Unit Usaha Syariah Wajib Memisahkan Diri Sebelum Akhir 2031
Persyaratan pemisahan unit usaha syariah itu, antara lain, pemenuhan nilai aset minimal dan ekuitas minimal. Bila melewati batas waktu akhir 2031, perusahaan jasa keuangan tersebut akan dikenai sanksi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan dua peraturan yang mewajibkan pemisahan unit usaha syariah pada perusahaan penjaminan, asuransi, dan reasuransi dari induk lembaga jasa keuangannya agar berdiri menjadi entitas usaha sendiri. Dengan berdiri sendiri, lembaga jasa keuangan syariah diharapkan bisa terus menciptakan bisnis berkelanjutan.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pemisahan Unit Usaha Syariah Perusahaan Penjaminan serta POJK No 11/2023 tentang Pemisahan Unit Usaha Syariah Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Kedua POJK pemisahan unit usaha syariah (UUS) ini ditetapkan pada 11 Juli 2023.
Pemisahan UUS dari industri penjaminan, asuransi, dan reasuransi itu wajib dilakukan paling lambat 31 Desember 2031. Harapannya, setelah 31 Desember 2031 semua lembaga jasa keuangan syariah pada ketiga industri tersebut sudah berdiri sendiri.
Bagi lembaga jasa keuangan yang tidak mematuhi aturan ini akan dikenakan sanksi administrasi secara bertahap mulai dari peringatan tertulis, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha. Ini juga dapat diikuti dengan pengenaan denda administratif sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa menjelaskan, pemisahan UUS ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). UU ini mengatur kewajiban bagi lembaga jasa keuangan yang memiliki UUS untuk memisahkan UUS setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan OJK.
”Dengan keluarnya dua POJK ini diharapkan pemisahan UUS dapat terlaksana dengan baik sehingga tercipta industri lembaga jasa keuangan syariah yang dapat tumbuh secara berkelanjutan,” ujar Aman dalam keterangannya, Jumat (21/7/2023).
Untuk memisahkan UUS di industri penjaminan, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Nilai aset UUS perusahaan penjaminan telah mencapai paling sedikit 50 persen dari total aset induknya. Selain itu, ekuitas minimum UUS untuk lingkup kabupaten/kota mencapai Rp 25 miliar, lingkup provinsi Rp 50 miliar, dan lingkup nasional sebesar Rp 100 miliar.
Guna memisahkan UUS di industri penjaminan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Demikian pula di industri asuransi dan reasuransi.
Sementara itu, untuk pemisahan UUS di industri asuransi dan reasuransi bisa dilakukan bila nilai dana tabarru’ dan dana investasi peserta unit syariah telah mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai dana asuransi, dana tabarru’ dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya. Selain itu, ekuitasnya minimal harus Rp 100 miliar untuk unit syariah perusahaan asuransi dan Rp 200 miliar untuk unit syariah perusahaan reasuransi.
OJK juga mengatur cara pemisahan UUS tersebut. Pertama adalah dengan penambahan ekuitas UUS yang berasal dari pemegang saham perusahaan atau berasal dari investor baru. Kedua, mengalihkan seluruh portofolio penjaminan pada UUS kepada perusahaan penjaminan, asuransi, dan reasuransi syariah yang telah memperoleh izin usaha.
Aman menambahkan, perusahaan syariah hasil pemisahan itu dapat melakukan sinergi dengan lembaga jasa keuangan lain yang memiliki hubungan kepemilikan saham untuk pengembangan infrastruktur teknologi informasi, sarana prasarana, dan sumber daya manusia.
Mengutip data OJK, sampai Maret 2023, jumlah pelaku UUS industri penjaminan mencapai 9 unit dengan aset Rp 5,17 triliun. Adapun jumlah UUS industri asuransi mencapai 58 unit dengan aset Rp 45,34 triliun. Sementara jumlah UUS industri reasuransi mencapai 4 unit dengan aset Rp 2,45 triliun.
Pengembangan
Pada pembukaan acara Festival Ekonomi Syariah (Fesyar), Medan, Sumatera Utara, Jumat, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung menyampaikan, pangsa pasar keuangan syariah masih stagnan di sekitar 10 persen dari total pasar keuangan, salah satunya karena ekspansi produk keuangan masih terbatas.
Aspek literasi keuangan syariah juga masih rendah di masyarakat. Dalam survei yang dilakukan BI pada 2022, tingkat literasi ekonomi syariah di Indonesia berada pada posisi 23,3 persen, jauh di bawah targetnya 50 persen pada 2023. Artinya, baru sekitar 23,3 persen masyarakat Indonesia yang memahami cara kerja, potensi risiko, dan manfaat dari ekonomi syariah.
Pangsa pasar keuangan syariah masih stagnan di sekitar 10 persen dari total pasar keuangan, salah satunya karena ekspansi produk keuangan masih terbatas.
Juda menyampaikan, penguatan digitalisasi ekonomi keuangan syariah bisa jadi kunci pengembangan. Adapun digitalisasi keuangan syariah itu untuk kegiatan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).
Pada kesempatan itu, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengatakan, untuk terus mendorong pengembangan potensi ekonomi keuangan syariah, pemerintah terus berupaya untuk memperluas dan mempercepat capaian sertifikasi halal. Ini khususnya bagi pelaku UMKM melalui sosialisasi, pendampingan, dan program SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis).
Selain itu, kata Teten, melihat potensi industri halal di Indonesia dan respons pasar global yang begitu besar, kolaborasi perlu terus dilakukan untuk membangun ekosistem halal berkelanjutan, termasuk meningkatkan keterlibatan UMKM dalam ekonomi syariah.