Komitmen Pendanaan Berliku dari Negara Maju
Diumumkan pada KTT G20 di Bali 2022 lalu, JETP, berupa komitmen pendanaan 20 miliar dollar AS menjadi harapan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Namun, implementasinya penuh tantangan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F14%2F20211011ags228_1634227717_jpg.jpg)
Akivitas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021). PLTU Sintang salah salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar co-firing, dalam hal ini cangkang sawit, yang besar. Penghematan bahan bakar batubara dapat dihemat hingga 10 persen dengan metode co-firing menggunakan cangkang sawit.
Buruknya kualitas udara yang terdeteksi di DKI Jakarta dan sekitarnya selama beberapa pekan terakhir jadi sorotan nasional. Bahkan, Presiden Joko Widodo sampai menggelar rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, khusus membahas hal itu. Di tengah perdebatan penyebab serta solusinya, pengurangan emisi gas rumah kaca sudah semakin mendesak.
Dalam mendukung itu, kala pemanfaatan potensi energi terbarukan belum optimal, komitmen pendanaan dari negara-negara maju melalui Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) dicetuskan tahun lalu. Hal tersebut membawa harapan, meskipun implementasinya penuh dengan tantangan.
JETP, yang pertama kali diumumkan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022, adalah komitmen pendanaan senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun. Indonesia menjadi negara kedua yang mendapat dukungan JETP setelah Afrika Selatan yang diumumkan pada COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun 2021.
Dari total komitmen JETP untuk Indonesia, 10 miliar dollar AS dari dana publik/anggaran negara-negara maju meliputi Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). Pendanaan bisa berupa hibah, pinjaman lunak, dan penjaminan (guarantee).
Sementara 10 miliar dollar AS lainnya berasal dari pendanaan sejumlah bank internasional ternama yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Bentuknya berupa pinjaman komersial.
Pernyataan bersama (joint statement) juga telah dilakukan Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara yang tergabung dalam IPG di Bali tahun lalu. Di antaranya ialah target puncak emisi (tak boleh naik lagi) sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030. Selain itu, energi terbarukan sebesar 34 persen dalam bauran ketenagalistrikan nasional pada 2030.
Baca juga : Meski Lambat, Indonesia Mampu Lakukan Transisi Energi Sesuai Target
Dalam mencapai itu, ada dua upaya yang akan ditempuh melalui JETP, khususnya di tahap awal. Pertama ialah pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Kedua, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan.
Sekretariat JETP yang berlokasi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah diresmikan pada Februari 2023, yang disusul penyusunan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Dokumen itu akan memuat, di antaranya, peta jalan teknis pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan, termasuk daftar PLTU yang masa operasinya akan diakhiri lebih cepat.

Peluncuran mundur
Semula, CIPP bakal diluncurkan ke publik pada Rabu (16/8/2023), tetapi kemudian diundur. Sekretariat JETP telah menyerahkan draf kepada pemerintah dan IPG untuk kemudian diulas (review) lebih dulu. Menurut rencana juga akan digelar konsultasi publik sebelum nantinya CIPP diluncurkan resmi menjelang akhir tahun 2023.
Kepala Sekretariat JETP Edo Mahendra, pekan lalu, mengatakan, draf CIPP ialah hasil proses diskusi dan pembahasan, pembuatan modelling, hingga analisis yang dilakukan oleh empat kelompok kerja, yakni teknis, pendanaan, kebijakan, dan transisi berkeadilan. Para anggota kelompok kerja ialah organisasi internasional dan nasional, mitra pembangunan, think tank, dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam penyusunan dokumen CIPP, Sekretariat JETP menambahkan data baru ke dalam analisis teknis sehingga perlu waktu tambahan sebelum diresmikan. Di sisi lain, mundurnya tenggat memberi kesempatan untuk melakukan konsultasi publik guna menerima lebih banyak masukan dari masyarakat.
Baca juga : Transisi Energi Jadi Momentum Pemerataan Pembangunan
”Masyarakat Indonesia akan mendapat kesempatan untuk mengulas dokumen CIPP secara utuh. (Juga) Memberikan masukan dan tanggapan untuk dipertimbangkan dalam revisi final dokumen CIPP,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menuturkan, dengan kondisi pembangunan ekonomi saat ini, upaya transisi energi hanya dapat dicapai dengan dukungan internasional.
”Dengan demikian, penting untuk memastikan bahwa niat ini disambut dengan ambisi yang tecermin dalam segala aspek di dalam dokumen CIPP. Khususnya aspek teknis dan pendanaan,” ujar Rachmat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F16%2F1f3bc9f1-6a88-4884-82ef-9acfaee754c6_jpg.jpg)
Suasana peluncuran Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Kamis (16/2/2023). Tim dalam JETP, yang di dalamnya terdapat Pemerintah Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), negara-negara, serta lembaga pendukung, ini akan menyusun Perencanaan Investasi Komprehensif (Comprehensive Investment Plan/CIP) dalam 3-6 bulan.
