Untuk mengurangi ketergantungan akan dollar AS dan menciptakan stabilitas nilai tukar, ASEAN+3 sepakat mendorong penyelesaian transaksi antarnegara dengan mata uang lokal.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+3 yakni 10 negara Asia Tenggara ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan sepakat memperkuat kerja sama keuangan di kawasan. Penguatan kerja sama ini antara lain dilakukan dengan mendorong penyelesaian transaksi dalam mata uang lokal masing-masing negara atau Local Currency Transaction.
Komitmen tersebut merupakan hasil kesepakatan dari Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara Anggota ASEAN+3 (the ASEAN+3 Finance Ministers' and Central Bank Governors Meeting/AFMGM+3), yang diadakan Selasa (2/5/2023), di Incheon, Korea Selatan.
Pertemuan tersebut diselenggarakan di bawah mitra keketuaan (co-chairmanship) dari Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki, dan Gubernur Bank of Japan Kazuo Ueda.
Selain itu juga hadir pejabat lembaga keuangan internasional seperti Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB), Direktur ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) ASEAN+3, Deputi Sekretaris Jenderal ASEAN Secretariat, dan Deputi Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF).
Selain sepakat dalam pelaksanaan LCT, negara-negara ASEAN+3 juga sepakat untuk memperkuat kerja sama keuangan regional melalui inisiatif di bawah Regional Financing Arrangements (RFA) Future Direction, Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM), AMRO, Asian Bond Markets Initiative (ABMI), Disaster Risk Financing (DRF).
Disepakati pula ASEAN+3 Future Initiatives termasuk pembiayaan infrastruktur, kajian studi pada fasilitas nonpembiayaan, pembiayaan risiko bencana (DRF), serta kajian studi beberapa tema strategis atas digitalisasi keuangan, keuangan berkelanjutan, utang korporasi, utang rumah tangga.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyoroti, ketergantungan yang besar pada dominasi mata uang tertentu dalam perdagangan dan investasi dapat meningkatkan kerentanan dan risiko instabilitas keuangan negara-negara anggota ASEAN+3.
“Di tengah inflasi yang tinggi, kondisi likuiditas yang lebih ketat, ruang kebijakan yang lebih sempit, dan pengaruh kuat dollar AS, negara ASEAN+3 perlu berinovasi,” ujar Perry, dalam siaran persnya, Rabu (3/5/2023).
Dalam hal ini, Perry menekankan pentingnya memperkuat dan meningkatkan kerja sama di antara negara-negara ASEAN+3 dalam konektivitas pembayaran dengan mempromosikan penggunaan mata uang lokal yang lebih luas untuk transaksi. Berkaitan dengan hal tersebut, AFMGM+3 menyambut baik dan mengakui perkembangan kajian Sistem Pembayaran Lintas Batas di ASEAN+3, khususnya mengenai penguatan LCT dalam pembahasan isu tematik ASEAN+3.
Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, negara-negara ASEAN+3 memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang solid. Di tengah dampak pandemi yang belum reda sepenuhnya dan konflik Rusia-Ukraina yang meningkat menjadi krisis, pertumbuhan ekonomi ASEAN+3 masih kuat yakni 3,2 persen. Gejolak sektor perbankan baru-baru ini di AS dan Eropa pun dinilai memiliki dampak rambatan yang terbatas di kawasan ASEAN+3.
Meskipun demikian, lanjut Sri Mulyani, semua pihak tetap harus waspada. “Ke depan, kawasan ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,6 persen pada tahun 2023, dipacu oleh permintaan domestik yang kuat karena pemulihan ekonomi terus menunjukkan perbaikan,” ujar Sri Mulyani.
Stabilitas
Dihubungi terpisah Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, kerja sama antara negara ASEAN dengan 3 negara Asia Timur ini terjadi karena masing-masing pihak memiliki aspirasi yang sama yakni berupaya menjaga stabilitas nilai tukar.
Dengan menggunakan mata uang lokal negara masing-masing dalam perdagangan dan investasi internasional, diharapkan ketergantungan terhadap dollar AS dapat dikurangi
Dengan menggunakan mata uang lokal negara masing-masing dalam perdagangan dan investasi internasional, diharapkan ketergantungan terhadap dollar AS dapat dikurangi. “Harapannya nilai tukar mata uang bisa lebih stabil dan mengurangi kerentanan serta risiko instabilitas,” ujar Josua.
Setelah nilai tukar lebih stabil, lanjut Josua, perekonomian pun bisa bertumbuh lebih baik. Dengan adanya kerja sama ASEAN+3, volume dan frekuensi perdagangan serta investasi antara negara anggota juga akan makin besar, sehingga lebih ideal bila semua transaksi itu bisa diselesaikan dengan mata uang lokal masing-masing negara.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan, posisi Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini sangat strategis. Tak hanya mendorong keputusan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, tetapi juga perekonomian regional Asia Tenggara.
“Dengan posisi Indonesia tahun ini sebagai keketuaan regional Asia Tenggara (ASEAN), makin strategis untuk membuka kerjasama LCT ini dengan semua negara di kawasan ini,” ujar Ajib.
Saat ini Indonesia telah menjalin kerjasama LCT dengan lima negara yakni Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan. Pelaksanaan LCS ini dimulai pada 2018 dengan Malaysia dan Thailand. Pada 2020, Indonesia mulai menjalin kerja sama serupa dengan Jepang dan pada 2021 dengan China.
Mengutip data BI, sejak memulai kerja sama LCT atau LCS pada 2018 hingga Maret 2023, terdapat total transaksi setara dengan 10,10 miliar dollar AS. Transaksi ini tergantikan dengan mata uang rupiah dan mata uang lokal negara-negara yang bekerja sama dengan Indonesia.
Adapun rinciannya pada 2018 tercatat transaksi setara 348 juta dollar AS, 2019 sebesar 760 juta dollar AS, 2020 sebesar 797 juta dollar AS, 2021 sebesar 2,5 miliar dollar AS, dan 2022 sebesar 4,1 miliar dollar AS. Adapun pada tiga bulan pertama tahun ini sudah tercatat transaksi setara 1,6 miliar dollar AS.
Tak hanya jumlah transaksinya yang terus bertambah, jumlah pelaku usaha yang memanfaatkan kerja sama pun juga ikut bertambah. Pada 2018 tercatat ada 141 pelaku usaha. Pada 2019 dilakukan oleh 264 pelaku usaha. Berikutnya, 269 pelaku usaha pada 2020. Kemudian, 1.249 pelaku usaha pada 2021 dan 2.047 pelaku usaha pada 2022. Hingga triwulan pertama 2023, sudah tercatat 2.405 pelaku usaha menggunakan LCT.