Belum ada patokan global mengenai kriteria suatu daerah tujuan wisata mengalami luapan kedatangan turis (overtourism). Di Indonesia, pemerintah menerapkan pariwisata berkualitas sebagai langkah antisipasi hal itu.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
Seusai pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 dicabut, hasrat warga bepergian membubung. Mereka gencar bepergian, seolah perjalanan wisata jadi balas dendam (revenge tourism) setelah terkungkung selama pandemi. Selain kota-kota populer, hutan alami, pantai, dan kota-kota kecil kuno di dunia pun kerap penuh turis saat ini.
Sejumlah destinasi populer, di Eropa khususnya, semakin menggeser kampanye pariwisata, dari semula ”Mari Datang ke Kami” dengan ”Tolong Jangan Datang”. Strategi ini ditengarai muncul karena sejumlah tujuan ikonik di kawasan itu benar-benar ”dikuasai” oleh wisatawan. Suasananya menjadi bising, penuh sesak, berpolusi, tidak aman, dan tidak nyaman bagi penduduk setempat. The Guardian bahkan menyebut destinasi terkenal kini semakin berubah hanya sebatas menjadi latar swafoto turis.
Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) memperkirakan, pada akhir dekade ini arus wisatawan internasional akan melampaui 2 miliar. Meski belum sampai masuk level isu resmi pemerintah, perdebatan seputar bagaimana menangani fenomena turis yang terlalu berlebihan (overtourism) sudah dimulai.
Sebelum pandemi dan endemi Covid-19, isu membludaknya wisatawan sebenarnya telah lama berkembang. The New York Times melalui artikel ”How Much Tourism Is Too Much?” (29/6/2017) menyebutkan, beberapa kota Eropa telah berupaya membatasi kedatangan dan perjalanan turis.
Pemerintah Venesia, misalnya, merespons teriakan penduduk yang memasang tanda di beberapa bagian kota bertuliskan, ”Wisatawan Pergi!!! Kamu Merusak Area Ini”. Pemerintah tergerak memberlakukan pembatasan jumlah orang yang dapat mengunjungi situs-situs yang sangat populer. Pulau Santorini Yunani, yang hanya seluas 29 mil persegi, juga harus membatasi penumpang kapal pesiar jadi 8.000 per hari pada tahun 2017.
Strategi ini ditengarai muncul karena sejumlah tujuan ikonik di kawasan itu benar-benar ”dikuasai” oleh wisatawan. Suasananya menjadi bising, penuh sesak, berpolusi, tidak aman, dan tidak nyaman bagi penduduk setempat.
Sejumlah pemerintah kota di belahan dunia telah menerapkan pajak bagi turis yang datang sebagai solusi lain menghadapi dampak negatif dari luapan turis. Hal itu dapat mengumpulkan dana yang signifikan untuk pembersihan dan perbaikan jalan, serta perbaikan kota lainnya yang menguntungkan pengunjung dan penduduk setempat.
Turis asing melintas di dekat arak-arakan umat Hindu yang akan melaksanakan upacara Melasti di pantai Samuh, Badung, Bali, Minggu (19/3/2023).
Dalam laporan ”White Paper: Destination Funding and the Impact of Tourism Taxes on European Cities and Urban Communities (November 2020)”, sejumlah 21 negara Eropa yang disurvei mengenakan pajak atas akomodasi turis, biasanya dalam kisaran 0,50 hingga 3 euro (sekitar 55 sen hingga 3,30 dollar AS) per orang per malam.
Sementara di Amerika Serikat, sebagian besar negara bagian mengenakan pajak persentase satu digit untuk akomodasi, tetapi ini sangat bervariasi, dari nol pajak untuk penginapan di Alaska dan California hingga pajak hotel 15 persen di Connecticut.
Begitu banyak faktor berbeda, tetapi saling terkait, yang mendorong warga semakin mudah bepergian dan akhirnya mengakibatkan isu luapan turis terjadi. Dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir terjadi gebrakan inovasi di sektor penerbangan, seperti pesawat jet yang lebih lebar, efisien, dan munculnya maskapai penerbangan bertarif rendah. Di sektor kelautan lahir kapal pesiar berbadan lebih besar sehingga mampu menampung penumpang lebih banyak.
Internet pun berkembang dan mendemokratisasikan hampir semua kebutuhan perjalanan, mulai dari pemesanan daring, ulasan destinasi, hingga mengakses fasilitas berbagi tumpangan dan rumah. Faktor terakhir adalah pengaruh media sosial. Makna pariwisata saat ini cenderung bukan semata-mata mencari pengalaman, tetapi juga menggunakan fotografi dan media sosial untuk membangun citra pribadi.
