Pengenaan retribusi 10 dollar AS kepada setiap wisatawan mancanegara yang akan masuk ke Bali butuh kejelasan tata cara dan penggunaan dana pungutan. Transparansi seperti itu akan memudahkan turis dan industri menerima.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengenaan retribusi 10 dollar AS atau setara Rp 150.000 (dengan asumsi 1 dollar AS senilai Rp 15.000) kepada setiap wisatawan mancanegara yang akan masuk ke Bali dimajukan dari pertengahan tahun 2024 menjadi Februari tahun 2024. Peraturan gubernur mengenai tata cara pungutan ini sudah digodok. Transparansi peruntukan pungutan retribusi itu perlu dijelaskan kepada turis dan pelaku industri pariwisata.
”Peraturan daerah penerapan retribusi masuk kepada wisatawan mancanegara (wisman) sudah selesai. Tinggal menunggu peraturan gubernur Bali mengenai tata cara pemungutan,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjok Bagus Pemayun di sela-sela konferensi pers mingguan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf), Senin (21/8/2023) malam, di Jakarta.
Pemayun juga menekankan bahwa implementasi pengenaan retribusi tersebut tepatnya akan berlaku Februari 2024. Pernyataannya ini berbeda ketika dia menghadiri konferensi pers mingguan Kemenparekraf/Baparekraf pada 17 Juli lalu. Saat itu, Pemayun menyebutkan waktu pemberlakuan pengenaan retribusi adalah pertengahan 2024.
Landasan hukum pengenaan retribusi kepada wisman yang akan masuk Bali adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali. Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Bali telah menerapkan pungutan serupa, tetapi hanya bersifat sukarela. Terkait mekanisme pembayaran, lanjutnya, Pemerintah Provinsi Bali akan membuat sistem secara daring. Sistem ini akan dilengkapi dengan mekanisme penjelasan peruntukan sekaligus pengawasan.
Wakil Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Budijanto Tirtawisata saat dihubungi terpisah membenarkan adanya kabar tentang pungutan masuk Bali bagi wisman. Dia juga telah mendengar bahwa peraturan gubernur terkait hal itu akan segera keluar dan dalam sepekan-dua pekan mendatang dimulai sesi sosialisasi kepada masyarakat.
”Bagi pelaku industri pariwisata dan wisatawan mungkin akan kaget. Cuma, kami yakin bahwa sepanjang peruntukan pungutan jelas dan hasilnya terlihat, wisman pasti akan menerima,” katanya saat dihubungi, Selasa (22/8/2023), di Jakarta.
Sosialisasi pungutan masuk Bali itu harus gencar dilakukan oleh pemerintah. Tujuannya, agar wisman tidak kaget. Pelaku industri pariwisata juga bisa memberi tahu calon wisman jauh-jauh hari sebelum mereka datang ke Bali.
Budijanto menambahkan, jika retribusi masuk ke Bali diberlakukan, kebijakan ini tidak akan memengaruhi jumlah kunjungan wisman. Kebijakan yang sama juga tidak akan berdampak pada rencana Indonesia menyelenggarakan pasar wisata Wonderful Indonesia Tourism Fair 2024. Pasar wisata ini dikerjakan GIPI dan didukung oleh Kemenparekraf/Baparekraf.
”Apakah nilai 10 dollar AS itu besar atau kecil, saya kira itu relatif. Intinya, sepanjang pemerintah bisa membuktikan peruntukan retribusi 10 dollar AS, lambat laun masyarakat bisa menerima kebijakan itu,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Budijanto Ardiansyah berpendapat, penerapan retribusi masuk ke Bali sebesar 10 dollar AS tidak akan terlalu memberatkan wisman. Hanya, pemerintah perlu menjelaskan secara teknis penerapan pemungutannya.
”Hal terpenting selanjutnya yaitu pengelolaan dana dari hasil pungutan. Kami rasa, wisatawan ataupun pelaku industri perlu tahu,” ucapnya.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari memiliki pandangan berbeda. Dia menilai, implementasi retribusi 10 dollar AS bagi wisman yang masuk ke Bali menunjukkan bahwa kebijakan pariwisata nasional tidak terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah.
”Pengenaan retribusi masuk ke Bali bagi wisman merupakan kebijakan yang aneh karena wisman sebelumnya sudah bayar visa dan jaminan. Apabila pemerintah mengaitkan retribusi itu dengan biaya pemeliharaan dan konservasi, apakah berarti pemerintah sudah tidak punya anggaran? Ke mana larinya anggaran dari pembayaran visa?” katanya.
Azril berpendapat, salah satu gejala turisme yang terlalu berlebihan (overtourism) di Bali adalah maraknya kriminalitas. Hal ini disebabkan tidak adanya seleksi ketat pemberian visa bagi wisman. Masalah ini yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, bukan malah memberlakukan biaya retribusi masuk ke Bali.