Semester I-2023, APBN Surplus Rp 152,3 Triliun
Aktivitas ekonomi domestik masih terbilang kuat. Hal ini tecermin, antara lain, dari tingkat keyakinan konsumsi dalam negeri, surplus neraca perdagangan, dan kinerja pasar keuangan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan melaporkan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN pada semester I-2023 masih terjaga kuat. Hal ini didukung oleh kondisi ekonomi domestik yang solid meski tengah terjadi pelemahan ekonomi global.
Realisasi APBN pada semester I-2023 mencatatkan surplus senilai Rp 152,3 triliun atau 0,71 persen dari produk domestik bruto (PDB). Surplus ini berasal dari realisasi pendapatan negara senilai Rp 1.407,9 triliun atau tumbuh 5,4 persen secara tahunan dan belanja negara yang tercatat Rp 1.255,7 triliun atau tumbuh 0,9 persen secara tahunan.
Secara rinci, realisasi pendapatan negara tersebut berasal dari penerimaan perpajakan senilai Rp 1.105,6 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp 302,1 triliun. Sementara realisasi belanja negara berasal dari belanja pemerintah pusat senilai Rp 691,6 triliun dan transfer ke daerah senilai Rp 364,1 triliun.
Lebih lanjut, surplus APBN pada semester I-2023 ini mengalami pertumbuhan 66,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp 91,2 triliun. Selain itu, keseimbangan primer juga mencatatkan surplus senilai Rp 368,2 triliun atau tumbuh 32 persen secara tahunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (24/7/2023), menjelaskan, kondisi surplus pada dua komponen tersebut menggambarkan kinerja APBN pada semester I-2023 yang jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Penyehatan serta konsolidasi APBN yang cepat dan kuat ini tidak memengaruhi perekonomian Indonesia yang sedang dalam fase pemulihan.
”Pada semester satu ini, penerimaan negara tumbuh 5,4 persen atau telah melampaui lebih dari 50 persen, yaitu 57, 2 persen, sedangkan belanja negara masih agak tertinggal, hanya 41 persen sehingga posisi APBN kita masih surplus. Berbagai kebijakan di bidang ekonomi akan terus didukung oleh APBN,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita secara virtual.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan pagu pembiayaan anggaran pada tahun 2023 sebesar Rp 598,2 triliun. Namun, sebagai konsekuensi logis dari surplus APBN semester I-2023, pembiayaan anggaran senilai Rp 135,1 triliun mengalami kontraksi 14,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 158,6 triliun.
Tren ini harus dijaga karena situasi global dipengaruhi oleh volatilitas dan kenaikan suku bunga sehingga eksposur terhadap pembiayaan utang harus terus dijaga pada level yang aman. Inilah langkah-langkah konkret untuk mengamankan, yaitu dengan menurunkan pembiayaan utang dan menjaga agar APBN kita defisitnya dalam posisi yang bisa dibiayai secara aman serta terjangkau.
Di sisi lain, realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang pada semester I-2023 tercatat Rp 166,5 triliun atau 23,9 persen dari target APBN 2023 senilai Rp 696,3 triliun. Hal ini didorong oleh penerimaan negara yang meningkat dan disiplin pengalokasian utang yang menurun 15,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
”Tren ini harus dijaga karena situasi global dipengaruhi oleh volatilitas dan kenaikan suku bunga sehingga eksposur terhadap pembiayaan utang harus terus dijaga pada level yang aman. Inilah langkah-langkah konkret untuk mengamankan, yaitu dengan menurunkan pembiayaan utang dan menjaga agar APBN kita defisitnya dalam posisi yang bisa dibiayai secara aman serta terjangkau,” lanjut Sri Mulyani.
Baca juga: Belanja Negara 2023 Diproyeksikan Membengkak
Perekonomian domestik
Sri Mulyani menilai, aktivitas ekonomi domestik masih terbilang kuat. Hal ini tecermin, antara lain, dari tingkat keyakinan konsumsi dalam negeri, surplus neraca perdagangan, dan kinerja pasar keuangan.
