Aktivitas Kerja di Pertanian, Perdagangan Eceran, dan Grosir Berpotensi Ditransformasikan AI Generatif
Tanggung jawab penggunaan kecerdasan buatan secara umum telah diatur dalam peraturan penyelenggara sistem elektronik. Sementara khusus terkait kecerdasan buatan generatif, pemerintah sedang kaji pedoman etika.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas kerja yang dilakukan oleh pekerja di industri pertanian serta grosir dan eceran diperkirakan paling besar berpotensi ditransformasikan oleh kecerdasan buatan generatif. Kegiatan ini termasuk membantu petani mengelola persyaratan kepatuhan, menyusun kontrak perdagangan, dan materi pemasaran.
Hal tersebut tergambar pada laporan riset Elsam dan Access Partnership ”Dampak Ekonomi AI Generatif: Masa Depan Pekerjaan di Indonesia” yang dirilis, Jumat (25/8/2023), di Jakarta. Microsoft turut mendukung riset ini.
Meski upah pekerja pertanian di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan industri lain, penelitian itu menemukan bahwa biaya produksi tanaman pokok bisa mencapai 50 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga. Ada keuntungan produktivitas yang semakin tinggi dan bisa diperoleh jika penerapan teknologi digital dilakukan dengan tepat.
Analisis yang dilakukan dalam riset itu menggunakan beberapa sumber data, seperti The Occupational Information Network (O*NET Online), data komposisi tenaga kerja per sektor dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), data output bruto dari Bank Pembangunan Asia, dan Badan Pusat Statistik nasional.
Penentuan keterampilan yang paling terpengaruh oleh AI kecerdasan buatan generatif didasarkan pada penilaian keterampilan yang paling sering digunakan di antara tugas-tugas yang terpengaruh oleh kecerdasan buatan; seberapa sering dipakai pekerjaan-pekerjaan tersebut di dalam industri; dan struktur industri di suatu negara.
Kecerdasan buatan generatif akan mengubah fokus dalam pekerjaan, bukan menggantikannya secara keseluruhan. Hampir setiap pekerja dapat menggunakan AI generatif sampai tingkat tertentu,
Dalam laporan yang sama, penggunaan kecerdasan buatan generatif untuk melengkapi aktivitas kerja diperkirakan berpotensi bisa membuka kapasitas produksi sebesar 243,5 miliar dollar AS di seluruh perekonomian. Nilai ini disebut setara dengan seperlima produk domestik bruto. Industri manufaktur dan konstruksi merupakan penyumbang terbesar dari potensi itu, sebagian besar karena menyumbang sebagian besar tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja yang tinggi.
Direktur Access Partnership Marcus Ng, saat pemaparan laporan tersebut, mengatakan, kecerdasan buatan generatif akan mengubah fokus dalam pekerjaan, bukan menggantikannya secara keseluruhan. Hampir setiap pekerja dapat menggunakan AI generatif sampai tingkat tertentu meskipun tingkat adopsi oleh dunia usaha akan bervariasi dalam jangka pendek.
”Dari hasil analisis kami, lebih dari separuh (52 persen) tenaga kerja dapat menggunakan kecerdasan buatan generatif untuk 5–20 persen aktivitas kerja mereka. Hanya 1 persen tenaga kerja di Indonesia yang dapat menggunakan AI generatif dalam lebih dari 20 persen untuk aktivitas kerja mereka,” ujarnya.
Marcus menambahkan, ada tiga keterampilan yang perlu disiapkan oleh tenaga kerja Indonesia untuk menghadapi dinamika inovasi kecerdasan buatan generatif. Keterampilan pertama adalah pengembangan dan pengelolaan. Kedua, keterampilan bekerja sama, dan ketiga, keterampilan untuk hidup bersama kecerdasan buatan generatif.
Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) RR Siti Murtiningsih, yang turut hadir sebagai penanggap, mengatakan, kerja merupakan hal yang sangat manusiawi. Jika ada hewan ataupun mesin yang dipakai untuk bekerja, posisi hewan ataupun mesin itu bukan sebagai pekerja, melainkan membantu manusia bekerja.
Posisi kerja sebagai sesuatu yang sangat manusiawi terdisrupsi dengan kehadiran kecerdasan buatan generatif. Selain melepaskan dimensi manusiawi dari kerja, kecerdasan buatan generatif juga merupakan contoh paling nyata dari pencurian nilai-nilai kerja.
Namun, Siti menekankan bahwa data yang digunakan untuk melatih sistem kecerdasan buatan generatif ditambang dari sejumlah sumber yang dipastikan berasal dari hasil kerja manusia. Oleh karena itu, hal yang seharusnya diatur oleh pemerintah adalah etika pengembangan inovasi kecerdasan buatan.
”Pikiran manusia tidak bisa dibatasi oleh apa pun. Sifat dasar manusia selalu berubah. Teknologi tercipta karena kemewahan pikiran manusia,” ujarnya.
Hal yang seharusnya diatur oleh pemerintah adalah etika pengembangan inovasi kecerdasan buatan.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan menyampaikan, tanggung jawab penggunaan kecerdasan buatan secara umum telah diatur dalam peraturan penyelenggara sistem elektronik. Sementara khusus terkait kecerdasan buatan generatif, Kemenkominfo telah melakukan kajian kecil tentang penerapan etika.
”Kecerdasan buatan generatif, baik menghasilkan gambar, video, maupun teks, pasti memiliki sumber data. Pada saat proses menghasilkan (generate), pengembangnya harus dipastikan sudah berizin atau belum terhadap sumber data. Apabila ada data pribadi yang turut terbawa, pengembangnya harus patuh pada mekanisme perlindungan data pribadi,” kata Semuel.
Wamenkominfo Nezar Patria menambahkan, kajian mengenai surat pedoman etika kecerdasan buatan diharapkan selesai pada akhir 2023. Kemenkominfo juga memanfaatkan momentum Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2023 untuk mendorong negara-negara tetangga mendukung ASEAN Guide On AI Governance and Ethics yang diusulkan oleh Singapura.