Ketidakpastian ekonomi global yang terus berlanjut mendorong negara-negara ASEAN untuk memperkuat kerja sama ekonomi di berbagai bidang. Stabilitas keuangan dan makroekonomi kawasan diharapkan bisa lebih terjaga.
Oleh
AGNES THEODORA, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Negara-negara Asia Tenggara memperkuat kerja sama untuk mempertahankan resiliensi ekonominya di tengah tren perlambatan global dan tensi geopolitik antara China dan Amerika Serikat selaku dua mitra ekonomi utama ASEAN. Kolaborasi yang lebih solid diharapkan memperkuat stabilitas keuangan di kawasan, sekaligus memunculkan sumber pertumbuhan baru bagi anggota ASEAN yang mayoritas berstatus negara berkembang.
Dalam konferensi pers penutupan Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) Ke-2 di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, perlambatan ekonomi global yang terus berlanjut akibat menajamnya tensi geopolitik antara Amerika Serikat dan China membuat negara-negara ASEAN perlu memperkuat kolaborasi untuk menjaga stabilitas dan resiliensi ekonominya.
Ketegangan geopolitik antara AS dan China membawa dampak yang sangat signifikan pada kawasan ASEAN, yang mayoritas anggotanya memiliki relasi ekonomi kuat dengan kedua negara adidaya tersebut.
”Ketegangan AS dan China akan memperburuk fragmentasi geopolitik. Dampaknya terutama akan dirasakan oleh kita di ASEAN. Itu mengapa timing pertemuan ini sangat sangat penting, untuk menunjukkan solidaritas dan soliditas ASEAN sebagai entitas regional yang penting,” katanya, Jumat (25/8/2023).
Setelah menggelar rangkaian pertemuan selama empat hari pada 22-25 Agustus 2023 di Jakarta, menteri-menteri keuangan dan gubernur bank sentral se-ASEAN pun sepakat memperkuat kerja sama ekonomi di berbagai bidang untuk menghadapi tekanan risiko geopolitik tersebut.
Untuk memperkuat stabilitas keuangan di kawasan, penggunaan local currency transaction (LCT) atau pemakaian mata uang lokal dalam transaksi ekonomi di kawasan akan ditingkatkan. Dengan skema tersebut, transaksi perdagangan, investasi, hingga transaksi di pasar keuangan tidak perlu lagi memakai mata uang dollar AS, tetapi mata uang masing-masing negara ASEAN yang bersangkutan.
Implementasi sistem pembayaran regional yang terkoneksi (regional payment connectivity/RPC) juga akan diperluas ke sejumlah negara anggota lain. Pada Jumat, Vietnam resmi bergabung menerapkan sistem tersebut, menyusul lima negara ASEAN lain, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina. Kerja sama itu memungkinkan penerapan sistem pembayaran yang sama lintas negara, seperti kode QR dan fast payment.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berharap, ke depan, ada lebih banyak anggota ASEAN yang bisa menerapkan skema LCT dan RPC tersebut. Dengan demikian, ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap mata uang dollar AS dan risiko ketidakpastian nilai tukar bisa berkurang. ”Ini akan mendorong stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi ASEAN yang jauh lebih kuat. Kita akan lebih kuat menghadapi rambatan risiko dari tekanan sistem keuangan global,” kata Perry.
Terkait kerja sama sistem pembayaran regional yang terkoneksi atau RPC, saat ini belum semua anggota ASEAN terlibat, seperti Filipina, Brunei Darussalam, dan Laos. Menurut Perry, itu bergantung pada kesiapan negara masing-masing dalam menentukan otoritas keuangan yang berwenang meregulasi dan mengawasi sistem pembayaran domestik.
”Negara-negara itu juga masih harus bernegosiasi dengan pelaku industri masing-masing untuk menyetujui penggunaan sistem pembayaran kode QR yang bisa terkoneksi dengan lima negara lain. Tetapi, pada intinya, mereka sudah sepakat, tinggal penerapannya itu tergantung timeline masing-masing negara,” tuturnya.
