ASEAN Bersiap Bahas Wacana Dedolarisasi Lebih Konkret
Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Se-ASEAN (AFMGM) pada pekan ini akan mengonkretkan kesepakatan terkait penguatan kerja sama keuangan di kawasan, termasuk implementasi wacana dedolarisasi.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara di Asia Tenggara akan mengonkretkan kesepakatan untuk memperkuat kerja sama keuangan. Melalui penggunaan mata uang lokal dalam bertransaksi serta sistem pembayaran yang saling terkoneksi di kawasan, nilai tukar mata uang negara-negara ASEAN diharapkan lebih stabil dan tidak lagi bergantung pada dollar AS.
Sebelumnya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-42, Mei 2023, para pemimpin negara ASEAN sepakat mendorong kerja sama di sektor keuangan. Dua skema yang mengemuka adalah penggunaan mata uang lokal dalam transaksi di kawasan (local currency transaction/LCT) dan konektivitas pembayaran regional (regional payment connectivity/RPC).
Lewat skema RPC, pembayaran lintas batas di kawasan ASEAN diharapkan lebih cepat, murah, dan inklusif. Kerja sama itu mencakup penerapan sistem pembayaran digital yang sama di negara yang terlibat, termasuk penggunaan QR Code Indonesian Standard (QRIS) dan fast payment.
Sementara melalui skema LCT atau yang kerap disebut dengan “dedolarisasi”, transaksi perdagangan dan investasi bilateral antara negara anggota ASEAN tidak perlu lagi memakai dollar AS, tetapi bisa menggunakan mata uang lokal masing-masing negara.
Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Iss Savitri Hafid mengatakan, dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) Ke-2 yang digelar pekan ini pada 22-25 Agustus 2023, negara-negara ASEAN akan mengerucutkan kerangka kerja untuk mengonkretkan implementasi berbagai kesepakatan tersebut.
”Berbagai skema kerja sama ini diharapkan bisa menekan demand dan ketergantungan terhadap mata uang tertentu saja dan berkontribusi pada kestabilan nilai tukar rupiah dan mata uang negara-negara ASEAN lainnya,” kata Iss dalam konferensi pers penyelenggaraan AFMGM Ke-2 di Jakarta, Senin (21/8/2023).
Kita akan mengarusutamakan skema ini agar semua negara punya pemahaman yang sama.
Menurut Iss, masih ada beberapa hal yang perlu disiapkan untuk melancarkan penerapan dedolarisasi sesuai kesepakatan para pemimpin negara. Antara lain, keterlibatan pemerintah untuk mendukung implementasi LCT, keterlibatan bank swasta untuk memfasilitasi transaksi dengan menggunakan mata uang lokal, serta keterlibatan para eksportir swasta.
Di sisi lain, belum semua negara ASEAN familiar dengan LCT. ”Kita akan mengarusutamakan skema ini agar semua negara punya pemahaman yang sama. Mei lalu sudah ada deklarasi para pemimpin. Pekan ini, harapannya kita bisa sepakati high level principle yang konkret dan mengerucut ke item-item yang harus disiapkan untuk mendorong implementasi LCT,” katanya.
Pembahasan lebih detail berikutnya akan dilanjutkan dalam KTT ASEAN 2024 di bawah keketuaan Laos. ”Kita kerucutkan principle-nya dari sekarang supaya tahun depan sudah bisa kita sepakati framework-nya. Begitu framework sudah disepakati, kita tinggal mendetailkan perjanjian bilateral,” ujar Iss.
Sementara itu, terkait implementasi sistem pembayaran regional yang saling terkoneksi (RPC), forum AFMGM Ke-2 akan mendorong perluasan kerja sama. Tahun lalu, di KTT G20, lima negara ASEAN (Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia) sudah sepakat mengintegrasikan sistem pembayarannya. Tahun ini, diharapkan lebih banyak negara ASEAN bisa terlibat.
Iss mengatakan, Vietnam akan menjadi negara terbaru yang siap bekerja sama untuk menghubungkan sistem pembayarannya dengan negara ASEAN lain.
”Mudah-mudahan sudah bisa diteken tanggal 25 Agustus ini. Selain Vietnam, masih ada dua negara lain yang mau signing, tetapi yang sudah siap itu Vietnam. Kita juga akan memperluas skema ini dengan negara-negara non-ASEAN,” kata Iss.
Pajak minimum global
Selain membahas tentang kerja sama keuangan, AFMGM Ke-2 juga akan membahas mengenai dampak penerapan pajak minimum global (global minimum tax/GMT) sebesar 15 persen bagi perusahaan multinasional.
Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan Yogi Rahmayanti mengatakan, isu GMT telah menjadi pembahasan rutin dalam Forum Perpajakan ASEAN (ASEAN Forum on Taxation/AFT). Dalam forum AFMGM Ke-2, isu tersebut akan dibahas, tetapi kemungkinan besar tidak mencapai deklarasi sikap bersama.
Pajak minimum global dinilai hanya akan menguntungkan negara maju yang daya saing investasinya lebih kuat.
”Isu mengenai GMT ini tidak hanya spesifik antara negara maju dan berkembang, tetapi juga mengenai kebijakan pajak. Jangan sampai ada negara yang mengenakan pajak sangat rendah. GMT memang ada dalam pembahasan, tetapi untuk teknisnya apakah akan sampai pada posisi tertentu mengenai sikap ASEAN, kami belum melihat ke arah sana,” kata Yogi.
Sebelumnya, isu GMT sempat disoroti oleh para menteri urusan investasi se-ASEAN dalam pertemuan ASEAN Economic Ministers (AEM) Meeting di Semarang. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, implementasi GMT seharusnya dikaji kembali. Sebab, GMT hanya akan menguntungkan negara maju yang daya saing investasinya lebih kuat.
Menurut dia, untuk menarik investasi, negara berkembang masih membutuhkan ”pemanis” seperti berbagai insentif perpajakan. Oleh karena itu, kebijakan perpajakan negara maju tidak bisa dipukul rata dengan negara berkembang. ”Jujur, tidak apple to apple (sebanding) kalau negara maju mau menjadikan baseline yang sama dengan negara berkembang,” kata Bahlil.
Sebagai gambaran, penerapan pajak minimum global diusulkan untuk menekan potensi penghindaran pajak. Menurut kesepakatan negara-negara maju yang tergabung dalam G7 dan G20, pajak minimum global itu akan dipungut sebesar 15 persen kepada perusahaan multinasional.
”Dengan pajak minimum 15 persen itu, mau tidak mau negara berkembang yang lagi mendorong hilirisasi akan mengalami hambatan besar sebab pemilik modal yang punya teknologi pasti akan memilih berinvestasi di negara mereka,” katanya.