Selain penghentian dini operasi PLTU batubara, pembangunan pembangkit energi terbarukan harus dipacu. Berdasarkan target JETP, energi terbarukan harus mencapai 34 persen dalam bauran kelistrikan nasional.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu di Desa Citarik, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (18/4/2014). PLTU yang memiliki kapasitas 2 x 350 MW ini merupakan bagian proyek pembangkit listrik 10.000 MW pemerintah untuk membantu pasokan listrik pada jaringan Jawa-Bali.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyusun peta jalan penghentian lebih dini operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara. Dalam draf dokumen tersebut tertuang antara lain daftar PLTU dengan total kapasitas 4,8 gigawatt yang akan dipercepat usia operasinya pada 2030.
Penghentian lebih dini operasi PLTU antara lain akan didanai lewat kerja sama transisi energi yang adil (just energy transition partnership/JETP). Indonesia telah mengamankan komitmen pendanaan JETP sebesar 20 miliar dollar AS. Rinciannya, 10 miliar dollar AS berasal dari pendanaan publik dari negara-negara anggota International Partners Group (IPG) dan 10 miliar dollar AS lainnya dari anggota Glasgow Financial Alliance for Net Zero.
Saat ini, Sekretariat JETP, yang berlokasi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tengah menyiapkan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Penyusunan CIPP ditargetkan tuntas pada 16 Agustus 2023.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, pada acara JETP Convening for Exchange and Learning, di Jakarta, Selasa (27/6/2023), mengatakan, peta jalan itu nantinya bisa menjadi basis penyiapan dokumen CIPP.
”Draf peta jalan ini berisi daftar PLTU batubara yang masa operasinya bisa dipercepat, khususnya pada sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali dan Sumatera. Juga ada (daftar) pembangkit energi terbarukan yang berpotensi menggantikan PLTU batubara, disertai dukungan infrastruktur transmisinya,” katanya.
Tanpa menyebut secara rinci dan jumlah unitnya, Dadan mengatakan, total kapasitas PLTU batubara yang disiapkan untuk dihentikan operasinya hingga 2030 adalah 4,8 gigawatt (GW) dengan potensi pengurangan emisi sebesar 36 juta metrik ton karbon dioksida (CO2).
Peta jalan itu didesain antara lain untuk penghentian operasi PLTU Pelabuhan Ratu di Sukabumi, Jawa Barat, dan PLTU Pacitan di Jawa Timur. ”PLTU Pelabuhan Ratu adalah salah satu prioritas pensiun dini PLTU yang menggunakan mekanisme spin off (pengalihan aset),” ucap Dadan.
Dadan menambahkan, kolaborasi negara-negara penerima komitmen JETP bisa mempercepat transisi energi yang adil, terjangkau, serta untuk semua. Sebelum Indonesia, Afrika Selatan (Afsel) telah lebih dulu mendapatkan komitmen pendanaan JETP yang telah berjalan selama 12 bulan. Adapun negara ketiga yang mendapat JETP adalah Vietnam.
Sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) siap mengakselerasi 522 proyek hijau yang dikolaborasikan investasinya melalui skema JETP. Jumlah tersebut meningkat dari 163 proyek hijau yang saat ini dijalankan secara mandiri oleh PLN dalam rangka mencapai target emisi nol (net zero emission/NZE) 2060.
Dikutip dari laman PLN, Minggu (25/6/2023), disebutkan, pemerintah telah bersepakat dengan negara-negara anggota G20 pada pertemuan KTT G20 di Bali untuk skema JETP. Bersama dengan PLN dan Sekretariat JETP, saat ini tengah digodok skema teknis dan finansial yang paling sesuai.
Selain JETP, Indonesia juga mendapat dukungan dalam Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM), yang merupakan program Bank Pembangunan Asia (ADB). Adapun PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) telah ditunjuk menjadi country platform manager ETM.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu, dalam Sustainable Energy Financing and Mobilisation of Energy Investments in Asean, di Jakarta, Selasa, menuturkan, saat ini, Indonesia melakukan pendekatan bottom up dalam menilai kelayakan proyek untuk pendanaan transisi energi.
”(Proyek-proyek) kita lihat satu per satu. Kemudian, kita hitung dan dikalkulasikan berapa biaya yang dibutuhkan untuk itu,” katanya.
Ia menambahkan, saat ini, sekitar 65 persen sumber energi primer kelistrikan di Indonesia masih dipenuhi pembangkit berbahan bakar batubara. Namun, di sisi lain, percepatan pengembangan energi terbarukan juga diperlukan.