Pembiayaan infrastruktur
Kerja sama lain yang disepakati adalah skema pembiayaan untuk mengembangkan infrastruktur di kawasan. Sri Mulyani mengatakan, pembangunan infrastruktur di negara-negara ASEAN membutuhkan biaya sekitar 280 miliar dollar AS atau setara Rp 4.275 triliun per tahun, dan itu belum mampu dipenuhi lewat skema pendanaan publik ataupun swasta yang ada selama ini.
Saat ini, ASEAN diperkirakan menghadapi kesenjangan pembiayaan infrastruktur sekitar 19 miliar dollar AS per tahun. Oleh karena itu, pertemuan AFMGM menyepakati penguatan kelembagaan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) yang sudah ada sejak tahun 2011 untuk pemenuhan pendanaan pembangunan infrastruktur di ASEAN. AIF juga direposisikan sebagai ASEAN Green Fund untuk mempromosikan pembiayaan infrastruktur berkelanjutan di kawasan ASEAN.
Sumber pendanaan AIF berasal dari kontribusi sumbangan ke-10 negara anggota ASEAN dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Ke depan, pendanaan AIF diharapkan bisa didapat dari negara lain di luar ASEAN, dengan porsi pembiayaan lewat bank pembangunan multilateral dan pendanaan campuran (blended finance) publik-swasta yang lebih besar.
Reposisi AIF sebagai skema pendanaan hijau juga diharapkan bisa membantu negara-negara ASEAN dalam melakukan transisi energi dan pengembangan infrastruktur yang berkelanjutan di tengah sulitnya mencari dukungan pendanaan bilateral secara sendiri-sendiri.
”Penyediaan infrastruktur adalah isu struktural yang penting diatasi untuk mendorong pembangunan ekonomi di kawasan, tetapi selama ini urusan pendanaannya selalu tricky. Dukungan pendanaan ini dapat menyediakan sumber pertumbuhan baru bagi ASEAN ketika kondisi perekonomian regional dan global sedang lemah,” ujarnya.
Kesenjangan pembiayaan infrastruktur bagi negara-negara ASEAN itu juga disoroti dalam laporan ADB ”Reinvigorating Financing Approaches for Sustainable and Resilient Infrastructure in ASEAN+3”, yang dirilis pada Mei 2023. ADB menggarisbawahi kapasitas fiskal negara-negara ASEAN yang semakin terbatas pascapandemi di tengah sulitnya mencari pendanaan dari sektor swasta.
ADB mengestimasi, negara-negara ASEAN membutuhkan total dana investasi 2,8 triliun dollar AS-3,1 triliun dollar AS hingga tahun 2030 untuk pengembangan infrastruktur dasar. Setiap tahun dibutuhkan 184 miliar dollar AS sampai 210 miliar dollar AS untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Itu belum termasuk biaya tambahan yang dibutuhkan untuk membenahi infrastruktur akibat bencana alam dan perubahan iklim yang rawan menerpa negara-negara ASEAN.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai, penguatan kerja sama ekonomi di kawasan dapat memperkuat posisi tawar dan kemandirian ASEAN di tengah fragmentasi geopolitik yang semakin tajam. Beberapa inisiatif kerja sama yang dicapai di sektor keuangan dapat mengurangi ketergantungan negara-negara ASEAN yang selama ini kuat terhadap AS dan China. Apalagi, ekonomi kedua negara adidaya tersebut belakangan terus mengalami perlambatan.
”Setelah selama ini cenderung malu-malu dan tidak terbuka, sudah saatnya ASEAN mengambil peran utama yang bisa menaikkan posisi tawar ekonominya. Tetapi, kita harus berhati-hati juga karena berbagai retorika yang muncul, seperti LCT atau wacana dedolarisasi, itu bisa membawa konsekuensi geopolitik juga terhadap ASEAN,” ucap Yose.