Indonesia Suarakan Aspirasi soal Transisi yang Lebih Adil
Negara berkembang seperti Indonesia dan India tahu mesti bergerak mencapai emisi bersih. Namun, ada gap teknologi, modal, dan sumber daya manusia yang mesti dijembatani agar proses transisi tidak berdampak negatif.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
NEW DELHI, KOMPAS — Kendati menyumbang emisi lebih kecil dan menjadi tulang punggung perekonomian, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di negara-negara berkembang menanggung dampak lebih buruk akibat pemanasan global. Oleh karena itu, segenap usaha mengejar target pengurangan emisi semestinya melibatkan partisipasi pelaku UMKM guna mengatasi kesenjangan.
Seperti di Indonesia, pelaku UMKM di India memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Ada 64 juta jiwa komunitas UMKM India yang mempekerjakan 110 juta orang dan menyumbang sekitar sepertiga produk domestik bruto (PDB) negara. Namun, pelaku sektor ini mesti berjuang mengatasi tingginya biaya energi guna mendongkrak daya saing dan kelangsungan usahanya.
Senior Vice President Riset dan Inovasi Teknologi PT Pertamina (Persero) Oki Muraza pada salah satu sesi forum Bloomberg New Energy Finance (BNEF) Summit 2023 di New Delhi, India, Kamis (24/8/2023), menyatakan, Indonesia dan India punya banyak kesamaan. Keduanya memiliki pelaku UMKM yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memberi sumbangan yang signifikan pada perekonomian nasional.
Akan tetapi, mereka memiliki sejumlah kendala saat mesti beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Selain akses modal, pelaku usaha mikro dan kecil memiliki keterbatasan kapasitas, penguasaan teknologi, dan keterampilan yang diperlukan dalam usaha menekan emisi karbon. Oleh karena itu, akses terhadap teknologi, pendanaan, dan kebijakan transisi energi mesti memberikan manfaat bagi tulang punggung perekonomian tersebut.
”Selain mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) juga menjamin akses energi yang terjangkau, andal, dan berkelanjutan untuk semua,” kata Oki.
Senada dengan Oki, panelis lain dalam diskusi itu, yakni Praveer Sinha, Managing Director and Chief Executive Officer Tata Power, mengatakan, selain kompetitif, energi mesti memenuhi unsur keterjangkauan (affordability) dan berkelanjutan. Terkait tantangan itu, pihaknya menilai ada peluang besar untuk bekerja sama mewujudkan energi yang terjangkau.
Keadilan
Data Bank Dunia tahun 2019 menunjukkan, emisi karbon dioksida (CO2) per kapita negara-negara maju anggota G20 berada di atas rata-rata global yang mencapai 4,5 ton per kapita. Sementara negara berkembang seperti Indonesia, Brasil, dan India mengeluarkan emisi CO2 yang lebih sedikit, yakni berkisar 1,8-2,3 ton per kapita.
Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan, konsumen di pasar negara-negara berkembang menunjukkan sensitivitas yang jauh lebih besar terhadap isu keberlanjutan dibandingkan pasar yang lebih maju. Hal ini dinilai bisa terjadi karena populasi, perekonomian, dan ekosistem alami di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah menderita dampak paling buruk akibat pemanasan global.
Ketua Forum B20 Indonesia Shinta Kamdani, yang hadir pada forum BNEF Summit 2023, menambahkan, negara berkembang seperti Indonesia dan India tahu mesti bergerak mencapai emisi bersih, melakukan transisi energi, dan mempercepat dekarbonisasi. Namun, kemampuan setiap negara tidak sama, apalagi dibandingkan dengan negara maju. ”Ada gap yang luar biasa (antara negara berkembang dan negara maju), baik itu dari sisi teknologi, pendanaan, maupun sumber daya manusia,” ujarnya.
Kesenjangan itu yang mesti dijembatani agar upaya transisi energi, menekan emisi, dan mengejar keberlanjutan tidak berdampak negatif pada aspek sosialnya, seperti pada pelaku UMKM yang tertinggal dalam proses tersebut. ”Kita perlu mengedepankan aksesibilitasnya, jangan sampai karena terburu-buru dan berambisi punya energi bersih, aksesibilitasnya justru berkurang,” kata Shinta.
Kesenjangan itu yang mesti dijembatani agar upaya transisi energi, menekan emisi, dan mengejar keberlanjutan tidak berdampak negatif pada aspek sosialnya.
Faktor lain yang penting terkait transisi energi adalah keterjangkauan. Guna mendongkrak daya saing sekaligus menjamin kelangsungan usaha, harga energi semestinya terjangkau oleh para pelaku UMKM. ”Dengan teknologi yang ada saat ini, biayanya (masih) lebih tinggi, apakah kita memiliki kemampuan menjangkaunya?” ujarnya.
Pada sesi inaugural forum Sustainability Summit ke-18, Selasa (22/8/2023), President Designate Konfederasi Industri India Sanjiv Puri menyampaikan, kemitraan dan kolaborasi global merupakan kunci penting mengatasi tantangan darurat iklim dan kesenjangan sosial. ”Sangat penting untuk fokus pada kolaborasi dan pembentukan kemitraan global yang kuat untuk mengatasi permasalahan ini,” ujarnya.
Sanjiv juga menyuarakan perlunya transisi energi yang adil bagi negara-negara Selatan untuk mendapatkan akses terhadap sejumlah sumber daya menuju emisi bersih.