Berdasarkan data Bank Indonesia pada Juni 2023, indeks keyakinan konsumen (IKK) berada pada level 127,13 poin yang artinya tingkat optimisme masyarakat masih terjaga. Selain itu, indeks pembelian manajer (purchasing manager index/PMI) juga dinilai ekspansif akseleratif, yakni pada level 52,5 poin.
Hingga bulan ke-38, neraca perdagangan Indonesia (NPI) masih mencatatkan surplus meski ekspor melambat. Surplus NPI per Juni 2023 mencapai 3,45 miliar dollar AS, sementara secara akumulatif (Januari-Juni 2023) mencapai 19,93 miliar dollar AS.
Lalu, saat indeks dollar AS melemah, nilai tukar rupiah masih melanjutkan tren apresiasi, yakni menguat 4,7 persen selama periode tahun 2023 berjalan. Per minggu III Juli-2023, arus modal asing yang masuk (inflow) senilai Rp 105,41 triliun, baik melalui pasar surat berharga negara (SBN) maupun pasar saham.
Baca juga: Penerimaan Negara yang Melambat Diantisipasi
”Di satu sisi, ada optimisme hingga kuartal kedua yang tampak dari tren positif di beberapa indikator. Namun, tanda-tanda terjadinya rembesan dari pelemahan global juga sudah mulai terlihat dari beberapa indikator kita,” ujar Sri Mulyani.
Pelemahan tersebut tampak dari indikator PMI manufaktur sejumlah negara, yakni sebesar 61,9 persen dari negara-negara yang dipantau mengalami kontraksi atau level PMI berada di bawah 50. Negara-negara tersebut merupakan negara yang memiliki peran besar terhadap perekonomian dunia, yakni Amerika, Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, dan Korea.
Belanja produktif
Secara terpisah, Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menjelaskan, menjelang akhir tahun, pemerintah biasanya akan mengejar pengeluaran (spending) dan mendorong percepatan penyerapan anggaran. Hal ini tentu akan membuat APBN berpotensi defisit.
”Kemungkinan APBN pada akhir tahun akan defisit. Tidak ada masalah kalau APBN itu defisit selama spending digunakan untuk kebutuhan yang produktif dan defisit tidak lebih dari 3 persen. Agar APBN dapat optimal, bukan hanya mengejar surplus, melainkan defisit bisa dikelola untuk belanja produktif. Jadi, bukan dihemat sebesar-besarnya, tetapi digunakan sebaik-baiknya,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Terkait situasi global terkini, ucap Riefky, perkembangan terakhir di berbagai indikator menunjukkan jika perekonomian domestik semakin membaik. Dengan tingkat inflasi yang terkendali, tren konsumsi yang menguat, serta aktivitas produksi yang ekspansif, Indonesia bergerak menuju prospek yang menjanjikan.
”Meski permintaan domestik kuat, Indonesia harus tetap berhati-hati dalam memantau faktor eksternal, seperti berlanjutnya tren penurunan harga komoditas serta melemahnya permintaan dari negara mitra dagang, seperti AS dan Tiongkok,” kata Riefky dalam keterangan tertulis.
Pada Juni 2023, Indonesia berhasil membukukan surplus perdagangan sebesar 3,45 miliar dollar AS. Walakin, nilai ekspor dan impor Indonesia menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang disebabkan oleh penurunan besar pada komponen minyak dan gas bumi (migas), penurunan nonmigas (minyak dan gas bumi), serta penurunan pada harga minyak global.
Baca juga: Penerimaan Melemah, Utang Ditekan lewat Dana Cadangan
Pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) terakhir, The Fed menahan Fed Funds Rate (FFR) pada angka 5,00 sampai 5,25 persen. Menurut Riefky, keputusan The Fed untuk menghentikan sementara kenaikan suku bunga memberikan ruang yang cukup untuk menjaga perbedaan imbal hasil antara obligasi Pemerintah Indonesia dan US Treasury Bonds sehingga tetap semakin memicu masuknya aliran modal ke dalam negeri.