Ketidakpastian Ekonomi Berlanjut, Pemerintah Kembali Siagakan Dana Cadangan
Pemerintah mengalokasikan ”dana tabungan” atau saldo anggaran lebih Rp 51,4 triliun untuk tahun 2024. Selain untuk menekan penerbitan utang baru, SAL bisa dipakai untuk dana cadangan membiayai pembangunan ibu kota baru.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi perekonomian tahun depan diperkirakan masih diliputi ketidakpastian. Ada banyak tantangan yang mengharuskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bekerja lebih keras dibandingkan tahun lalu dan tahun ini. Guna mengantisipasi ketidakpastian dan mengurangi penerbitan utang baru, pemerintah kembali menyiapkan dana cadangan sebesar Rp 51,4 triliun melalui saldo anggaran lebih.
Dalam paparan Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah mengalokasikan penggunaan saldo anggaran lebih (SAL) sebagai instrumen pengurang utang dan penyangga fiskal sebesar Rp 51,4 triliun. Selain untuk menekan utang, SAL antara lain juga akan digunakan untuk dana cadangan membiayai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan belanja pemilihan umum.
Mengutip bagian penjelasan dalam Pasal 28 Rancangan Undang-Undang APBN 2024, tambahan dana SAL akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan prioritas yang muncul tahun depan. Misalnya, menurunkan pembiayaan utang serta cadangan belanja IKN atau sentra pertumbuhan ekonomi baru, belanja pemilu, kompensasi, kurang bayar dana bagi hasil (DBH), dan kurang bayar subsidi.
Pemerintah tercatat sudah menggunakan SAL sebagai kas cadangan untuk menutup defisit anggaran dan menutupi kebutuhan pembiayaan beberapa tahun terakhir ini. Untuk tahun 2023, pemerintah mengakumulasikan SAL Rp 478,9 triliun dari APBN 2022, tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, untuk mengantisipasi kondisi perekonomian yang tidak pasti tahun ini.
Tahun lalu, SAL dapat diakumulasikan dalam jumlah besar karena pendapatan negara yang melejit tinggi, memungkinkan pemerintah untuk berhemat dan mengakumulasi sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang cukup signifikan.
Silpa adalah sisa kelebihan uang negara yang tidak dibelanjakan karena pemerintah menarik utang baru lebih banyak dan cepat daripada melakukan belanja. Akumulasi dari silpa adalah SAL, alias dana ”tabungan” pemerintah yang digunakan sebagai instrumen pembiayaan non-utang.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan FiskalKementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, untuk tahun 2024, pemerintah akan kembali mengalokasikan SAL sebagai kas cadangan atau fiscal buffer sebesar Rp 51,4 triliun. Jumlahnya lebih kecil daripada alokasi SAL di tahun-tahun sebelumnya, seperti Rp 70,6 triliun (2020), Rp 144 triliun (2021), Rp 127,3 triliun (2022), dan Rp 226,9 triliun (outlook 2023).
Selain untuk menekan utang, SAL antara lain juga akan digunakan untuk dana cadangan membiayai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
”Harapannya tahun ini pendapatan negara masih akan optimal sehingga kita punya silpa yang cukup untuk memperkuat buffer fiscal kita,” kata Wahyu di Gedung Kementerian Keuangan, Rabu (30/8/2023).
Ia mengatakan, pemerintah tidak hanya menggunakan instrumen silpa dan SAL untuk mengantisipasi ketidakpastian tahun depan. ”Penyangga kita buat menghadapi ketidakpastian itu bukan hanya silpa, tapi kita juga punya fleksibilitas dalam APBN. Sehingga dengan kombinasi buffer yang cukup, fleksibilitas cukup, kita punya daya redam yang efektif,” ujarnya.
Menurut Wahyu, ada kemungkinan dana cadangan SAL itu dipakai untuk pembangunan IKN. Saat ini, pemerintah sudah mengalokasikan Rp 40,6 triliun anggaran untuk pembangunan IKN dalam RAPBN 2024. Dana SAL dapat digunakan jika alokasi tersebut kurang atau belanja IKN membengkak di luar perkiraan. ”Kita lihat nanti perkembangannya. Fungsi SAL itu salah satunya, kan, untuk antisipasi ketidakpastian. Semoga saja tidak terjadi,” kata Wahyu.
Untuk pembiayaan pembangunan IKN, pemerintah akan berusaha mengurangi porsi APBN dan mendorong investasi swasta ataupun publik lewat Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) serta inovasi pembiayaan lainnya.
”IKN juga kebijakan jangka panjang, jadi tidak seolah-olah Rp 500 triliun (dana yang dibutuhkan untuk membangun IKN) itu harus dibelanjakan sekaligus. Kita lakukan secara bertahap dengan kerangka pengelolaan fiskal yang sehat,” ujarnya.
Tahun ini, pemerintah sudah menggunakan sebagian SAL untuk mengurangi penerbitan utang baru (bond issuance). Hasilnya, sepanjang semester I tahun 2023, pembiayaan utang berhasil ditekan 15,4 persen sebesar Rp 166,5 triliun. Pemerintah memperkirakan pembiayaan utang di sisa tahun ini bisa ditekan hingga 41,6 persen dari target semula atau Rp 289,9 triliun dari target APBN sebesar Rp 696,3 triliun.
Selain untuk menekan penerbitan utang baru, SAL juga akan digunakan untuk membayar berbagai kewajiban pemerintah, seperti melunasi kurang bayar dana bagi hasil (DBH) serta membayar subsidi pupuk dan kompensasi energi. Pemerintah telah mengalokasikan SAL Rp 156,9 triliun untuk kebutuhan ini. ”SAL sebagian sudah kita pakai untuk mengurangi issuance bond karena risiko yield saat ini lagi tinggi,” katanya.
Sebagai gambaran, penggunaan SAL untuk menyangga kebutuhan fiskal semakin marak setelah pandemi, sebagai konsekuensi menutupi kebutuhan penanganan pandemi yang membengkak hingga membuat defisit APBN melebar melebihi batas aman. Pada tahun 2020, pemerintah menggunakan SAL untuk membiayai berbagai kebutuhan pandemi. Pada 2021, SAL digunakan untuk menyuntik penyertaan modal negara (PMN) bagi BUMN.
Pada 2022, pemerintah telah mengalokasikan SAL yang cukup besar, yaitu Rp 127,3 triliun. Namun, karena penerimaan negara saat itu tumbuh tinggi ditopang kenaikan harga komoditas, pada akhir tahun tidak ada realisasi penggunaan dana SAL.
Untuk sampai ke tujuan yang sama dalam waktu yang sama, kita butuh energi fiskal yang lebih besar.
Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko mengibaratkan kondisi ekonomi tahun depan seperti pesawat yang sulit terbang karena ada rintangan berupa headwind (angin yang menekan dari depan). Kondisi itu berbeda dengan tahun 2022 dan 2023 di mana Indonesia mengalami tailwind (angin yang mendorong dari belakang) dari efek ledakan harga komoditas yang mengerek pendapatan negara. Oleh karena itu, dibutuhkan fleksibilitas dan penyangga fiskal untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian itu.
”Tahun ini, untuk sampai ke tujuan yang sama dalam waktu yang sama, kita butuh energi fiskal yang lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu dan tahun ini. Ada headwind inflasi yang masih tinggi, peningkatan suku bunga yang higher for longer, pertumbuhan global yang menurun, dan isu geopolitik yang belum selesai-selesai. Ini tantangan yang harus dikelola sebaik mungkin dalam APBN,” katanya.