Sudah Tidak Relevan, Saatnya Garis Kemiskinan Dievaluasi
Pemerintah berencana akan mengevaluasi standar garis kemiskinan di Indonesia, meski tidak mengacu pada standar paritas daya beli (PPP) sebesar 3,2 dollar AS per hari per orang yang dianjurkan Bank Dunia.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penghitungan garis kemiskinan yang berlaku sekarang dinilai sudah usang dan tak lagi relevan dengan konteks terkini. Sudah saatnya standar garis kemiskinan dievaluasi agar upaya pengentasan kemiskinan bisa menyasar lebih banyak masyarakat rentan. Langkah ini harus diiringi dengan perbaikan pendataan status sosial-ekonomi masyarakat yang lebih akurat.
Akhir-akhir ini, isu mengenai revisi garis kemiskinan kembali muncul setelah Bank Dunia mengeluarkan laporan bertajuk “Indonesia Poverty Assessment” pada Senin (9/5/2023). Kajian itu mengusulkan supaya definisi kemiskinan di Indonesia diperluas agar lebih banyak orang bisa tersentuh bantuan dari negara, mengingat jumlah masyarakat rentan di Indonesia tergolong besar.
Indonesia diusulkan mengubah garis kemiskinan dengan menggunakan standar paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) terbaru untuk negara berpendapatan menengah, yakni sebesar 3,2 dollar AS per orang per hari atau sekitar Rp 47.502. Ukuran itu naik dari standar PPP untuk kemiskinan ekstrem yang saat ini menjadi acuan, yakni 1,9 dollar AS per orang per hari atau sekitar Rp 28.969.
Konsekuensinya, dengan standar baru itu, angka kemiskinan di Indonesia akan melonjak. Persentase penduduk miskin di Indonesia berpotensi meningkat dari 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang (berdasarkan data Badan Pusat Statistik) menjadi 16 persen atau 44 juta orang (berdasarkan usulan terbaru Bank Dunia).
Peneliti utama di The SMERU Research Institute Asep Suryahadi, Minggu (14/5/2023) menilai, saat ini adalah momen yang tepat untuk merevisi garis kemiskinan. Standar kemiskinan yang sekarang berlaku dinilainya kurang relevan karena sudah diterapkan sejak tahun 1998.
Dalam 25 tahun terakhir, telah terjadi banyak perkembangan di masyarakat, termasuk pola konsumsi. Ia mengatakan, penghitungan garis kemiskinan yang baru harus bisa menggambarkan pola konsumsi masyarakat saat ini untuk bisa mendefinisikan kemiskinan dengan lebih akurat.
“Tahun depan akan ada pergantian pemerintahan. Garis kemiskinan hasil revisi ini bisa dijadikan acuan oleh pemerintah yang baru nanti,” katanya.
Menurutnya, Indonesia tidak perlu serta-merta mengikuti acuan standar garis kemiskinan berdasarkan PPP sebesar 3,2 dollar AS per hari per orang yang diusulkan Bank Dunia. Evaluasi perhitungan garis kemiskinan bisa disesuaikan dengan konteks Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda di tiap wilayah.
Standar kemiskinan yang sekarang berlaku dinilai kurang relevan karena sudah diterapkan sejak tahun 1998.
“Sebenarnya yang lebih penting adalah bagaimana garis kemiskinan hasil revisi itu nanti mampu menggambarkan standar kemiskinan yang sesuai dengan konteks negara kita dan konteks terkini,” katanya.
Senada, peneliti Center of Macroeconomics and Finance di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai, ukuran garis kemiskinan yang kini dipakai pemerintah terlalu rendah. Apalagi jika dikonversi dengan nilai tukar rupiah yang berubah pesat.
Mengacu pada data BPS, garis kemiskinan per September 2022 tercatat sebesar Rp 535.547 per kapita per bulan, atau sekitar Rp 17.851 per orang per hari. “Seseorang dengan pengeluaran Rp 30.000 per hari sekarang ini dikategorikan tidak miskin. Sebenarnya terlalu naif kalau kita mencap itu tidak miskin, karena pengeluaran harian sebesar itu sangat rendah,” ujar Abdul.
