Penghentian lebih awal masa operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dinilai membutuhkan prioritas guna menyiasati besarnya kebutuhan biaya. PLTU berusia tua bisa jadi pilihan untuk diakhiri lebih dini.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTUbatubara menjadi salah satu upaya penting transisi energi. Namun, biaya yang dibutuhkan terbilang besar sehingga PLTU tua dinilai perlu menjadi prioritas untuk dihentikan lebih cepat masa operasinya. Di sisi lain, emisi dari PLTU harus tetap dikelola untuk menekan emisi.
Indonesia sejatinya telah mendapat komitmen pendanaan percepatan transisi energi, termasuk penghentian dini operasi PLTU batubara dan pengembangan pembangkit energi terbarukan. Komitmen itu antara lain diperoleh melalui Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP) di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022. Ada pula komitmen senilai 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun lewat Mekanisme Transisi Energi (ETM) yang merupakan program Bank Pembangunan Asia (ADB).
”Tidak semua PLTU disasar untuk dipensiunkan dini, tetapi harus ada skala prioritas, misalnya PLTU-PLTU yang sudah tua dan saat ini kurang baik dari sisi efisiensi seperti PLTU Paiton I (di Jawa Timur). Artinya, batubara masih bisa terus dimanfaatkan, tetapi ada pengelolaan emisinya,” ujar Kepala Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya Tri Widjaja saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (29/6/2023).
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), porsi batubara dalam bauran energi pembangkit listrik masih dominan, yakni mencapai 67,21 persen hingga Desember 2022. Di sisi lain, cadangan batubara Indonesia masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga sekitar 60 tahun ke depan.
Tri menambahkan, pemanfaatan batubara perlu didorong untuk kebutuhan dalam negeri, bukan untuk ekspor. Namun, upaya itu perlu disertai dengan pengembangan teknologi untuk menekan emisi, misalnya dengan mengolah batubara menjadi metanol. ”Harus dikembangkan ke arah sana dengan melibatkan berbagai perguruan tinggi di Indonesia,” katanya.
Hal itu menjadi tahapan sebelum Indonesia benar-benar bisa melepaskan diri dari batubara. Pemanfaatan batubara pun mesti terus dimonitor dan diselaraskan dengan tujuan mencapai emisi nol bersih (NZE).
Dorongan itu juga tak terlepas dari besarnya biaya yang akan dibutuhkan untuk memensiunkan PLTU secara dini dan mengembangkan pembangkit energi terbarukan secara masif. ”Dalam politik internasional, tentu kita perlu setuju dengan komitmen (transisi energi global) itu. Tapi, upaya-upaya lain harus berjalan,” ujarnya.
Saat ini Sekretariat JETP tengah menyusun Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), antara lain berisi proyek-proyek transisi energi yang akan didanai. Penyusunan dokumen tersebut ditargetkan selesai pada 16 Agustus 2023. Adapun dua PLTU yang didesain untuk dipangkas masa operasinya ialah PLTU Pelabuhan Ratu di Sukabumi, Jawa Barat, dan PLTU Pacitan di Jawa Timur.
Dari komitmen pendanaan JETP sebesar 20 miliar dollar AS, sebanyak 10 miliar dollar AS di antaranya berasal dari pendanaan publik dari negara-negara International Partners Group (IPG). Itu antara lain mencakup dana hibah dan bantuan teknis masing-masing sekitar 160 juta dollar AS. Sementara 10 miliar dollar AS lainnya berupa pinjaman komersial dari koalisi lembaga keuangan Glasgow Financial Alliance for Net Zero.
Kendati ada pendanaan berupa pinjaman komersial dalam JETP, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menilai jerat utang bisa dihindari Indonesia. ”Asalkan project management dan preparation terlaksana dengan baik. Ini menjadi kunci,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, di sela-sela JETP Convening for Exchange and Learning, di Jakarta, Selasa (27/6/2023), mengatakan, jika ingin sejalan dengan Persetujuan Paris (berupaya maksimal untuk mencegah suhu global tak melewati 1,5 derajat celsius), akumulasi investasi yang dibutuhkan hingga tahun 2050 mencapai 1,3 triliun dollar AS.
Sementara hingga tahun 2030, dari kajian IESR, dibutuhkan sekitar 130 miliar dollar AS. Itu antara lain untuk pensiun dini PLTU serta membangun pembangkit energi terbarukan. Sebagaimana tertuang dalam komitmen JETP, porsi energi terbarukan ditargetkan mencapai 34 persen dalam bauran ketenagalistrikan pada 2030.
Bagaimanapun, dana hibah akan dibutuhkan dalam mewujudkan hal tersebut. ”Kalau sekarang hibah hanya 160 juta dollar AS, sangat tak memadai. Menurut saya, dana dari IPG, minimal 10-15 persen (dari 10 miliar dollar AS) dalam bentuk hibah untuk memenuhi kebutuhan proyek JETP,” kata Fabby.
Sementara itu, dalam World Energy Transitions Outlook (WETO) 2023 yang dirilis International Renewable Energy Agency (Irena) beberapa waktu lalu, ada tiga hambatan utama menuju tercapainya target agar suhu global tak lebih dari 1,5 derajat celsius. Ketiganya ialah masih kurangnya infrastruktur fisik, regulasi, serta kapabilitas tenaga kerja terkait energi terbarukan.
”Kita tidak berada di jalur yang tepat untuk memenuhi Persetujuan Paris. Satu-satunya opsi ialah menjadikan energi terbarukan, yang berbasis sains, sebagai pusat solusi. Transisi energi harus menjadi alat strategis dalam membuat dunia lebih adil dan inklusif,” ujar Direktur Jenderal Irena Francesco La Camera, dikutip dari laman Irena, Kamis (22/6/2023).