Mulai 1 Agustus, Devisa Hasil Ekspor Wajib Disimpan Dulu di Dalam Negeri
Presiden Jokowi menetapkan PP Nomor 36 Tahun 2023 yang mewajibkan eksportir memasukkan devisa hasil ekspor sumber daya alam ke dalam sistem keuangan Indonesia. Pemberian insentif dinilai perlu seiring kewajiban tersebut.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah resmi mewajibkan eksportir yang memiliki devisa hasil ekspor sumber daya alam dengan nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor minimal 250.000 dollar AS atau ekuivalennya untuk memasukkan 30 persen di antaranya dalam sistem keuangan Indonesia. Hal ini berlaku bagi devisa hasil ekspor sumber daya alam yang berasal dari hasil barang ekspor di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. PP yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 12 Juli 2023 tersebut akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2023 sebagai pengganti PP Nomor 1 Tahun 2019.
Merujuk Pasal 5, 6, dan 7 PP No 36/2023, ada kewajiban eksportir yang memiliki devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) dengan nilai ekspor pada Pemberitahuan Pabean Ekspor (PPE) paling sedikit 250.000 dollar AS atau ekuivalennya untuk memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia. Hal ini dilakukan dengan menempatkan DHE SDA ke dalam rekening khusus DHE SDA pada lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dan/atau bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
DHE SDA yang telah dimasukkan dan ditempatkan eksportir ke dalam rekening khusus DHE SDA tersebut wajib ditempatkan paling sedikit 30 persen dalam sistem keuangan Indonesia selama paling singkat tiga bulan sejak penempatan dalam rekening khusus DHE SDA.
Ketika dimintai pandangan, Jumat (14/7/2023), Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, penerapan kebijakan untuk menaruh DHE di dalam negeri ditujukan untuk meningkatkan cadangan devisa. Cadangan devisa yang semakin besar tersebut akan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.
”Dan, memang, cadangan devisa kita relatif besar di Asia Tenggara, tapi tidak sebesar potensinya. Bahkan, (cadangan devisa) kita masih di belakang Singapura dan Thailand. Sementara aktivitas ekspor impor kita sebetulnya cukup besar, terutama komoditas,” kata Faisal.
Cadangan devisa kita relatif besar di Asia Tenggara, tapi tidak sebesar potensinya. Bahkan, (cadangan devisa) kita masih di belakang Singapura dan Thailand.
Cadangan devisa sumber daya alam, terutama selama booming komoditas, semestinya meningkat seiring peningkatan profitabilitas atau perolehan keuntungan dalam dollar AS. Namun, banyak di antaranya yang diparkir tidak di dalam negeri.
”Alasan pengusaha, sih, sebetulnya, ya, untuk memaksimalkan profit kalau diparkir di luar negeri. Dan, selain itu juga untuk kemudahan karena ada kewajiban-kewajiban yang juga dibayar dengan menggunakan dollar AS,” ujar Faisal.
Sepanjang tidak ada aturan yang kuat di dalam negeri dan tidak ada insentif, menurut Faisal, mereka tentu tidak mau memarkirkan DHE di dalam negeri. Apalagi, instrumen keuangan dalam dollar AS di dalam negeri juga relatif terbatas.
”Jadi, supaya bisa menarik atau mendorong pengusaha untuk menyimpan DHE di dalam negeri memang perlu banyak insentif, baik pajak maupun kemudahan. Hal yang jelas, tanpa ada insentif, pengusaha, ya, enggan. Jadi, ada stick and carrot. Stick-nya dalam bentuk regulasi yang mewajibkan dan ada sanksi ketika tidak dilakukan. Dan ada carrot dalam bentuk insentif yang juga diberikan oleh pemerintah,” ujar Faisal.
Jadi, ada stick and carrot. Stick-nya dalam bentuk regulasi yang mewajibkan dan ada sanksi ketika tidak dilakukan. Dan, ada carrot dalam bentuk insentif yang juga diberikan oleh pemerintah.
Sejak awal 2023, penyiapan regulasi yang mengatur eksportir menyimpan DHE selama tiga bulan telah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Hal tersebut disampaikan Airlangga dalam keterangannya kepada awak media seusai menghadiri pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Transisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Gedung AA Maramis, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Saat itu Airlangga menyebut Indonesia memasuki periode di mana ketidakpastian masih terjadi dan menimbulkan sejumlah ancaman. Salah satu ancaman yang terjadi adalah stagflasi, yakni ketika beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, terus menaikkan tingkat suku bunga. ”Oleh karena itu, kita harus mengambil payung sebelum hujan. Maka devisa hasil ekspor itu harus menjadi buffer ekonomi kita, kemudian Undang-Undang P2SK menjadi buffer di sektor keuangan sehingga dengan demikian kita sudah punya seluruhnya, (jadi) lebih siap,” katanya.
Menurut Airlangga, pembuatan PP yang mengatur eksportir untuk menyimpan devisa hasil ekspor di dalam negeri selama tiga bulan diambil pemerintah untuk mencegah devisa tersebut lari ke luar negeri. Kecukupan dana, terutama untuk membiayai ekspor dan impor, dibutuhkan untuk mencegah capital flight atau keluarnya arus modal.
”Kebutuhan ekspor dan impor, kan, riil. Pada saat kebutuhan ekspor impor itu disediakan dengan devisa hasil ekspor masuk, maka kita akan mempersiapkan ekosistem devisa ataupun ekosistem dollar di dalam negeri sehingga pengusaha kita tidak melulu bergantung pada perbankan di Singapura,” ujar Airlangga.
Oleh karena itu, Indonesia akan memberikan insentif kepada para eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspor di dalam negeri. Airlangga menyebutkan, insentif tersebut akan bersaing dengan daya tarik yang diberikan oleh Singapura. ”Kita perlu buat agar ini bersaing dengan Singapura sehingga tidak terbang lagi (devisa) ke Singapura," kata Airlangga.