Merealisasikan Mimpi Sawit Indonesia
Tahun ini, Bappebti akan mulai mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara acuan harga CPO dunia. Adapun Kementerian Pertanian akan menggulirkan program kelapa sawit tumpang sari untuk mendorong peremajaan tanaman sawit.
Pemerintah berupaya merealisasikan dua mimpi industri sawit nasional. Mewujudkan Indonesia sebagai negara acuan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dunia sekaligus meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit rakyat.
Sejak 2004, Indonesia menggeser posisi Malaysia sebagai negara produsen dan eksportir CPO nomor satu dunia. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2021, produksi dan volume ekspor CPO Indonesia masing-masing sebanyak 46,2 juta ton dan 34,2 juta ton.
Angka itu lebih dari dua kali lipat produksi CPO Malaysia yang pernah merajai sawit dunia pada 1996-2003. Negeri jiran tersebut menempati urutan kedua sebagai produsen sawit besar dunia. Badan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) mencatat, produksi dan volume ekspor CPO Malaysia pada 2021 masing-masing 18,11 juta ton dan 15,56 juta ton.
Meski menjadi raja sawit dunia sejak 2004, Indonesia tidak pernah bisa menjadi negara acuan harga CPO dunia. Selama ini, harga CPO dunia mengacu pada Bursa Komoditas Malaysia dan Rotterdam. Hal itulah yang menyebabkan harga CPO di Indonesia rentan bergejolak, terutama jika ada gangguan di pasar komoditas global dan produksi CPO Malaysia.
Meski menjadi raja sawit dunia sejak 2004, Indonesia tidak pernah bisa menjadi negara acuan harga CPO dunia. Selama ini, harga CPO dunia mengacu pada Bursa Komoditas Malaysia dan Rotterdam.
Indonesia sebenarnya telah memiliki pasar lelang CPO yang dikelola oleh PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Namun, harga hasil lelang pembelian CPO itu masih belum bisa menjadi harga acuan dunia.
Salah satunya lantaran harga CPO di Indonesia masih ditentukan oleh pemilik komoditas dan pembeli dari dalam atau luar negeri. Kendati begitu, harga hasil lelang itu digunakan pemerintah pusat dan provinsi sebagai rujukan penetapan harga tanda buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani.
Oleh karena itu, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) berencana membentuk harga acuan komoditas, salah satunya CPO, yang bisa menjadi referensi dunia. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menargetkan Indonesia memiliki referensi harga CPO dunia pada Juni 2023.
Dalam Rapat Kerja Bappebti pada Kamis, 19 Januari 2023, Pelaksana Tugas Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan, Bappebti berencana membuat harga acuan komoditas, terutama CPO dan karet, pada tahun ini. Hal itu sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi pada 2023.
Selama ini, meskipun menjadi salah satu negara penghasil terbesar CPO dan karet, Indonesia belum memiliki harga acuan kedua komoditas itu. Agar bisa menjadi acuan, kedua komoditas tersebut harus masuk ke dalam bursa.
”Dengan masuk ke dalam bursa, harga yang terbentuk juga tidak ditentukan semata antara pemilik komoditas dan pembeli di luar negeri. Negara juga akan diuntungkan dengan harga pasar yang wajar dan dapat memberikan keuntungan semua pihak, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, bahkan negara dari sisi penerimaan pajaknya,” katanya.
Dengan masuk ke dalam bursa, harga yang terbentuk juga tidak ditentukan semata antara pemilik komoditas dan pembeli di luar negeri.
Baca juga: Harga CPO Tahun Ini Masih Rentan Bergejolak
Peneliti Divisi Riset dan Pengembangan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX), Girta Yoga, menuturkan, agar harga CPO Indonesia bisa menjadi harga referensi CPO dunia, infrastruktur dan ekosistem bursa komoditas tersebut harus ditingkatkan. Tiga hal penting dalam bursa komoditas adalah dukungan pengambil kebijakan, pemangku kepentingan, dan infrastruktur.
