Saat Threads resmi diluncurkan, jenama besar maupun pemengaruh bergegas bergabung. Realitas ini menambah deretan fenomena media sosial yang kini cenderung penuh konten bisnis.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Tak lama setelah Threads, aplikasi media sosial baru besutan Meta yang menawarkan pengalaman blog singkat untuk pengguna Instagram, dirilis, banyak jenama besar bergabung. Sebagai contoh, Pizza Hut Indonesia, Netflix, Olipop, dan Wendy’s. Mereka menggunakan bahasa yang ramah dan slang internet yang trendi sebagai bagian dari promosi.
Selain jenama, tak sedikit pemengaruh dan selebritas menggunakan Threads. Threads belum memiliki iklan, tetapi mereka bergegas memakai Threads karena mengejar konsumen.
Platform media sosial lain, Snapchat dan TikTok, juga dipenuhi konten video para pemengaruh. Bahkan, TikTok melebarkan sayap ke fitur e-dagang dalam platform yang sama, yakni TikTok Shop. Fitur ini memungkinkan jenama skala kecil sampai besar berjualan.
Selain e-dagang, TikTok juga merambah bisnis baru, yaitu TikTok Music. Ini merupakan layanan musik jenis baru yang menggabungkan kekuatan penemuan musik di media sosial TikTok dengan layanan streaming musik yang menawarkan jutaan lagu dari ribuan artis. TikTok Music sudah meluncur di pasar Indonesia dan Brazil. Saat ini, TikTok Music sedang diujicobakan di pasar Australia, Singapura, dan Meksiko.
Platform media sosial besar itu cenderung bernuansa korporat. Disadari atau tidak, media sosial bukanlah ruang alami untuk bekerja, bersosialisasi, dan bermain.
Saat ini, feed Instagram dan Facebook cenderung amat mudah dipenuhi iklan atau unggahan bersponsor. Di Twitter, unggahan yang mendapatkan visibilitas paling banyak dapat disimpan oleh pelanggan berbayar.
Platform media sosial besar itu cenderung bernuansa korporat. Disadari atau tidak, media sosial bukanlah ruang alami untuk bekerja, bersosialisasi, dan bermain. Kendati begitu, tiga perilaku itu telah menjadi kebiasaan masyarakat dalam bermedia sosial.
The Atlantic melalui artikel ”The Age of Social Media is Ending” (10/11/2022) menuliskan, dua dekade lalu tidak ada istilah media sosial. Banyak dari perusahaan platform media sosial membingkai diri mereka sendiri sebagai bagian dari revolusi ”web 2.0” dalam ”konten buatan pengguna”. Mereka menawarkan alat yang mudah digunakan dan mudah diadopsi di laman dan kemudian pada aplikasi seluler. Media sosial dibangun untuk membuat dan berbagi konten. Selama bertahun-tahun, penawaran ini dibingkai sebagai layanan jejaring sosial.
Padahal, definisi layanan jejaring sosial sesungguhnya melibatkan dan menghubungkan orang. Hal itu dilakukan dengan menghubungkan jaringan pribadi kita dari kontak terpercaya ke jaringan orang lain. LinkedIn dulu berjanji untuk memungkinkan pencarian pekerjaan dan jaringan bisnis dengan melintasi koneksi kita. Friendster melakukannya untuk hubungan pribadi, sedangkan Facebook untuk teman kuliah.
Sekitar tahun 2009, jejaring sosial berubah menjadi media sosial karena kemunculan telepon seluler (ponsel) pintar dan peluncuran Instagram. Alih-alih menjalin koneksi laten dengan orang dan organisasi, media sosial menawarkan diri sebagai platform di mana semua orang/organisasi dapat mempublikasikan konten seluas mungkin, jauh di luar jaringan kontak langsung.
Kendati kita dapat menghubungkan daftar nama kontak ke aplikasi media sosial, lalu mengikuti pengguna tertentu, algoritma platform membuat kita cenderung tersambung dengan aliran konten yang mengalir di timeline. Hal ini, misalnya, terjadi di TikTok.
Meta dan lainnya menikmati peningkatan besar dalam keuntungan iklan berbasis data terkait yang dibuat oleh ekonomi konten. Konten itu digerakkan oleh perhatian warganet.
Pemerhati budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, saat dihubungi pada Minggu (23/7/2023) di Jakarta, berpendapat, media sosial tidak akan mati. Pengembangan aneka fitur yang kini dilakukan oleh perusahaan platform media sosial raksasa itu bertujuan agar bisa bersaing satu sama lain. Mereka ingin memastikan warga tetap betah berlama-lama di platform. Dengan demikian, mereka bisa membuat profil data untuk keperluan pengiklan hingga aktivitas politik.
Jika berjejaring sosial merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan internet bisa memfasilitasi hal itu, lantas apa yang bisa dilakukan warga di tengah bombardir konten yang sarat pesan bisnis di platform media sosial? Profesor Kebijakan Publik di University of Massachusetts Amherst, Ethan Zuckerman, dalam artikel ”The Future of Social Media is a Lot Less Social” (The New York Times, 19/4/2023), berpendapat, masa depan manusia adalah menjadi anggota dari lusinan komunitas yang berbeda. Ini bukan tentang memilih satu platform untuk mengatur semuanya.
Perusahaan teknologi raksasa sekarang ”mendikte ” perhatian warga. Di mana atensi muncul di situlah ada peluang ekonomi dan pengaruh.
Platform Mastodon atau Reddit kerap kali bertindak sebagai pintu gerbang ke komunitas yang lebih kecil. Saat mendaftar ke Mastodon, misalnya, orang dapat memilih server dari daftar ekstensif, termasuk yang terkait dengan gim, makanan, dan aktivitas.
Universitas Harvard mulai membuat program untuk membuat siswa bereksperimen dengan jaringan sosial baru bersama. Satu aplikasi yang muncul dari program ini, yakni Minus. Program ini memungkinkan pengguna hanya menerbitkan 100 unggahan di timeline mereka seumur hidup. Ide Minus ini bertujuan membuat orang merasa terhubung dalam lingkungan di mana waktu bersama mereka diperlakukan sebagai sumber daya yang berharga dan terbatas.
Perusahaan teknologi raksasa sekarang ”mendikte” perhatian warga. Di mana atensi muncul di situlah ada peluang ekonomi dan pengaruh. Tidak ada yang bisa menghentikan perusahaan teknologi meluncurkan fitur ataupun platform media sosial baru.
Artikel ”After Threads, There Has To Be a ‘New Twitter’ Moratorium” di Wired (7/7/2023), menggambarkan, hal yang sangat jelas adalah bahwa kita sebagai warganet perlu menarik garis batas. Memiliki multiplatform media sosial tidak terlalu berkelanjutan. Pada akhirnya, orang akan menginginkan pengalaman platform jejaring sosial yang lebih bermakna.