Dana ketahanan pangan untuk 2024 telah ditambah. Kebijakan pangan juga sudah digariskan, baik itu mencakup target produksi hingga kesejahteraan petani. Akankah terjebak pada lubang yang sama?
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
Dalam empat tahun terakhir, 2020-2024, dana ketahanan pangan Indonesia terus meningkat. Tantangan di sektor pangan, baik domestik maupun global, juga semakin beragam. Orkestrasi politik pangan yang kuat tanpa bumbu politisasi pangan dibutuhkan tahun depan.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024, pemerintah menyebut pangan sebagai sektor prioritas. Dana ketahanan pangan yang dialokasikan Rp 108,8 triliun, naik 7,8 persen dibandingkan outlook APBN 2023 yang sebesar Rp 100,9 triliun.
Dana itu terus meningkat sejak 2021 atau setelah pemerintah memangkasnya dari Rp 80,7 triliun pada 2019 menjadi Rp 74,5 triliun pada 2020. Dana itu tersebar di sejumlah kementerian/lembaga dan pemerintah daerah guna membiayai berbagai program ketahanan pangan.
Beberapa program itu antara lain pembangunan infrastruktur pangan; pengendalian inflasi; dan pengembangkan food estate (kawasan sentra produksi pangan), khususnya di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ada juga penguatan kelembagaan petani, subsidi bunga pinjaman cadangan pangan pemerintah (CPP), asuransi pertanian, dan subsidi pupuk.
Beberapa program itu antara lain pembangunan infrastruktur pangan; pengendalian inflasi; pengembangkan food estate, khususnya di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur; serta subsidi bunga pinjaman cadangan pangan pemerintah.
Melalui berbagai program ketahanan pangan, pemerintah juga menetapkan target produksi, bahkan kesejahteraan petani. Di bidang pertanian, misalnya, ketersediaan beras secara nasional pada 2024 ditargetkan bisa menjadi 46,48 juta ton. Produksi padi di Kalteng, NTT, Sumatera Selatan, dan Papua Selatan ditargetkan bisa bertambah 5,06 juta ton.
Food estate di Kalsel juga ditargetkan menjadi seluas 61.400 hektar. Nilai tukar petani (NTP) ditargetkan berada di kisaran 105-108 dan peningkatan nilai tambah per tenaga kerja pertanian Rp 59,8 juta per orang per tahun.
Tantangan
Tak mudah merealisasikan target tersebut pada tahun depan. Sejumlah tantangan dan hambatan yang terjadi pada tahun ini bisa kembali terulang. Hal itu tak hanya dipengaruhi kondisi iklim, tetapi juga politik pangan sejumlah negara.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan produksi padi Indonesia pada tahun ini turun 1,13 juta-1,89 juta ton karena dampak La Nina dan El Nino. Hal itu akan menurunkan sehingga akan menurunkan pendapatan petani 9-25 persen. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) bahkan memperkirakan El Nino bakal berlanjut hingga Februari 2024. Sementara di Indonesia, El Nino diperkirakan terjadi hingga Oktober 2023 (Kompas, 21/8/2023).
Sejumlah negara produsen beras, seperti India dan Thailand, memilih untuk mengamankan pasokan pangan di dalam negeri. India melarang ekspor beras non-basmati dan beras pecah. Thailand juga mengurangi ekspor beras. Pemerintah negara tersebut juga meminta petani mengurangi areal tanam padi untuk menghemat air dan mengurangi risiko gagal panen akibat El Nino.
Di tengah kondisi itu, dunia khawatir pangan digunakan sebagai alat sebuah negara untuk menunjukkan pengaruhnya. Kekhawatiran itu menguat kala Rusia mengancam keluar dari Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam jika tidak ada kejelasan tentang perjanjian fasilitasi ekspor makanan dan pupuk Rusia yang tersandera sanksi Barat.
Di dalam negeri, harga sejumlah pangan pokok, seperti beras dan gula, telah naik akibat kenaikan biaya produksi. Tahun ini, pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi beras medium dan gula pasir di tingkat konsumen masing-masing menjadi Rp 10.900 per kilogram dan Rp 14.500 per kg. Kenaikan harga sejumlah pangan pokok itu tentu saja menambah beban pengeluaran masyarakat.
Pengadaan CPP, terutama beras, pada tahun ini juga semakin menantang. Gerak cepat korporasi besar membeli gabah petani dengan harga tinggi telah merepotkan Perum Bulog. Buntutnya, pemerintah meminta Bulog mengimpor beras agar memiliki cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 2,4 juta ton.
Di sisi lain, kelompok-kelompok tani yang memiliki penggilingan sendiri dan memproduksi beras premium mencoba mempertahankan usaha. Beberapa kelompok tani juga ingin mengembangkan usaha, tetapi masih terganjal izin usaha penggilingan beras.
Food estate juga belum mampu berkontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Presiden Joko Widodo bahkan menyatakan food estate ada yang berhasil, setengah berhasil, dan yang belum berhasil untuk mengatasi krisis pangan di dalam negeri (Kompas, 19/8/2022).
Mampukah food estate berkontribusi optimal terhadap CPP pemerintah pada tahun depan? Atau bakal ada pengakuan lagi dari Presiden Joko Widodo tentang food estate pada tahun depan?
Sekali lagi. Sejumlah tantangan dan hambatan di sektor pangan pada tahun ini bisa kembali terulang tahun depan. Tahun depan, tantangan pengelolaan pangan dari hulu ke hilir akan semakin besar karena memasuki tahun politik. Pangan rawan dipolitisasi.
Dana ketahanan pangan telah ditambah. Politik pangan juga sudah jelas, baik itu mencakup target produksi hingga kesejahteraan petani. Hal itu termasuk pula target bagi food estate. Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan dana subsidi bunga pinjaman CPP.
Di tengah kondisi keuangan masyarakat yang belum baik-baik saja, pangan murah atau terjangkau dibutuhkan. CPP, terutama, CBP mendesak direalisasikan. Di tengah banyaknya program ketahanan pangan, orkestrasi hulu-hilir pangan diperlukan.
Mampukah RI memiliki CPP, terutama CBP, seperti yang diidam-idamkan pada tahun depan? Mampukah food estate berkontribusi optimal terhadap CPP pemerintah pada tahun depan? Atau bakal ada pengakuan lagi dari Presiden Joko Widodo tentang food estate pada tahun depan? Kita lihat saja nanti....