”Saat ini, Indonesia belum mempunyai pasar CPO yang mampu menyaingi pasar CPO Malaysia di bursa komoditas. Salah satu faktornya lantaran para pelaku pasar belum melihat keuntungan bertransaksi di bursa atau di pasar spot (tunai),” tuturnya (Kompas, 10/8/2022).
Baca juga: Indonesia Perlu Perbaiki Ekosistem Bursa CPO
Insentif peremajaan
Selain ingin menjadi negara yang menjadi acuan harga CPO dunia, Indonesia juga berupaya mempertahankan status sebagai negara produsen sawit nomor satu dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi CPO dan minyak inti sawit (PKO) Indonesia stagnan di tengah peningkatan konsumsi untuk pangan dan energi.
Di sisi lain, sejumlah negara pengimpor CPO dan produk turunannya mulai mengembangkan kelapa sawit. Hal itu terutama dilakukan oleh India dan sejumlah negara di Afrika. India, misalnya, akan memperluas perkebunan sawit dari sekitar 300.000 hektar (ha) pada 2022 menjadi 650.000 ha pada 2026 di wilayah timur laut India, Andaman dan Kepulauan Nicobar. Produksi CPO India yang semula 90.000-100.000 ton per tahun ditargetkan bisa menjadi 1,12 juta ton per tahun.
Baca juga: ”Lomba” Ketahanan Pangan Negara-negara Pengimpor Pangan
Untuk menjaga produktivitas sawit, di tengah masih berlanjutnya moratorium sawit, Indonesia menggulirkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada 2022, perkebunan sawit di Indonesia seluas 16,38 juta ha. Dari total luasan itu, sekitar 42 persen atau 6,94 juta ha merupakan kebun sawit rakyat.
Adapun potensi tanaman sawit rakyat yang diremajakan seluas 2,8 juta ha. Pada 2017 dan 2018, pemerintah menargetkan PSR masing-masing seluas 20.780 ha dan 185.000 ha. Kemudian, pada 2019-2023, luas tanaman sawit yang diremajakan ditargetkan 180.000 ha per tahun.
Pada 2016-2022, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah menggulirkan dana peremajaan sawit rakyat senilai total Rp 7,52 triliun kepada 120.168 petani sawit. Dari dana itu, lahan sawit yang telah diremajakan seluas 273.666 ha.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (16/1/2023), Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alamsyah mengemukakan, banyak petani yang menunda peremajaan tanaman sawit pada tahun lalu. Hal itu disebabkan harga CPO global tinggi sehingga berpengaruh pada kenaikan harga TBS di tingkat petani.
Selain itu, selama masa peremajaan lebih kurang tiga tahun, petani tidak memperoleh pendapatan utama. Untuk itu, Kementerian Pertanian tengah mengajukan insentif bagi petani yang meremajakan tanamannya.
Petani yang meremajakan tanaman sawit akan mendapat tambahan dana di luar dana PSR yang sebesar Rp 30 juta per ha dari BPDPKS. Dana tambahan digunakan untuk mengembangkan sistem tumpang sari di lahan sawit.
Mereka, lanjut Andi, akan mendapat tambahan dana di luar dana PSR yang sebesar Rp 30 juta per ha dari BPDPKS. Dana tambahan digunakan untuk mengembangkan sistem tumpang sari di lahan sawit. Mereka bisa menanam jagung, sorgum, atau kacang-kacangan.
”Program kelapa sawit tumpang sari tersebut sifatnya voluntary atau sukarela, bukan mandatori. Program ini tengah dimatangkan bersama Komite Pengarah dan Komite Pengawas BPDPKS. Prosesnya masuk tahap menentukan biaya tambahan per hektar,” ujarnya.
Baca juga: Atasi Hambatan Peremajaan Sawit demi Dongkrak Produksi