Usaha pemindangan ikan dinilai berpotensi menggerakkan perekonomian. Namun, kewaspadaan perlu ditingkatkan terkait bahan baku impor ikan pindang yang merembes ke pasar lokal.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha pemindangan ikan skala mikro-kecil berpotensi mendorong pertumbuhan perikanan nasional. Pemindangan ikan turut menggerakkan sektor-sektor usaha lain, seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengepul, pemasaran, pembuat besek, petambak garam, dan jasa distribusi.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Budi Sulistiyo mengemukakan, penjualan pindang kemasan besek yang dihasilkan unit usaha skala mikro-kecil secara nasional pada 2022 mencapai 14 miliar besek dengan harga jual Rp 4.000 per besek. Perputaran uang dari usaha pemindangan skala mikro-kecil itu ditaksir Rp 16 triliun.
”Kalau per besek dijual Rp 4.000, keuntungan bersih per pemindang rata-rata Rp 240.000 per hari atau Rp 7,2 juta per bulan,” ujarnya, dalam keterangan pers, Sabtu (24/6/2023).
Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) pemindangan di Indonesia hingga tahun 2022 mencapai 8.516 unit. Dari jumlah itu, 73 persen terpusat di Pulau Jawa dan 19,4 persen di Pulau Bali dan Nusa Tenggara. Mayoritas pemindang terkonsentrasi di Jawa Barat sebanyak 3.151 unit, Jawa Tengah 1.692 unit, Nusa Tenggara Barat 1.196 unit, Jawa Timur 1.098 unit, dan Bali 444 unit.
Budi menambahkan, usaha pemindangan dinilai dapat turut berperan menanggulangi kemiskinan ekstrem. Setiap UPI pemindangan skala mikro mampu mengolah ikan rata-rata 76 kg per hari, sedangkan satu UPI pemindangan skala kecil rata-rata 450 kg per hari. Pihaknya berupaya mendorong usaha pemindangan ikan skala mikro-kecil untuk naik kelas dengan pembinaan mutu dan keamanan pangan, serta kemudahan perizinan berusaha melalui penerbitan sertifikat kelayakan pengolahan gratis.
Kebutuhan total bahan baku pindang setara ikan utuh segar pada tahun 2022 mencapai 577.899 ton atau rata-rata sebesar 48.158 ton per bulan. Bahan baku pindang sebagian dipasok dari perairan Jawa, Bali, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Di antaranya, tongkol 232.455 ton, layang 89.959 ton, cakalang 39.486 ton, kembung 18.869 ton, serta ikan hasil budidaya seperti bandeng 126.874 ton.
Rembesan impor
Adapun industri pemindangan juga mengandalkan sebagian bahan baku dari impor ikan salem. Kendalanya, bahan baku impor itu kerap rembes ke pasar lokal sehingga menekan harga ikan lokal serta merugikan nelayan.
Awal Juni 2023, aparat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP- KKP) menyegel komoditas salem impor sebanyak 20 ton milik PT D di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam. Penjualan ikan jenis salem tersebut dihentikan sementara sampai pemeriksaan selesai dilakukan.
PT D yang berpusat di Jakarta mendapatkan kuota ikan salem impor sebesar 400 ton. Ikan salem impor itu ditujukan bagi industri pemindangan, tetapi terindikasi langsung dijual di pasar lokal. Adapun harga jual ikan tersebut lebih murah dibandingkan harga ikan lokal sehingga berdampak memukul hasil tangkapan nelayan.
”Ikan impor itu peruntukannya khusus untuk pemindangan. Nah, ini kami menemukan bukti ada yang bocor di pasar lokal. Bisa karena (perusahaan) tidak tahu atau bisa juga karena pura-pura tidak tahu. Pelaku usaha sudah mengakui dan siap tidak mengulangi perbuatannya,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, pada Maret-Mei 2023, KKP melalui aparat pengawasannya menengarai jumlah ikan salem impor yang merembes mencapai 125,07 ton. Ikan itu sebenarnya ditujukan untuk industri pemindangan, tetapi dijual di pasar tradisional. Kasus itu, antara lain, ditemukan di Pati (Jawa Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), dan Palembang (Sumatera Selatan).