Dengan standar pengukuran garis kemiskinan yang terlalu “murah” itu, sekilas, data kemiskinan memang terlihat rendah di kisaran satu digit. Namun, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tidak berkategori miskin tetapi sebenarnya hidup rentan.
Evaluasi garis kemiskinan perlu diarahkan untuk ikut mengkalkulasi masyarakat yang berada di sekitar garis kemiskinan, yakni 115 juta orang atau sekitar 40 persen dari total populasi saat ini. Kelompok ini rentan menjadi orang miskin baru jika ada guncangan ekonomi.
“Kalau pemerintah mau memperluas garis kemiskinan dan mengakomodasi kelompok rentan ini, itu akan menunjukkan angka kemiskinan yang lebih riil di Indonesia,” katanya.
Perbaikan data
Meski demikian, evaluasi garis kemiskinan ini adalah isu yang sensitif secara politik. Pasalnya, jika garis kemiskinan dinaikkan, jumlah warga miskin akan meningkat dan itu akan memberi citra buruk pada upaya pengentasan kemiskinan yang beberapa tahun terakhir ini berupaya digenjot pemerintah.
“Kalau garis kemiskinan direvisi, kemiskinan di Indonesia bisa naik di atas 10 persen, sementara era pemerintahan ini, kan, dikenal dengan capaian kemiskinan “satu digit”. Ketika garis kemiskinan naik jadi 3,2 dollar AS per hari, semua yang dicapai pemerintah selama ini seperti sia-sia,” ujar Abdul.
Ia menilai, sebelum merevisi garis kemiskinan, ada pekerjaan rumah penting yang perlu dituntaskan pemerintah sebelum rezim berganti, yakni membenahi pendataan status sosial-ekonomi masyarakat.
Ada pekerjaan rumah penting yang perlu dituntaskan pemerintah sebelum rezim berganti, yakni membenahi pendataan status sosial-ekonomi masyarakat.
Program Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang kini sedang dijalankan serentak di seluruh wilayah di Indonesia perlu dipastikan berjalan lancar, agar upaya pengentasan kemiskinan di kemudian hari memiliki acuan data yang lebih riil dan akurat. Pemerintah menargetkan pengumpulan dan pengolahan data Regsosek bisa rampung pertengahan tahun 2023 ini.
“Setelah data kita lebih akurat, baru langkah berikutnya adalah mengevaluasi penghitungan garis kemiskinan, supaya upaya kita mengentaskan kemiskinan bisa menargetkan lebih banyak masyarakat rentan,” kata Abdul.
Tetap dievaluasi
Lepas dari beban politis yang ada, pemerintah berencana akan mengevaluasi standar garis kemiskinan di Indonesia, meski tidak mengacu pada standar PPP sebesar 3,2 dollar AS per hari yang dianjurkan Bank Dunia.
Maliki, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan, standar 3,2 dollar AS per hari yang digunakan Bank Dunia lebih tepat digunakan untuk negara maju. Indonesia sendiri tidak akan menggunakan standar itu untuk memformulasikan kebijakan pengentasan kemiskinan.
Pemerintah, memiliki metodologi kemiskinan sendiri yang dihitung BPS berdasarkan kebutuhan pokok makanan setara 2.100 kilokalori dan kebutuhan non-makanan per kapita per bulan. Garis kemiskinan itu disesuaikan secara berkala sesuai dengan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Maliki mengatakan, Bappenas dan BPS saat ini sedang mengevaluasi metodologi penghitungan garis kemiskinan agar lebih relevan dengan profil dan kebutuhan masyarakat. “Kami terus memperbaiki metodologi dengan basis yang sama, tetapi dapat merepresentasikan kemiskinan yang lebih baik lagi di seluruh wilayah di Indonesia,” kata Maliki.