Waspadai Tekanan pada Stok Pangan Dunia akibat Larangan Ekspor
Akibat larangan ekspor beras India, ada kemungkinan Vietnam dan Thailand ke depannya ”terpaksa” memprioritaskan produksinya untuk kepentingan dalam negeri. Hal ini mesti diantisipasi oleh Indonesia.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah India melarang ekspor beras setelah Rusia menangguhkan partisipasinya dalam Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam atau Black Sea Grain Initiative berisiko menekan pasokan pangan global. Oleh sebab itu, Indonesia mesti menyiapkan strategi antisipatif di tengah kecenderungan negara produsen pangan mengamankan pasokannya untuk kebutuhan dalam negeri.
Menurut laporan Reuters, Jumat (21/7/2023), Pemerintah India menginstruksikan penghentian beras jenis non-basmati dan beras patah (broken rice) pada 20 Juli 2023. Padahal, India berperan lebih dari 40 persen dalam pasar ekspor beras dunia. Instruksi itu muncul lantaran kerusakan lahan akibat banjir serta kenaikan harga beras di ritel India hingga 3 persen secara bulanan dan 11,5 persen secara tahunan.
Dari total ekspor beras India sepanjang 2022 yang sekitar 22 juta ton, volume jenis beras yang dihentikan ekspornya tersebut mencapai 10 juta ton. Adapun jenis beras pratanak (parboiled) yang jumlah ekspornya mencapai 7,4 juta ton sepanjang 2022 tidak dihentikan oleh Pemerintah India.
Dengan mempertimbangkan penarikan partisipasi Rusia dalam Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam, anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014 Bayu Krisnamurthi berpendapat, larangan ekspor beras dari India menunjukkan perdagangan pangan dunia berada dalam tekanan. ”Harga (kelompok pangan) biji-bijian atau grain berpotensi naik. Ke depan, semacam ini (melarang ekspor) akan sering terjadi karena negara-negara akan mementingkan keamanan pangan di dalam negeri,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (23/7/2023).
Dalam indeks harga pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), biji-bijian dan beras dikelompokkan sebagai serealia. Per Juni 2023, indeks harga kelompok serealia tercatat 126,6 atau 2,08 persen lebih rendah dibandingkan dengan indeks bulan sebelumnya. Harga beras internasional pun tercatat turun 1,2 persen.
Dalam pasar beras dunia, kata Bayu, India merupakan pengekspor ketika pasarnya surplus. Beras yang diekspor kemungkinan berasal dari stok penyangga yang sudah lama disimpan dan secara rutin dilepas untuk mencegah mutu turun sehingga harganya cenderung lebih murah dibandingkan dengan rata-rata di pasar dunia. Oleh sebab itu, larangan ekspor beras tersebut ”mengejutkan” pasar global.
Berbeda dengan India, Vietnam dan Thailand mengekspor karena memiliki posisi sebagai produsen beras dunia. ”Ada kemungkinan, Vietnam dan Thailand ke depannya ’terpaksa’ memprioritaskan produksinya untuk kepentingan dalam negeri. Hal ini mesti diantisipasi oleh Indonesia,” katanya.
Pengumuman penghentian ekspor beras India membuat pelaku pasar mancanegara melirik Vietnam dan Thailand. Menurut laporan Bangkok Post, Sabtu (22/7/2023), Honorary President Thai Rice Exporters Association Chookiat Ophaswongse menyatakan, larangan tersebut akan membuat penggilingan dan eksportir beras menunda pesanan pembelian. Apalagi, saat ini produksi beras di Thailand terancam tergerus akibat kekeringan. Melansir Viet Nam News, Kamis (20/7/2023), kontribusi Vietnam dan Thailand diproyeksikan meningkat akibat larangan ekspor beras India.
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, mayoritas impor beras Indonesia sepanjang semester I-2023 berasal dari Thailand dan Vietnam. Total impor beras pada Januari-Juni 2023 mencapai 1,067 juta ton atau naik sekitar 7,4 kali lipat dari periode sama tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, volume impor beras dari Thailand dan Vietnam masing-masing 557.489 ton dan 398.747,25 ton.
Bayu berpendapat, Indonesia dapat mengantisipasi dampak kebijakan proteksi dari negara produsen beras dengan menjaga gairah produksi petani. Dengan demikian, produksi dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di Tanah Air. Dalam jangka menengah, Indonesia juga perlu memperkuat penjajakan impor beras dari negara nontradisional, seperti Myanmar.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal memaparkan, realisasi penugasan impor untuk pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) dengan total kuota 2 juta ton sepanjang 2023 secara bertahap terdiri dari tahap pertama 500.000 ton serta tahap kedua dan ketiga masing-masing 300.000 ton.
”Impor yang berasal dari India hanya di tahap pertama, yakni 5.000 ton, dan sudah direalisasikan. Impor tahap kedua dan ketiga seluruhnya dari Thailand dan Vietnam. Terkait hal itu (dampak larangan ekspor beras dari India pada Vietnam dan Thailand), sepanjang harga masih feasible mengikuti kontrak, realisasi tetap berjalan. Sebagian beras impor tahap ketiga dalam proses pengapalan,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (23/7/2023).
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi dalam keterangan persnya, Sabtu (22/7/2023), mengatakan, larangan ekspor beras non-basmati oleh India tidak akan berdampak signifikan pada ketahanan pangan nasional. Pemenuhan CBP diprioritaskan dari dalam negeri. Adapun stok beras yang dikelola Bulog saat ini berada di posisi sekitar 750.000 ton.
Dipertanyakan
Pada pekan yang sama dengan pengumuman larangan ekspor beras non-basmati India, Kementerian Perdagangan memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor yang menggugurkan Permendag No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor serta Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor yang mencabut Permendag No 19/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Berbeda dengan aturan yang dicabut, Permendag No 22/2023 memasukkan beras berkode HS 1006.30.99 yang diproduksi dengan cara pertanian non-organik serta tingkat kepecahan di atas 25 persen dalam daftar barang yang tidak boleh diekspor. Namun, lampiran Permendag No 23/2023 memperbolehkan Bulog mengekspor beras non-organik berkode HS sama dengan tingkat kepecahan 5-25 persen serta pelaku lain dengan tingkat kepecahan maksimal 5 persen. Izin ekspor diberikan dengan mempertimbangkan neraca komoditas.
Bayu mempertanyakan arah kebijakan ekspor beras tersebut jika dikaitkan dengan keinginan untuk mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Menurut dia, permintaan beras non-organik dengan tingkat kepecahan di atas 25 persen tergolong jarang di pasar internasional. Sebaliknya, permintaan terhadap beras non-organik dengan tingkat kepecahan 5-25 persen tergolong lumrah.
Meskipun demikian, lanjut dia, kebijakan ekspor beras tersebut berpotensi mengusung semangat solidaritas pangan dunia dan kemanusiaan. Pemenuhan pangan di sejumlah negara bergantung dari perdagangan internasional. Kebijakan produsen pangan yang membatasi ekspornya berpotensi menekan negara-negara tersebut.
Awaludin mengatakan, Bulog ditugaskan untuk menjaga kecukupan pasokan beras di Tanah Air dengan memprioritaskan sumber dalam negeri serta impor jika tidak cukup. Sejauh ini Bulog belum berencana ekspor beras. ”Kami sedang mengimpor beras, ya masak mengekspor,” ujarnya.