Pola Konsumsi Berubah, Penghitungan Garis Kemiskinan Perlu Direvisi
Penentuan garis kemiskinan dinilai masih belum menggambarkan kondisi penduduk miskin. Oleh sebab itu, perlu ada perbaikan terkait metode perhitungan garis kemiskinan.
JAKARTA, KOMPAS — Garis kemiskinan sebagai penentu arah kebijakan pemerintah perlu direvisi karena terdapat pergeseran pola konsumsi penduduk dan perbedaan harga pangan antarwilayah. Di sisi lain, kemiskinan ekstrem dan kerentanan ekonomi masih menjadi tantangan.
Garis kemiskinan merupakan batas minimum pengeluaran yang harus dipenuhi oleh seseorang guna mendapat standar hidup yang layak. Kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, seperti sandang, papan, listrik, serta pendidikan, menjadi komposisi utama dalam menentukan garis kemiskinan.
Peneliti senior di The SMERU Research Institute Sudarno Sumarto, pada Kamis (27/7/2023), mengatakan, garis kemiskinan menentukan langkah pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah. Sejak revisi terakhir tahun 1998, garis kemiskinan ditentukan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach) yang salah satunya mengacu pada aspek 2.100 kilogram kalori per kapita per hari.
Sederhananya, kebutuhan dasar makanan itu mengacu pada total biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh makanan setara 2.100 kilogram kalori per kapita per hari. Dalam mengonversi biaya tersebut, inflasi turut menjadi salah satu variabel perhitungan.
”Tidak ada yang salah dengan pendekatan berbasis kebutuhan dasar. Namun, metodologi yang digunakan selama ini merupakan ukuran absolut berkala sehingga pemerintah akan sulit dalam mengukur ketepatan dari arah kebijakannya. Oleh sebab itu, garis kemiskinan perlu direvisi,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”The Poverty Line Revisited”yang diadakan oleh Australia National University Indonesia Project secara daring.
Menurut Sudarno, populasi yang menjadi acuan untuk menghitung garis kemiskinan harus mewakili penduduk miskin. Komoditas makanan dan kebutuhan makanan perlu mempertimbangkan item-item baru yang mencerminkan pola konsumsi masyarakat miskin.
Dalam memilih makanan, kata Sudarmo, setiap orang memiliki pilihan yang berbeda. Misalnya, mereka yang makan dengan nasi dan telur akan mengeluarkan biaya lebih rendah ketimbang mereka yang makan dengan makanan cepat saji atau daging sapi. Padahal, kalori yang didapatkan sama-sama sebesar 2.100 kilogram per hari.
Rata-rata harga komoditas di setiap provinsi berbeda. Hal ini membuat angka kemiskinan tidak dapat dibandingkan antarprovinsi sehingga perlu harga median yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan untuk mengurangi perbedaan harga.
Berdasarkan data BPS selama dua dekade hingga tahun 2019, telah terjadi pergeseran pola konsumsi penduduk. Porsi pengeluaran untuk makanan menurun sebesar 12,19 persen poin dan perubahan terbesar terlihat pada peningkatan konsumsi makanan siap saji sebesar 11,07 persen.
Lebih lanjut, perhitungan garis kemiskinan hanya menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikumpulkan dua kali setahun. Namun, jumlah sampel tidak mencukupi untuk menangkap perubahan dalam pola konsumsi sehingga dibutuhkan peningkatan ukuran sampel yang lebih besar.
”Rata-rata harga komoditas di setiap provinsi berbeda. Hal ini membuat angka kemiskinan tidak dapat dibandingkan antarprovinsi sehingga perlu harga median yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan untuk mengurangi perbedaan harga,” kata Sudarno.
Di sisi lain, penghitungan garis kemiskinan bukan makanan menggunakan metode Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) tahun 2004 sudah tidak lagi mencerminkan gaya hidup dan pola konsumsi penduduk. Karena itu, perlu ada alternatif lain yang relevan dengan kebutuhan terkini, seperti tabung gas (LPG), pulsa telepon, dan pengeluaran untuk internet.
