Perempuan dan anak jadi kelompok paling rentan dieksploitasi di perkebunan sawit. Sistem kerja membuat mereka terpaksa membantu suami bekerja mengutip berondolan. Para perempuan juga dipekerjakan sebagai pekerja lepas.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Sumarni (35) baru selesai memasak dan mengantar anaknya ke sekolah di sebuah perkebunan sawit swasta di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (26/7/2023). Ia lalu menggendong anaknya ke atas becak. Setelah memastikan semua alat kerja dibawa, Sumarni dan suaminya berangkat ke perkebunan sawit.
Sumarni bukan buruh atau pekerja resmi di perkebunan. Namun, setiap hari kerja dia ikut membantu suaminya, Gunawan (39), yang merupakan buruh panen di perkebunan itu. Gunawan bekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap.
Setelah sampai di area kerja, Gunawan mengangkat egrek (alat panen sawit) sepanjang 16 meter. Tangannya yang berotot dengan susah payah mengangkat egrek seberat lebih dari 10 kilogram agar tegak lurus. Pisau di ujung egrek lalu memotong tangkai buah. Tandan buah segar (TBS) lalu jatuh dari pohon setinggi 15 meter itu.
Sebagian berondolan sawit lepas dari tandan akibat benturan saat pemanenan itu. Sumarni lalu cepat-cepat mengambil alat pengumpul berondolan. Ia memasukkan berondolan ke dalam goni dan melangsirnya ke tempat pengumpulan hasil. Gunawan bertugas melangsir TBS dengan beko.
Sumarni melakukan pekerjaannya itu sepanjang jam kerja suaminya, yakni dari pukul 07.15 hingga pukul 13.00, Senin sampai Sabtu. ”Saya bekerja atas kemauan sendiri, tidak ada dipaksa perusahaan. Namun, kalau saya tidak ikut bekerja, berondolan ini tidak bisa dikumpulkan suami dan premi (tambahan upah) suami saya berkurang,” kata Sumarni.
Sumarni adalah gambaran nasib hampir semua perempuan yang menjadi istri buruh kebun sawit, khususnya yang bekerja di bagian pemanenan. Buruh pemanen adalah bagian terbanyak dari semua buruh di perkebunan, lebih dari setengahnya.
Buruh pemanen di Kabupaten Langkat dibayar Rp 3.037.000, hanya sedikit di atas upah minimum kabupaten. Mereka diberi beban kerja atau target panen 40-50 TBS per hari, tergantung umur tanaman. TBS yang dipanen melebihi target akan dihitung sebagai premi (upah tambahan) dengan besaran Rp 500 per TBS. Berondolan yang dikumpul juga dihitung sebagai premi sebesar Rp 450 per kilogram.
Dengan kondisi beban kerja yang besar, buruh panen tidak memungkinkan mengumpulkan berondolan di jam kerja. Buruh panen juga didenda Rp 60 per butir berondolan yang tertinggal. ”Saya tidak dipaksa perusahaan untuk bekerja, tetapi berondolan tidak mungkin bisa dikumpulkan kalau tidak dibantu istri,” kata Sumarni.
Sumarni mampu mengumpulkan berondolan sekitar 80 kilogram per hari. Dengan premi Rp 450 per kilogram, dia membantu suami mendapat premi sekitar Rp 36.000 per hari. Sumarni juga membawa anaknya yang baru berusia lima tahun ke kebun karena tidak ada penitipan anak.
Sumarni menyebut, perusahaan mengetahui dia dan istri buruh lain bekerja di kebun. Mereka dilarang bekerja di kebun ketika ada ”tamu”, istilah manajemen untuk menyebut auditor, khususnya auditor eksternal. ”Ada tamu, famili geng jangan dibawa ke kebun,” kata Sumarni menirukan pengumuman yang biasa disampaikan manajemen kepada suami mereka. Famili geng adalah istilah untuk menyebut istri dan anak.
Problem sistem
Perempuan juga dipekerjakan di perkebunan sebagai buruh di bagian perawatan atau pembibitan. Statusnya umumnya adalah pekerja harian lepas, seperti Rahayu (36) yang bekerja di bagian pembibitan di perkebunan swasta di Langkat.
Setiap hari, Rahayu dibayang-bayangi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa ada pesangon atau hak normatif lainnya. Dia pernah bekerja pada tahun 2016 sampai 2018 di perkebunan itu. Setelah tiga tahun bekerja, dia mendapat PHK tanpa pesangon apa pun.
”Waktu itu, bagian pembibitan katanya ditutup sementara,” kata Rahayu.
Rahayu sangat terpukul karena kehilangan pekerjaan. Tiga tahun kemudian, pada 2021, perusahaan kembali menghubungi Rahayu karena bagian pembibitan dibuka lagi. Dia pun kembali bekerja dengan status PHL dan upah Rp 110.000 per hari. Jika bisa bekerja maksimal 20 hari, dia mendapat upah Rp 2,2 juta. Total sudah enam tahun dia menjadi PHL tanpa ada harapan diangkat menjadi karyawan kontrak atau tetap.
Rahayu bekerja menyemprotkan racun rumput dan pestisida. Dia juga mengeluhkan terbatasnya alat pelindung diri. Dia tidak mendapat fasilitas tes kesehatan. Sementara karyawan yang melakukan pekerjaan sama dengan status karyawan kontrak atau tetap menjalani tes kesehatan secara berkala sekali enam bulan.
Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) Herwin Nasution mengatakan, perempuan dan anak menjadi kelompok yang sangat rentan dieksploitasi di perusahaan perkebunan, baik milik swasta maupun negara. ”Sudah sangat umum istri-istri buruh kebun ikut membantu suami mengumpulkan berondolan,” kata Herwin.
Herwin menyebut, memang tidak ada perusahaan yang secara terang-terangan meminta istri buruh ikut bekerja. Mereka juga memasang plang larangan membawa istri dan anak di kebun. Namun, sistem yang dibangun memaksa istri ikut bekerja agar target kerja suami terpenuhi.
”Beberapa kebun sawit memang membuat plang pengumuman tentang larangan membawa istri dan anak berkerja di kebun. Namun, itu hanya formalitas. Sistem kerja memaksa buruh membawa istri,” kata Herwin.
Perempuan juga banyak direkrut sebagai PHL untuk bekerja di bagian perawatan dan atau pembibitan. Menurut Herwin, saat ini perempuan-perempuan dengan usia yang relatif muda semakin banyak bekerja di perkebunan. Mereka rentan terpapar bahan kimia, tidak mendapat hak cuti, kesempatan menyusui, hingga penitipan anak.
Para perempuan PHL, kata Herwin, juga sengaja hanya dipekerjakan 20 hari kerja untuk menghindari pembayaran sesuai UMK. Padahal, dalam jenis pekerjaan yang sama digunakan juga pekerja dengan status karyawan kontrak atau tetap. Kondisi ini memberikan gambaran minimnya perlindungan bagi buruh perempuan di kebun sawit.