Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana sepenuhnya beralih ke BBM dengan emisi lebih rendah? Seperti halnya polusi udara yang tidak hadir tiba-tiba, solusi yang ditempuh tidak bisa seketika. Perencanaan matang perlu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Persoalan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya belum berhenti menjadi perbincangan publik. Transportasi pun menjadi salah satu sektor yang memiliki andil sebagai sumber polutan, selain sektor lainnya. Kenyataannya, bahan bakar minyak yang paling banyak digunakan masyarakat saat ini belum ramah lingkungan.
Pertalite, dengan nilai oktan (research octane number/RON) 90, ialah produk BBM PT Pertamina (Persero) yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Kuota jenis BBM khusus penugasan (JBKP) atau yang dikompensasi pemerintah itu mencapai 32,56 juta kiloliter pada 2023 atau naik 8,9 persen dibandingkan kuota pada 2022.
Saat polusi udara Jakarta menjadi sorotan nasional, bahkan dibahas di Istana Kepresidenan, rencana pemberian subsidi untuk BBM pertamax, dengan RON 92 atau lebih baik dari Pertalite, mengemuka. Namun. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji menyatakan belum ada pembahasan akan itu.
Meski arahnya belum jelas, perbincangan tentang subsidi pertamax itu membuat sebagian warganet resah. Ada kekhawatiran pertalite dihapus dan digantikan pertamax. Dengan kualitas yang lebih baik, tentu akan ada peningkatan harga jual, kecuali jika pemerintah mau merogoh APBN lebih dalam hingga harganya disamakan dengan pertalite.
Sementara dalam rapat dengan Komisi VII DPR, di Jakarta, Rabu (30/8/2023), Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkap rencana menghapus pertalite pada 2024 dan menggantinya dengan produk Pertamax Green 92. Produk tersebut dapat dihasilkan dengan mencampur BBM RON 90 dengan bioetanol sebanyak 7 persen.
Namun, lantaran produksi bioetanol dalam negeri belum memadai, pemenuhan etanol fuel grade diusulkan dengan impor. Artinya, impor gasolin digantikan dengan impor etanol fuel grade. Namun, Nicke menekankan, rencana tersebut sebatas kajian internal Pertamina dan baru akan diusulkan kepada pemerintah.
Keesokan harinya, Kamis (31/8/2023), Menteri ESDM Arifin Tasrif justru balik bertanya jika rencana itu dilaksanakan, siapa yang akan membiayai ongkosnya? Kenyataannya, selama ini, terutama saat harga komoditas bergejolak, APBN kerap ”megap-megap” dalam membiayai subsidi dan kompensasi energi.
Tak bisa seketika
Narasi substitusi BBM sebenarnya berkali-kali digaungkan pemerintah. Dalam ”promosi” sepeda motor listrik, misalnya, kerap disebutkan bahwa populasi sepeda motor BBM saat ini ada lebih dari 120 juta unit dengan pertumbuhan 5-6 persen per tahun. Angka itu menunjukkan tingginya kontribusi sepeda motor pada emisi gas rumah kaca.
Karena itu, polusi udara di Jakarta dan sekitarnya semakin memberi tekanan pada penggunaan BBM, khususnya dengan nilai oktan rendah. Apalagi, dengan tren penurunan produksi minyak bumi, sebagian kebutuhan BBM dalam negeri harus dipenuhi dengan impor. Sudah membebani APBN, tinggi pula kontribusinya pada emisi.
Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana kita sepenuhnya beralih ke BBM dengan emisi lebih rendah? Seperti halnya polusi udara yang tidak hadir tiba-tiba, solusi yang ditempuh tidak bisa dilakukan seketika. Apalagi, bicara pertalite juga berarti bicara tentang BBM yang paling terjangkau masyarakat. Ada potensi inflasi mengintai jika pertalite dihapus.
Solusi impor etanol fuel grade untuk campuran gasolin pun perlu kehati-hatian mengingat impor kerap kali menimbulkan ketergantungan. Apalagi, solusi impor terasa kontra dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati yang diundangkan pada Juni 2023.
Salah satu poin dalam perpres itu ialah adanya peningkatan produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu, paling sedikit sebesar 1,2 juta kL. Pemerintah menugaskan PT Perkebunan Nusantara III (Persero) antara lain untuk rencana investasi, paling sedikit berupa revitalisasi pabrik, pembangunan pabrik gula baru, dan pembangunan pabrik bioetanol.
Peralihan dari premium (RON 88) ke pertalite, yang membutuhkan waktu dan proses, bisa dicontoh dalam rangka peralihan menuju BBM lebih berkualitas. Tentu diperlukan strategi dan pertimbangan agar peralihan berjalan mulus.
Bagaimanapun, tersorotnya udara kotor di Jakarta dan sekitarnya menjadi momentum sekaligus cambuk akan pentingnya pengurangan emisi, termasuk dari sektor transportasi. Namun, jangan sampai kebijakan bersifat reaktif atau tambal sulam. Arah kebijakan yang mendorong penggunaan transportasi publik juga mesti digencarkan.
Perlu ada peta jalan pengurangan emisi sektor transportasi yang terpadu dan berkelanjutan. Bukan wacana kebijakan seperti hendak memadamkan ”kebakaran”. Misalnya hanya saat harga minyak mentah melonjak atau saat polusi udara menjadi sorotan, tetapi lalu menguap sendirinya saat situasi mereda.
Tak perlu jauh-jauh menatap regulasi baru. Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang bertujuan agar penyaluran pertalite tepat sasaran saja tak jelas kelanjutannya. Padahal, narasi ”subsidi salah sasaran” kencang berembus saat harga energi melambung tahun lalu.
Pertamina bahkan sejak 2022 sudah mengenalkan dan menerapkan pemindaian kode QR bagi pengguna pertalite untuk kendaraan roda empat atau lebih lewat program Subsidi Tepat. Penerapan registrasi itu dalam rangka uji coba. Dengan demikian, saat revisi Perpres No 191/2014 diberlakukan kelak, sistem sudah siap. Namun, perpres baru yang ditunggu tak kunjung muncul.
Yang pasti, seiring pulihnya perekonomian pascapandemi Covid-19 kebutuhan energi, termasuk BBM, akan terus meningkat. Semakin lama pengelolaan BBM bersubsidi/kompensasi tak dibenahi, kerugian akan semakin besar dan berlipat. APBN terbebani, emisi tinggi, dan kalangan mampulah yang lebih banyak menikmati subsidi.