelabuhan dan bandara. Namun, bagaimanapun masih ada tantangan mengingat banyak pulau kecil di Indonesia. Dibutuhkan strategi dalam menghubungkan semua itu,” ujar Jodi.
Senior Partner and Managing Partner of McKinsey & Company Indonesia Khoon Tee Tan mengemukakan, ASEAN terus tumbuh dalam sepuluh tahun terakhir terkait dengan pengembangan logistik kawasan. Namun, tetap masih ada ruang untuk meningkatkan konsolidasi. Begitu juga digitalisasi yang bisa terus dipacu guna mendukung produktivitas.
”Dalam sepuluh tahun ke depan, kami melihat ASEAN akan semakin baik. Juga lebih green (hijau) serta penggunaan teknologi yang lebih maju. Investasi-investasi di negara-negara ASEAN ke depan akan membuat perlogistikan menjadi lebih inklusif,” kata Khoon Tee Tan.