Pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal dalam pengimplementasian bursa CPO. Dua di antaranya adalah tidak menimbulkan biaya tambahan besar dan pembeli yang butuh kepastian bahan baku jangka panjang dan pengiriman.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan berharap pemerintah berhati-hati membentuk dan mengimplementasikan bursa berjangka minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Jangan sampai bursa yang digadang-gadang bisa membentuk harga referensi CPO itu justru mendistorsi daya saing CPO Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono, Jumat (30/6/2023), mengapresiasi positif pemerintah yang menginisiasi bursa CPO. Ke depan, bursa itu diharapkan dapat menjadi acuan harga CPO nasional dan global yang selama ini ditentukan Bursa Derivatif Malaysia dan Bursa Komoditas Rotterdam.
“Namun, pemerintah tetap perlu berhati-hati membentuk dan mengimplementasikan bursa itu agar tidak menimbulkan biaya tambahan bagi eksportir CPO. Selama ini, eksportir CPO harus menanggung bea keluar dan pungutan ekspor CPO,” kata Eddy ketika dihubungi dari Jakarta.
Besaran bea keluar dan pungutan ekspor pada periode 1-15 Juli 2023 masing-masing 18 dollar AS per ton dan 75 dollar AS per ton. Hal itu ditentukan berdasarkan harga referensi CPO yang sebesar 747,23 dollar AS per ton. Harga tersebut menguat 23,78 dollar AS per ton atau 3,29 persen dibandingkan dengan periode 16-30 Juni 2023.
Pemerintah tetap perlu berhati-hati membentuk dan mengimplementasikan bursa itu agar tidak menimbulkan biaya tambahan bagi eksportir CPO. Selama ini, eksportir CPO harus menanggung bea keluar dan pungutan ekspor CPO.
Menurut Eddy, harga yang terbentuk di bursa berjangka komoditas itu merupakan harga murni sebelum dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor. Jika harga CPO yang terbentuk di bursa tinggi dan dijadikan harga referensi, bea keluar dan pungutan ekspor juga akan bertambah tinggi.
Di samping itu, harga CPO yang terbentuk di bursa itu belum termasuk biaya asuransi dan transportasi. Padahal, ekspor CPO juga dilakukan melalui sejumlah pelabuhan di Sumatera dan Kalimantan.
”Apabila harga CPO di Indonesia tinggi, apalagi ditambah dengan biaya asuransi dan logistik, importir CPO bisa mengalihkan pembelian ke negara produsen lain,” ujarnya.
Eddy juga menjelaskan, hal itu berbeda dengan pembentukan harga di pasar lelang CPO di dalam negeri yang selama ini dilakukan di PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Pembentukan harga CPO di KPBN lebih rendah karena sudah memperhitungkan bea keluar dan pungutan ekspor, serta pelabuhan pengiriman.
Di sisi lain, Eddy juga berharap agar penambahan syarat izin atau persetujuan ekspor CPO melalui bursa CPO tidak semakin memperpanjang birokasi perizinan. Semakin panjang birokrasinya bisa membuat semakin panjang pula proses impornya.
Saat ini, pemerintah melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah menyiapkan dua regulasi terkait bursa CPO. Regulasi itu tentang petunjuk teknis perdagangan pasar fisik ekspor CPO dan tata tertib bursa ekspor CPO.
Regulasi itu hanya mengatur ekspor CPO berkode HS 15.111.000 harus melalui bursa berjangka komoditas. Produk turunan CPO tidak termasuk dalam aturan itu. CPO dipilih lantaran volume ekspornya tidak terlalu besar sehingga saat diperdagangkan dalam bursa berjangka nanti tidak menimbulkan guncangan yang terlalu besar.
Bappebti mencatat, rata-rata produksi CPO nasional per tahun sekitar 50 juta ton. Dari jumlah itu, yang diekspor rata-rata 30 juta ton per tahun. Sementara yang tergolong berkode HS 15.111.000 hanya sekitar 9,75 persen atau mendekati 3 juta ton.
Pemerintah juga mewajibkan bukti atau dokumen transaksi perdagangan CPO di bursa sebagai syarat mendapatkan persetujuan ekspor. Sebelumnya, eksportir CPO cukup memiliki hak ekspor (HE) atas pemenuhan kewajiban memasok kebutuhan domestik (DMO) CPO (Kompas, 30/6/2023).
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal penting dalam pembentukan dan pengimplementasian bursa CPO. Pertama, pemerintah perlu menentukan lembaga pengelola bursa CPO yang mampu menciptakan pembentukan harga yang adil, transparan, dan benar-benar mencerminkan kondisi pasar CPO.
Kedua, instrumen, seperti hedging (lindung nilai), dan finansial penopang transaksi berjangka perlu disiapkan dan dikelola dengan baik dan transparan. Ketiga, biaya transaksi dalam bursa CPO Indonesia juga harus kompetitif agar dapat bersaing dengan Bursa Derivatif Malaysia dan Bursa Komoditas Rotterdam sehingga tidak memberikan biaya tambahan bagi pembeli dan penjual.
”Jika banyak biaya tambahan yang muncul, para pembeli CPO bisa beralih ke negara-negara produsen CPO lain yang harganya lebih kompetitif. Apalagi, saat ini mulai muncul negara-negara produsen CPO lain, termasuk dari kawasan Afrika dan Amerika Latin,” kata Dendi.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat, Indonesia dan Malaysia masih berada pada peringkat pertama dan kedua sebagai negara produsen sawit pada musim 2022/2023. Produksi sawit Indonesia dan Malaysia pada periode tersebut diperkirakan masing-masing sebanyak 45,5 juta ton dan 18,8 juta ton.
Kemudian, secara berturut-turut disusul Thailand yang produksinya diperkirakan 3,26 juta ton, Kolombia 1,84 juta ton, Nigeria 1,4 juta ton, Guatemala 910.000 ton, Papua Niugini 650.000 ton, Honduras 600.000 ton, Pantai Gading 600.000 ton, dan Brasil 570.000 ton.
Dendi juga berharap agar pemerintah tidak mewajibkan atau memandatorikan semua eksportir CPO memperdagangkan CPO melalui bursa berjangka. Hal itu mengingat para eksportir memiliki pembeli tetap CPO yang bertransaksi secara langsung karena membutuhkan kepastian bahan baku industri jangka panjang.
Pemerintah perlu menghindari mandatori memperdagangkan semua CPO di bursa agar pembeli dan penjual tidak terestriksi. Biarkan mekanisme bursa berjalan sesuai minat pasar.
CPO juga memiliki standar kualitas dan masa simpan atau kedaluwarsa. Hal tersebut tentu saja membutuhkan kepastian pengiriman yang terjadwal dengan baik dari negara eksportir ke negara importir.
”Dengan sejumlah pertimbangan itu, pemerintah perlu menghindari mandatori memperdagangkan semua CPO di bursa agar pembeli dan penjual tidak terestriksi. Biarkan mekanisme bursa berjalan sesuai minat pasar,” kata Dendi.