Menurut Febrio, sebelum mengembangkan energi terbarukan dengan lebih cepat, penghentian dini operasi PLTU batubara bisa dilakukan. Artinya, masa operasi PLTU dipangkas dari seharusnya (sesuai usia operasi). Dalam penghentian operasi (shut down) PLTU batubara, kompensasi harus dipikirkan. Kini, tengah dikaji penghentian operasi PLTU dilakukan dulu sebagian atau tidak langsung sepenuhnya. Hal itu juga akan berpengaruh pada struktur pendanaan dalam kompensasi.
ISMAIL ZAKARIA
Panel-panel sel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sengkol, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/8/2019). Penggunaan PLTS Sengkol serta dua PLTS lain, yakni PLTS Selong dan PLTS Pringgabaya, di Lombok Timur yang masing-masing berkapasitas 5 megawatt, merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik Indonesia.
Partisipasi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, dalam implementasi JETP, perempuan hingga kelompok rentan perlu mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, partisipasi mereka dan kelompok masyarakat sipil menjadi kunci dalam upaya mewujudkan transisi energi berkeadilan.
International Partners Group (IPG) atau kelompok negara-negara maju yang terkait dengan pendanaan JETP, imbuh Fabby, harus mendukung itu. ”Saya yakin penyediaan informasi (terkait pelaksanaan JETP) menjadi alat kuat guna mendukung transparansi sekaligus mengakomodasi kelompok rentan (terdampak),” katanya.
Fabby menambahkan, selain penghentian dini operasi PLTU batubara, pembangunan pembangkit energi terbarukan harus dipacu. Berdasarkan target JETP, energi terbarukan harus mencapai 34 persen dalam bauran pembangkit kelistrikan pada 2030. Sementara kini baru sekitar 14 persen.
Adapun berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, ada tambahan 21 GW dari energi terbarukan. Dengan demikian, perlu tambahan 24 GW lagi untuk mencapai target JETP atau sekitar total 45 GW. Dengan waktu tersisa, Fabby menuturkan, percepatan mutlak dilakukan.
Menurut Fabby, proyek-proyek bilateral terkait energi terbarukan yang sebelumnya sudah disepakati (sebelum ada JETP) tidak turut masuk dalam proyek-proyek JETP. ”Menurut saya, langsung saja fokus membuat proyek, termasuk studi kelayakan, sehingga nantinya saat ada pendanaan, tinggal masuk. Jika tak begitu, sulit, karena kita butuh ribuan proyek untuk 45 GW itu,” katanya.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Paiton Energy membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mendukung penyediaan sumber energi terbarukan. Perusahaan membangun PLTS dari stasiun Photovoltaic (PV) untuk keperluan konsumsi sendiri dengan total kapasitas terpasang 1.013 kW dengan Sistem Tenaga Surya on-Grid.
Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan implementasi JETP, termasuk di Indonesia, sejumlah lembaga, seperti IESR, African Climate Foundation (ACF), dan Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP), menggelar forum diskusi di Jakarta pada 27-28 Juni 2023. Forum itu untuk bertukar informasi sekaligus pembelajaran di antara negara penerima komitmen JETP.
Afsel menjadi yang pertama (sejak 2021), dengan pendanaan awal senilai 8,5 miliar dollar AS. Sementara Vietnam menjadi negara ketiga setelah Indonesia, dengan dukungan pendanaan setidaknya 15,5 miliar dollar AS.
Apabila implementasi JETP di Afsel sudah berjalan setahun, Indonesia dan Vietnam sedang dalam proses menyusun rencana investasi dan struktur tata kelola JETP. Oleh karena itu, forum berbagi informasi dan pembelajaran terkait JETP diharapkan menjadi ajang untuk membangun jaringan dan berbagi wawasan.
Direktur Sumber Daya Alam dan Program Internasional Perubahan Iklim di Ford Foundation Anthony Bebbington mengatakan, pertemuan itu akan menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan terkait JETP. Diharapkan ada pembelajaran yang bisa diambil dari negara-negara terkait.
Pemangku kepentingan lain, seperti IESR, ACF, dan GEAPP, akan terus mempromosikan keadilan sosial, pembangunan yang adil, serta kelestarian lingkungan. ”Kontribusi itu untuk menciptakan masa depan yang adil, merata, dan berkelanjutan untuk semua,” ucap Bebbington.