Infrastruktur dan ekosistem bursa di Indonesia dinilai perlu terus diperbaiki dan ditingkatkan guna menggairahkan perdagangan komoditas. Upaya itu perlu dukungan pengambil kebijakan, pelaku usaha, dan pemangku terkait.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara produsen minyak sawit mentah atau CPO terbesar di dunia, perdagangan CPO di Indonesia hingga kini belum jadi acuan dalam hal pembentukan harga CPO global. Peran itu justru diambil oleh Malaysia. Infrastruktur dan ekosistem bursa komoditas dinilai perlu ditingkatkan antara lain untuk melindungi nilai saat terjadi fluktuasi harga CPO global.
Girta Yoga dari Riset dan Pengembangan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX), pada pengenalan kontrak dan pasar fisik di bursa komoditas, secara virtual, Rabu (10/8/2022), mengatakan, tiga hal penting dalam bursa komoditas adalah dukungan pengambil kebijakan, pemangku kepentingan, dan infrastruktur.
”Saat ini, Indonesia belum mempunyai pasar CPO yang mampu menyaingi (pasar CPO) Malaysia, antara lain karena para pelaku sendiri belum melihat apa keuntungannya dengan bertransaksi di bursa atau di pasar spot (pasar tunai). Perlu dukungan pemangku kebijakan dan para pemangku kepentingan,” ujar Yoga.
Soal infrastruktur, kata Yoga, Indonesia juga perlu meningkatkannya. Menurut dia, Indonesia belum mampu menyamai Singapura yang memiliki keunggulan di sisi logistik atau Malaysia dengan perdagangan pasar fisik CPO. Pemerintah Malaysia mendukung penuh infrastruktur perdagangan komoditas, seperti dengan membangun dan menyediakan sarana dan prasarana.
”Di Indonesia sebenarnya (ada) Pusat Logistik Berikat yang sudah masuk dalam linimasa (timeline) pemerintah. Namun, dalam perjalanannya, (keberadaannya) belum dimanfaatkan maksimal oleh para pelaku pasar sendiri,” kata Yoga.
Pada tahun 2022, kisruh minyak goreng di dalam negeri menjadi catatan ironis mengingat Indonesia merupakan negara penghasil CPO (bahan baku minyak goreng) terbesar di dunia. Apabila bursa perdagangan di Indonesia ditingkatkan hingga bisa menggeser Bursa Derivatif Malaysia sebagai acuan harga pelaku pasar global, maka hal itu akan inheren dengan stabilitas pasokan dan harga dalam negeri.
”Itu akan saling mendukung. Dengan menentukan sendiri harga, artinya harga yang dibentuk akan lebih pro kepada sisi Indonesia atau produsen. Harganya akan jauh lebih baik dibandingkan jika dibentuk di pasar luar,” ujar Yoga.
Head of Learning Center ICDX Anang E Wicaksono menambahkan, kisruh minyak goreng di Indonesia pada tahun ini disebabkan oleh multifaktor. Namun, yang jelas, salah satu risiko ketika transaksi dilakukan di luar pasar bursa adalah adanya potensi kehilangan kontrol. Informasi yang dapat diakses menjadi sangat terbatas.
”Sebab, akan terjadi eksklusivitas dan bilateral, misalnya antara distributor dan pelaku (pasar) lawannya. Berbeda dengan di bursa yang lingkungannya terbuka. Semua transaksi keluar-masuk hingga proses pembentukan harga bisa dimonitor semua orang. Di masa depan, bursa diharapkan jadi pusat perdagangan komoditas,” kata Anang.
Anang menambahkan, fluktuasi harga terjadi akibat mekanisme pasar atau berkait dengan permintaan dan penawaran. Sementara perdagangan berjangka komoditas sendiri, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997, dapat dimanfaatkan dunia usaha, termasuk petani, serta produsen kecil untuk melindungi diri dari risiko fluktuasi harga.
”Jadi, ada mitigasi risiko. Kalau pelaku pasar sudah sangat paham menggunakan mekanisme lindung nilai, kenaikan harga (tinggi) bisa diantisipasi. Itu akan berpengaruh pada pelaku pasar lain sehingga kenaikan harga akan terjadi di level wajar. Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” jelasnya.
Selain infrastruktur yang belum bisa menyamai sejumlah bursa perdagangan komoditas di luar negeri, tantangan lain, misalnya, soal produsen CPO yang tersebar di sejumlah daerah atau provinsi. Namun, Anang meyakini, seiring terbangunnya ekosistem yang lebih baik serta tingkat kesadaran masyarakat akan hal itu, perlahan bursa perdagangan komoditas Indonesia bakal lebih berperan di mata internasional.
Harga referensi
Harga referensi CPO untuk penetapan bea keluar (BK) periode 9-15 Agustus 2022 ialah 872,27 dollar AS per ton atau turun 46,02 persen dari Juli 2022 yang mencapai 1.615,83 dollar AS per ton. Penetapan itu tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1157 Tahun 2022 tentang Harga Harga Referensi CPO yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit periode 9-15 Agustus 2022.
Selain itu, mengacu pada Kepmendag Nomor 1158 Tahun 2022 tentang Harga Patokan Ekspor dan Harga Referensi Atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar periode bulan Agustus 2022 serta Kepmendag Nomor 1159 Tahun 2022 tentang Daftar Merek Refined, Bleached, and Deodorized (RBD) Palm Olein dalam Kemasan Bermerek dan Dikemas dengan Berat Netto 25 kilogam atau lebih kecil pada Agustus 2022.
”Saat ini harga referensi CPO mengalami penurunan dan sudah mulai mendekati threshold 750 dollar AS per ton. Untuk itu, pemerintah mengenakan BK (bea keluar) CPO sebesar 52 dollar AS per ton untuk periode Agustus 2022,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono lewat keterangan tertulis, Rabu (10/8/2022).
Pasca-pencabutan larangan ekspor CPO dan turunannya, pemerintah menggenjot ekspor CPO dan produk turunannya akibat tangki-tangki penyimpanan yang penuh, yang membuat harga tandan buah segar (TBS) petani sawit anjlok. Namun, harga CPO global lalu anjlok, yakni dari 6.500-7.000 ringgit per ton pada akhir April 2022 menjadi sekitar 3.500 ringgit per ton pada pertengahan Juli 2022. Kini harganya sudah di atas 4.000 ringgit per ton.