Rupiah diyakini tetap menguat meski di tengah inflasi global dan kenaikan suku bunga acuan The Fed. Sampai akhir Juli 2023, nilai tukar rupiah menguat 3,13 persen ”year to date”, di atas apresiasi mata uang negara lain.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua dari kiri) bersama Gubernur Bank IndonesiaPerry Warjiyo (kedua dari kanan), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar (kiri), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan kepada wartawan terkait dengan hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (1/8/2023). KSSK menyatakan stabilitas sistem keuangan pada triwulan II-2023 masih tetap terjaga di tengah dinamika pasar keuangan global.
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pengetatan moneter yang berlanjut di sejumlah negara maju sejauh ini tidak berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Rupiah diyakini bakal konsisten menguat ditopang oleh kinerja pasar surat utang negara yang stabil serta kewajiban parkir devisa hasil ekspor sumber daya alam yang mulai diterapkan bulan ini.
Sampai 28 Juli 2023, nilai tukar rupiah tercatat menguat 3,13 persen secara year to date sejak level akhir Desember 2022. Posisi rupiah lebih kuat dari nilai tukar mata uang negara tetangga lainnya, seperti peso Filipina yang terapresiasi 1,55 persen, rupee India yang menguat 0,57 persen, dan baht Thailand yang terapresiasi 0,28 persen.
Penguatan nilai tukar rupiah itu terjadi di tengah ketidakpastian pasar keuangan global serta berlanjutnya kebijakan pengetatan moneter di sejumlah negara maju. Pekan lalu, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), baru saja menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak 25 basis poin hingga mencapai 5,25-5,5 persen, tertinggi dalam dua dekade.
The Fed diperkirakan menaikkan lagi suku bunga acuannya sebanyak satu kali pada September 2023 hingga menyentuh level 5,75 persen. Pengetatan moneter itu seiring dengan tekanan inflasi dari negara maju yang masih relatif tinggi. Proyeksi inflasi global masih diliputi ketidakpastian seiring dengan adanya potensi kenaikan inflasi pangan dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakini, meski di tengah tekanan inflasi global, nilai tukar rupiah akan konsisten menguat dengan ditopang oleh indikator fundamental ekonomi yang kuat, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang menarik, serta kebijakan wajib parkir devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) yang berlaku mulai bulan ini.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas menyiapkan uang di tempat penyimpanan uang Bank Mandiri di Plaza Mandiri, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
”Nilai tukar rupiah akan tetap terkendali untuk mendukung stabilitas perekonomian,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) triwulan II-2023 di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (1/8/2023).
Ia memaparkan, likuiditas valuta asing (valas) di dalam negeri masih akan terjaga akibat kinerja SBN yang menguat. Per 28 Juli 2023, imbal hasil (yield) SBN Indonesia seri benchmark 10 tahun menguat 66 basis poin secara year to date menuju level 6,28 persen. Ketersediaan valas yang stabil di dalam negeri membuat stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa tetap terjaga.
Penguatan kinerja pasar surat utang negara itu didukung oleh laju inflasi Indonesia yang masih terkendali sesuai kisaran target 3 persen plus minus 1 persen atau 2-4 persen. Badan Pusat Statistik mencatat, per Juli 2023, inflasi secara tahunan melandai ke 3,08 persen.
Di sisi lain, kondisi perekonomian dan kinerja APBN yang terjaga juga membuat investor masih yakin menanamkan modal di pasar surat utang RI. Per akhir Juli 2023, aliran modal asing yang masuk ke pasar SBN mencapai Rp 91,86 triliun secara year to date.
”Ini tandanya investor, terutama investor asing, masih memiliki confidence pada pasar SBN kita. Ini sesuatu yang sangat baik karena terjadi di tengah volatilitas pasar keuangan global dan kenaikan suku bunga FFR yang luar biasa tinggi,” kata Sri Mulyani.
Ditopang DHE
Rupiah juga diyakini menguat seiring dengan kebijakan wajib parkir 30 persen DHE SDA yang mulai berlaku sejak 1 Agustus 2023. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memperkirakan potensi devisa dari kebijakan itu sekitar 8 miliar dollar AS sampai 9 miliar dollar AS per bulan.
Estimasi BI, jika tingkat kepatuhan eksportir 90 persen, tambahan cadangan devisa yang bisa ditarik negara adalah 9,2 miliar dollar AS per bulan. Jika tingkat kepatuhan 75 persen, devisa yang dikantongi 8 miliar dollar AS per bulan. Sementara, jika tingkat kepatuhan 50 persen, tambahan likuiditas valas yang bisa didapat tiap bulan adalah 5 miliar dollar AS.
Perhitungan BI itu berbeda tipis dari perkiraan Kementerian Keuangan, yang memperkirakan tambahan cadangan devisa per bulan dari kebijakan DHE SDA adalah 10 miliar sampai 12 miliar dollar AS. Angka itu didapat dari potensi ekspor SDA dengan nilai per dokumen pemberitahuan pabean ekspor (PPE) di atas 250.000 dollar AS senilai total 164 miliar dollar AS.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kesibukan bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Menurut Perry, potensi dari kebijakan wajib parkir DHE SDA itu diperkirakan baru mulai terasa pada Desember 2023 ini. Semakin banyak valas yang berputar di dalam negeri, nilai tukar rupiah diyakini akan tetap kuat meskipun ada gejolak di sistem keuangan global.
“Ini tentu sangat tergantung pada tingkat compliance eksportir, tetapi yang jelas kebijakan ini akan memperkuat cadangan devisa kita,” kata Perry.
Untuk memastikan tingkat kepatuhan pengusaha tinggi, pemerintah mempertimbangkan menambah insentif bagi eksportir. Sri Mulyani mengatakan, setelah beraudiensi dengan pelaku usaha SDA, Senin (31/7/2023), pemerintah akan mengkaji opsi fasilitas dan insentif tambahan.
”Contohnya, kalau ada pengusaha yang butuh DHE untuk modal kerja, kita akan lihat apakah bisa ada insentif tambahan. Selama enam bulan ke depan ini akan kita observasi bersama supaya kebijakan ini bisa lebih menarik bagi eksportir,” katanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed hanya akan menimbulkan gejolak sesaat terhadap nilai tukar rupiah. Bahkan, saat ini justru terjadi pembelian net di pasar obligasi dan saham, sehingga potensi arus modal keluar (capital outflow) hanya terjadi minimal dan rupiah tidak terdepresiasi.
”Kalaupun ada pelemahan nilai tukar, kemungkinan sifatnya hanya short term. Ini karena kenaikan suku bunga The Fed kali ini lebih mild, tidak seagresif tahun lalu. Selain itu, faktor dalam negeri mendukung. Inflasi kita sekarang sudah lebih rendah dari target,” kata Faisal.
Terkait dampak kebijakan DHE SDA, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai kebijakan itu bukan satu-satunya senjata untuk menguatkan rupiah. Meski demikian, tambahan suplai valas dari kebijakan itu bisa menekan potensi pelemahan nilai tukar. ”Kalau likuiditas valas meningkat dan rupiah lebih stabil, sektor usaha juga pasti akan diuntungkan,” ujarnya.