Makna pariwisata saat ini cenderung bukan semata-mata mencari pengalaman, tetapi juga menggunakan fotografi dan media sosial untuk membangun citra pribadi.
Dalam konferensi pers mingguan, Senin (7/8/2023), di Jakarta, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno menyatakan, Indonesia belum mengalami permasalahan terlalu banyak turis. Kendati demikian, Bali dinilai paling memiliki gejala luapan turis karena kunjungan turis terus meningkat lebih dari 80 persen tahun ke tahun untuk wisatawan mancanegara (wisman) dan bertumbuh single digit to low double digit untuk pergerakan wisatawan nusantara (wisnus).
Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana I Gde Pitana dalam artikelnya berjudul ”Gejala Overtourism dan Ribbon Development dalam Pariwisata Bali” yang termuat di buku Rethinking Tourism Indonesia (2022) mengatakan, Travel Off Path pernah menyebut Bali termasuk empat daerah tujuan wisata yang mendapat dampak negatif terparah dari kelebihan wisatawan. Tiga lainnya adalah Dubrovnik di Croatia, Barcelona di Spanyol, dan Venesia di Italia.
Sejauh ini, belum ada patokan kriteria terlalu banyak turis yang disepakati secara global. Ada yang menggunakan perbandingan jumlah wisman dengan penduduk lokal dan ini paling banyak dipakai. Akan tetapi, beberapa destinasi menunjukkan jumlah turis yang tinggi belum tentu jadi ancaman. Di daerah tujuan wisata lainnya yang memperoleh kunjungan turis tidak terlalu tinggi, malah sudah dirasa mengganggu.
Terlepas dari itu, ada beberapa realitas untuk mendefinisikan gejala terlalu banyak turis. Di Bali, Pitana menyebutkan, sudah terlihat pembangunan model pita sepanjang jalan raya, fasilitas pariwisata merambah ke ruang yang seharusnya bukan peruntukannya. Terjadi pula perilaku wisatawan yang mengganggu.
Di luar itu, masih perlu ditelaah faktor lain, seperti sifat sumber daya pariwisata terbatas dan manajemen kepariwisataan yang nyaris memperbolehkan wisatawan berkunjung ke mana saja.
Jika solusi mengantisipasi terlalu banyak turis adalah menggeser dari pariwisata massal (mass tourism) ke pariwisata berkualitas (quality tourism), solusi ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Sumber daya pendukung daerah tujuan wisata di Indonesia, khususnya, masih cenderung mendukung kehadiran pariwisata massal.
Sebagai gambaran, fasilitas hotel tersedia mulai dari level bintang lima hingga homestay. Fasilitas angkutan umum belum terintegrasi optimal, sementara ini penting untuk mendukung penyebaran wisatawan agar tidak menumpuk di destinasi tertentu.
Produk dan pencitraan pariwisata di sejumlah daerah tujuan wisata di dalam negeri sejak lama memang tidak untuk wisatawan ”mahal”. Indonesia harus bersaing dengan sejumlah negara tetangga yang juga menawarkan daerah tujuan wisata yang biayanya lebih terjangkau.
Kualitas wisatawan tidak harus dibenturkan dengan kuantitas wisatawan. Sebab, tidak ada jaminan bahwa turis yang pengeluarannya tinggi tidak akan menimbulkan masalah. Begitu pula sebaliknya dengan turis backpacker.
Kualitas wisatawan tidak harus dibenturkan dengan kuantitas wisatawan. Sebab, tidak ada jaminan bahwa turis yang pengeluarannya tinggi tidak akan menimbulkan masalah.
Usaha meningkatkan kualitas wisatawan tetap harus dilakukan dan pengukurannya bukan hanya dari pengeluaran per hari. Kualitas dari kepedulian terhadap lingkungan dan kepedulian terhadap pelestarian budaya lokal juga perlu diukur.
Mengelola daerah tujuan wisata sebenarnya sama seperti mengelola sumber daya alam, seperti pertambangan dan perikanan. Tingkat wisatawan yang berkelanjutan membawa keuntungan luas bagi ekonomi lokal.
Akan tetapi, terlalu banyak insentif dari pemerintah dan pengawasan yang longgar, seperti terkait tata ruang dan perilaku wisatawan, justru akan merusak destinasi itu sendiri. Daerah yang ingin menjinakkan jumlah turis harus mengatur keseimbangan yang halus tanpa terlihat tidak ramah bagi wisatawan.