Praktik Kerja Layak di Perkebunan Sawit Belum Merata
Status kerja yang berupa buruh harian lepas masih banyak ditemukan. Status seperti ini berkaitan dengan upah dan hak-hak kerja layak lainnya yang seharusnya pekerja itu terima, seperti K3.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik kerja layak di perkebunan kelapa sawit sampai sekarang belum merata. Buruh, pengusaha kelapa sawit, dan pemerintah perlu meningkatkan dialog untuk mencari sosial agar permasalahan seperti itu segera teratasi.
Steering Committee Jejaring Serikat Pekerja-Serikat Buruh Sawit Indonesia (Japbusi) Supardi menyampaikan hal tersebut saat menjadi salah satu pembicara di diskusi ”Penjajahan Buruh di Perkebunan Sawit: Benarkah?”, Kamis (31/8/2023), di Jakarta. Menurut dia, praktik kerja yang belum layak dihadapi pekerja perkebunan sawit berkaitan dengan hal jaminan sosial, hari kerja, status, upah, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), serta lahan.
Perihal jaminan sosial, misalnya, belum semua buruh perkebunan kelapa sawit merupakan peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Kalaupun sudah jadi peserta, perusahaan pemberi kerja hanya mengikutkan mereka di program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). Padahal, program jaminan sosial ketenagakerjaan terdiri dari empat bagian, yaitu JKK, JKM, jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pensiun (JP).
Status kerja yang berupa buruh harian lepas masih banyak ditemukan. Status seperti ini berkaitan dengan upah dan hak-hak kerja layak lainnya yang seharusnya pekerja itu terima, seperti K3.
Kemudian, persoalan lahan biasanya berupa sengketa. Perkebunan kelapa sawit plasma yang dulu dirancang Orde Baru bertujuan memberdayakan masyarakat sekitar perkebunan. Akan tetapi, seiring tahun berlalu justru terjadi konglomerasi lahan sawit.
”Belum meratanya praktik kerja layak di perkebunan kelapa sawit seolah-olah menunjukkan praktik feodalisme masih terjadi. Padahal, realitanya tidak demikian karena sudah ada perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang menerapkan kerja layak. Kami menyadari bahwa tidak semua perusahaan kelapa sawit merupakan anggota Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) ataupun Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia),” ujar Supardi.
Supardi menguraikan beberapa solusi untuk mengatasi persoalan belum meratanya praktik kerja layak di perkebunan. Solusi yang utama ialah meningkatkan dialog sosial antarpemangku kepentingan di industri kelapa sawit, yaitu pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh/pekerja. Solusi kedua ialah meningkatkan kapasitas buruh di perkebunan kelapa sawit.
Selanjutnya, penyadaran K3 kepada pengusaha dan buruh harus ditingkatkan. Lalu, sosialisasi pentingnya jaminan sosial sampai ke masyarakat akar rumput. ”Hal yang tidak boleh dilupakan adalah mendorong pengawas ketenagakerjaan meningkatkan pengawasan ke perkebunan kelapa sawit,” katanya.
Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS) Hotler Parsaoran, yang juga hadir sebagai pembicara, menambahkan, sejauh ini belum ada data terpadu buruh perkebunan sawit untuk menjadi rujukan nasional. Oleh karena itu, pemangku kepentingan di industri ini perlu mengupayakan adanya data terpadu buruh kelapa sawit.
Solusi lain yang dia tawarkan adalah perundang-undangan tentang perlindungan buruh kelapa sawit. Menurut Hotler, regulasi khusus seperti itu semestinya mampu mengatasi kompleksitas persoalan yang dialami pekerja perkebunan kelapa sawit.
Wakil Kepala Desk Regional Harian Kompas Rini Kustiasih, yang turut hadir sebagai pembicara, memaparkan hasil liputan tim Kompas mengenai kondisi pekerja perkebunan yang dimuat di Harian Kompas edisi 31 Juli 2023. Contoh temuan lapangan ialah masih banyak buruh perkebunan sawit berstatus buruh harian lepas, belum semua buruh berserikat, dan hak-hak politik buruh sawit kerap dieksploitasi pada saat pemilu.
Komoditas strategis
Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Gapki Sumarjono Saragih mengatakan, total luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai sekitar 16,3 juta hektar. Sejak 2006, Indonesia menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
”Perolehan devisa sawit telah mengalahkan sektor minyak dan gas bumi. Ini artinya kelapa sawit penting bagi Indonesia. Mewujudkan pemerataan kerja layak bagi pekerja perkebunan kelapa sawit merupakan tugas semua pemangku kepentingan di industri kelapa sawit,” ucap Sumarjono.
Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI Osmar Tanjung, yang hadir bersamaan, menegaskan bahwa di lingkup PTPN tidak mengenal buruh harian lepas. Sebaliknya, PTPN hanya memberlakukan status pekerja perjanjian waktu tertentu (PKWT), pekerja perjanjian waktu tidak tertentu (PKWTT), dan pekerja alih daya. PTPN juga mengikutsertakan semua pekerja menjadi peserta jaminan sosial.