KTT ASEAN Dinilai Tak Cukup Mengakomodasi Problem Masyarakat Sipil
Koalisi masyarakat sipil menilai hajatan ASEAN Summit 2023 ini sebagai forum yang ekslusif dan bersifat elitis. Hajatan tersebut dipandang tidak cukup melibatkan masyarakat sipil dalam membahas isu-isu di kawasan.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Permasalahan mengenai pekerja informal di kawasan dinilai bertentangan atau bersifat paradoks dengan tema yang diusung dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-43. Selain itu, Koalisi Masyarkat Sipil Indonesia menilai hajatan tersebut tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat luas sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan seperti pekerja migran dan transisi energi.
Hal ini mengemuka dalam deklarasi Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia menyikapi ASEAN SUMMIT ke-43, di Jakarta, Rabu (6/9/2023). Koalisi masyarakat sipil Indonesia ini terdiri atas Migrant Care, Infid, Aman Indonesia, Oxfam, Jaringan Buruh Migran, Serikat Buruh Migran Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Penabulu Foundation, dan Kapal Perempuan.
Program Officer for Sustainable Development Goal’s (SDGs) Infid Angelika Fortuna Dewi Rusdy menjelaskan, selama terlibat dalam forum ASEAN People Forum (APF) di bidang keadilan sosial ekonomi yang berlangsung pada 1-3 September 2023, pihaknya fokus pada isu-isu ekonomi informal atau pekerja sektor informal. Hal ini berkaitan dengan tema yang diusung dalam KTT ASEAN 2023, yakni Epicentrum of Growth atau pusat pertumbuhan.
“ASEAN Summit dengan temanya itu sebetulnya menjadi paradoks. Kita semua (masyarakat) sebagai pemangku kepentingan menjadi pihak yang turut mendorong pertumbuhan. Tapi, saat bicara soal sektor informal dalam ekonomi, itu justru menjadi epicentrum of problem,” katanya.
Menurut Angelika, permasalahan mendasar ini ada pada konsep bahwa para pekerja tersebut tidak diakui secara formal dalam berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi maupun pembangunan. Akibatnya, para pekerja sektor informal rentan mengalami pelanggaran hak-hak dasar sebagai pekerja dan manusia.
Lebih lanjut, dalam APF tersebut, ASEAN dinilai tidak serius mengakomodasi kepentingan para pekerja informal yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi di kawasan. Dalam artikel majalah The ASEAN berjudul "Promoting Decent Work and Protecting Informal Workers", jumlah pekerja informal di kawasan ini diperkirakan mencapai 244 juta pekerja atau sekitar satu per tiga dari total penduduk ASEAN yang mencapai 679 juta jiwa.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menambahkan, forum ASEAN Summit ke-42 tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat sipil terkait berbagai permasalahan kaum marjinal di kawasan seperti pekerja migran, perlindungan perempuan, dan transisi energi yang berkeadilan. Padahal, aspirasi dari masyarakat yang berinisiatif memberikan alternatif dapat menjadi potret bagi para pemimpin ASEAN tentang situasi di akar rumput.
Akar dari ASEAN itu otoritarianisme karena ASEAN pada awalnya adalah blok yang semua pemimpinnya itu otoriter. Peninggalan utamanya yang sampai sekarang menghambat ASEAN berkembang adalah non-interference principal. Kuatnya akar otoriter ini terbukti dengan sikap tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
“Kalau suara-suara itu tidak diakomodasi, proyek-proyek inisiatif yang dilakukan oleh ASEAN itu tidak berbasis pada akar rumput. Artinya, forum ASEAN ini sangat bersifat elitis dan hanya memandang private sector sebagai entitas nonnegara,” ujarnya.
Wahyu berpendapat, Indonesia sebagai negara yang cenderung lebih demokratis dibanding negara lainnya memiliki peluang sekaligus dapat menjadi percontohan dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat sipil. APF sebagai wadah yang menampung berbagai aspirasi masyarakat seharusnya dapat ditindaklanjuti dengan membawanya ke forum resmi.
Selain itu, peran masyarakat sipil juga menjadi sebuah dasar dari organisasi yang terdiri atas 10 negara ini. Hal itu tampak dalam pembukaan piagam ASEAN yang berbunyi “We the People” atau berarti kepentingan rakyat ASEAN di atas segala-galanya.
“Akar dari ASEAN itu otoritarianisme karena ASEAN pada awalnya adalah blok yang semua pemimpinnya itu otoriter. Peninggalan utamanya yang sampai sekarang menghambat ASEAN berkembang adalah non-interference principal. Kuatnya akar otoriter ini terbukti dengan sikap tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia mendeklarasikan bersama bahwa mereka tidak tinggal diam dan selalu proaktif menyuarakan isu-isu, antara lain terkait pekerja migran dan perdagangan orang, ekonomi perawatan yang berkeadilan gender, transisi energi yang cepat, adil, dan transformatif, serta bisnis yang berkelanjutan dan inklusif. Namun, ASEAN hampir sama sekali tidak menyebut peran masyarakat sipil terkait isu-isu tersebut sehingga tidak semakin jauh dengan cita-cita dan keinginan ASEAN sebagai komunitas yang inklusif.
Pekerja migran dan transisi energi
Direktur Eksekutif Synergy Policies Dinna Prapto Rahardjo menyampaikan, mobilitas pekerja migran diatur dengan sangat ketat. Ini karena masing-masing negara tidak memiliki kesamaan standar regulasi yang mengatur mengenai hak pekerja.
“ASEAN tidak memiliki standar yang ideal mengenai pekerja migran. Hal ini menyulitkan untuk proses negosiasi sehingga perlu adanya penyamaan hak antarnegara. Ini penting karena pekerja migran merupakan penunjang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Dinna, pilar-pilar politik, sosial, dan ekonomi perlu ditempatkan secara setara. Sebab, selama ini hanya aspek ekonomi yang dikedepankan, sehingga aspek sosial tidak diperhatikan.
Sementara itu, Head of Program Management Oxfam Siti Khoirun Ni’mah menambahkan, isu transisi energi di kawasan juga menjadi perhatian lebih dari 70 organisasi masyarakat sipil kawasan yang berkumpul pada tanggal 29-31 Agustus 2023 di Jakarta. Mereka sepakat bahwa transisi energi di kawasan perlu dilakukan secara demokratis, memberdayakan, dan adil.
Pesan ini muncul karena adanya permintaan energi yang diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada tahun 2050. Di sisi lain, penggunaan energi di ASEAN masih sarat dengan energi fosil dan sebagian masyarakat masih mengalami kesulitan untuk mengakses energi.
“Oleh sebab itu, perlu mekanisme yang transparan, akuntabel, dan demokratis dengan memastikan informasi terkait program-program energi dan transisi energi bisa diakses oleh masyarakat. Tidak kalah penting adalah untuk membumikan bahasa yang mudah dipahami masyarakat mengingat pembahasan transisi energi sangat teknikal dan tidak mudah dipahami oleh masyarakat,” tuturnya.