Belum optimal
Kelompok kerja teknis pada JETP, yang terdiri dari International Energy Agency (pemimpin kelompok kerja), Rocky Mountain Institute, Indodepp, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Bank Dunia, berdiskusi antara lain tentang pemodelan sistem energi ke depan. Termasuk jumlah dan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang akan dibangun.
Peneliti senior IESR, Raditya Wiranegara, yang terlibat langsung dalam kelompok kerja teknis, mengemukakan, koordinasi antarkelompok kerja belum berjalan optimal, terutama dengan kelompok kerja kebijakan dan transisi berkeadilan. Padahal, output yang dihasilkan dari satu kelompok kerja berkaitan erat dengan kelompok kerja lain sehingga perlu koordinasi yang matang.
Adanya JETP akan membuka peluang PLN dalam terus mendukung transisi energi. Namun, JETP hanya salah satu platform dukungan.
Misalnya, pemodelan atau skenario tentang harga batubara untuk kelistrikan (DMO), apakah akan tetap dipatok 70 dollar AS per ton atau perlu perubahan (reformasi) agar ada level playing field (kesetaraan) antara energi terbarukan dan energi fosil. Koordinasi kelompok kerja teknis dengan kelompok kerja kebijakan pun krusial.
Adapun IESR, imbuh Raditya, lebih fokus pada analisis terkait energi terbarukan. Dari hasil pemodelan, misalnya, didapat perkiraan kapasitas energi terbarukan yang harus terpasang agar mencapai target yang ada di joint statement JETP.
”Dari situ, kami analisis dengan data yang diberikan PLN (PT Perusahaan Listrik Negara), kira-kira proyek mana saja yang perlu diprioritaskan untuk dibangun segera. Juga diidentifikasi berbagai tantangannya dalam pembangunan pembangkit energi terbarukan, baik baseload (pemikul beban dasar) maupun yang variabel,” ujarnya.
Raditya mengungkap, dari hasil kelompok kerja teknis, jenis energi terbarukan yang masuk dispatchable atau baseload adalah panas bumi dan bioenergi (termasuk biomassa, biogas, dan biomassa untuk co-firing PLTU). Sementara jenis variabel energi terbarukan berupa energi surya dan bayu.
Baca juga : Pendanaan Transisi Energi Perlu Melindungi Masyarakat Terdampak
Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Warsono menambahkan, adanya JETP akan membuka peluang PLN dalam terus mendukung transisi energi. Namun, JETP hanya salah satu platform dukungan. Selama ini, PLN pun sudah melakukan berbagai program dekarbonisasi, bekerja sama dengan sejumlah lembaga keuangan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F27%2Fe30c9b32-32f4-4f54-aee6-f1c57fe88bf9_jpg.jpg)
Kincir angin milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 MW ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW.
”Kebutuhan (pendanaan dalam pengurangan emisi) kami hingga 2030 bisa mencapai 130 miliar dollar AS. (Apabila terealisasi) JETP katakanlah memenuhi 20 miliar dollar AS. Jadi, hanya salah satu platform. Kami membutuhkan juga platform dari dukungan lain, termasuk pendanaan dalam negeri,” kata Warsono dalam diskusi tentang tantangan dan risiko JETP Indonesia, di Jakarta, Kamis (3/8/2023).
Sebelum peluncuran CIPP dipastikan mundur, implementasi JETP memang menemui berbagai tantangan. Misalnya, belum jelas berapa porsi hibah serta porsi skema pendanaan lain dari total komitmen. Pasalnya, Indonesia akan membutuhkan porsi hibah yang besar guna mencapai target-target pengurangan emisi dalam JETP. Juga, belum ada angka pasti mengenai bunga pinjaman yang akan ditawarkan.
Di samping itu, pengakhiran dini operasi PLTU juga harus memperhatikan prinsip keadilan, seperti kepastian nasib tenaga kerja dan masyarakat yang berpotensi terdampak. Bagi tenaga kerja, peningkatan keterampilan (upskilling) serta persiapan menjalani peran baru (reskilling) harus diperhatikan guna mencegah pengangguran.
Pakar energi sekaligus Guru Besar Bidang Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto, menuturkan, sebelum ada JETP, Indonesia sebenarnya sudah berkomitmen dalam transisi energi. Hal itu, misalnya, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan turunannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Indonesia akan membutuhkan porsi hibah yang besar guna mencapai target-target pengurangan emisi dalam JETP. Juga, belum ada angka pasti mengenai bunga pinjaman yang akan ditawarkan.
”Kalau memang JETP jadi (tersalurkan), negara untung. Tapi, kalau tidak jadi, ya, kerjakan saja sesuai dengan KEN (Kebijakan Energi Nasional dan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) yang sudah disusun. Hingga kini aturan itu, kan, belum dicabut dan direvisi. Perlu ada komitmen kuat,” katanya.
Selama ini, pengembangan energi terbarukan memang berjalan lambat. Menurut data Kementerian ESDM, hingga akhir 2022, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,3 persen. Padahal, ada target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025. Waktu yang tersisa untuk memenuhi target semakin sedikit.
Baca juga :