Dalam Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), beberapa waktu lalu, garis kemiskinan pada Maret 2023 tercatat Rp 550.458 per kapita per bulan atau naik 2,78 persen dibandingkan September 2022. Dari jumlah tersebut, sebesar 74,21 persen berasal dari garis kemiskinan makanan senilai Rp 408.522 per kapita per bulan dan garis kemiskinan bukan makanan senilai Rp 141.936 per kapita per bulan.
Berdasarkan komoditasnya, beras dan rokok menjadi dua kontributor teratas dalam garis kemiskinan makanan. Beras berkontribusi sebesar 19,35 persen di perkotaan dan 23,73 persen di perdesaan, sedangkan rokok sebesar 12,14 persen di perkotaan dan 11,34 persen di perdesaan. Adapun kontribusi garis kemiskinan bukan makanan paling besar adalah perumahan sebesar 8,81 persen di perkotaan dan 8,38 persen di perdesaan.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Ahmad Avenzora menjelaskan, komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas, antara lain, padi, umbi, ikan, sayur, buah, dan daging. Adapun komoditas kebutuhan dasar bukan makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.
”Hampir di setiap tahunnya, beras dan rokok berkontribusi pada garis kemiskinan makanan. Masih ada juga kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan yang tinggi, masing-masing sebesar 12,22 persen dan 7,29 persen. Lalu, sebesar 54,7 persen penduduk miskin ada di perdesaan," ujar Ahmad.
Berdasarkan karakteristiknya, rata-rata penduduk miskin memiliki jenjang pendidikan yang rendah dan lantai rumah yang berkualitas rendah. Selain itu, mereka rata-rata bekerja di sektor informal dan sektor pertanian.
Ahmad menambahkan, perhitungan garis kemiskinan masih menggunakan konsep konsumsi saja sehingga masih terdapat wilayah dengan jumlah penduduk miskin yang banyak karena tingkat konsumsinya rendah, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika menggunakan Indeks Kemiskinan Multidimensi (multidimensional poverty index/MPI), hasilnya akan berbeda karena mengakomodasi indikator-indikator lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.
Baca juga: Kemiskinan Menurun, tetapi Ketimpangan Meningkat
”Kami (BPS) terbuka dengan para akademisi dan para peneliti untuk berdiskusi terkait dengan perbaikan metode mana yang tepat,” ujarnya.
Kerentanan ekonomi
Dalam laporan bertajuk ”Indonesia Poverty Assessment” yang dirilis Mei 2023, Bank Dunia mengusulkan kepada Indonesia untuk memperluas definisi garis kemiskinan yang mengacu pada standar paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) terbaru untuk negara berpendapatan menengah, yakni 3,2 dollar AS per orang per hari atau sekitar Rp 47.502 atau Rp 1,4 juta per bulan. Hal ini mengakibatkan persentase penduduk miskin di Indonesia berpotensi meningkat dari 9,36 persen atau sebanyak 25,90 juta orang per Maret 2023 menjadi 16 persen atau 44 juta orang.
Peneliti Bidang Ekonomi Bank Dunia, Samuel Nursamu mengatakan, kondisi saat ini sudah berubah. Diperlukan beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mengukur kembali garis kemiskinan.
”Sekalipun persentase penduduk yang mengalami kemiskinan ekstrem kecil, pemerintah perlu memperluas fokusnya kepada mereka yang rentan secara ekonomi dan miskin secara struktural. Hal ini penting dalam membangun ketahanan ekonomi masyarakat,” tuturnya.
Menurut Samuel, sepertiga dari penduduk Indonesia atau separuh dari penduduk Indonesia yang tidak miskin merupakan kelompok rentan secara ekonomi. Mereka memiliki kecenderungan lebih dari 10 persen jatuh dalam kemiskinan selama satu tahun ke depan apabila terjadi guncangan ekonomi.
Baca juga: Sudah Tidak Relevan, Saatnya Garis Kemiskinan Dievaluasi
Sementara itu, kelompok yang mengalami kemiskinan struktural tahun ini akan tetap mengalaminya tahun depan. Ini karena mereka tidak memiliki modal yang cukup, baik berupa finansial maupun keterampilan untuk terlepas dari kemiskinan.