Pengawasan Pelaksanaan Norma K3 Dinilai Kurang Optimal
Pelaksanaan norma keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 membutuhkan komitmen pengawasan dari pemerintah. K3 semestinya sudah menjadi bagian dari budaya perusahaan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja cenderung naik. Situasi ini merupakan indikasi agar pengawasan atas implementasi norma keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 ditingkatkan sampai ke tingkat daerah.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di sela-sela penganugerahan Penghargaan K3 Tahun 2023 di Jakarta, Kamis (22/6/2023), menyampaikan bahwa data jumlah kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja menunjukkan peningkatan. Data yang dia maksud adalah laporan tahunan BPJS Ketenagakerjaan tiga tahun terakhir.
Pada 2020, angka kecelakaan kerja tercatat 221.740 kasus, lalu meningkat pada 2021 menjadi 234.370 kasus. Adapun pada 2022, jumlah kasusnya naik lagi menjadi 298.137 kasus.
”Jika mengacu data tersebut, ada indikasi pelaksanaan norma K3 harus menjadi perhatian sangat serius dan prioritas bagi dunia kerja di Indonesia. Kami mendorong terus kepada pimpinan perusahaan agar menerapkan sistem manajemen K3 secara konsisten sesuai ketentuan perundang-undangan. Reward atau penghargaan kepada perusahaan itu nomor dua, tetapi K3 harus menjadi budaya supaya produktivitas kerja naik,” tuturnya. Pemerintah Indonesia mengakui K3 sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia.
Di tengah pembangunan smelter yang semakin tinggi untuk memperkuat hilirisasi yang memberikan nilai tambah dan membuka lapangan kerja lebih banyak lagi, Ida menyampaikan, Kementerian Ketenagakerjaan berkomitmen akan berperan serta dari sisi membina dan mengawasi K3.
”Untuk pengawasan K3 di smelter, khususnya, pemerintah akan melakukannya secara rutin. Di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Tenaga Kerja dan Keselamatan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal saat dimintai tanggapan terkait hal itu di Jakarta, Jumat (23/6/2023), memandang, ada beberapa faktor yang menyebabkan angka kasus K3 naik. Faktor pertama adalah lemahnya sanksi. Hingga sekarang, Indonesia masih menganut Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Sanksi atas pelanggaran K3, sesuai UU itu, hanya dipatok nominal yang rendah. Substansi ini seharusnya direvisi.
Faktor kedua, sejumlah perusahaan, termasuk perusahaan multinasional, masih menganggap bahwa menerapkan K3 akan menambah ongkos. Padahal, implementasi K3 yang konsisten akan mendorong produktivitas kerja dan kesejahteraan bagi karyawan.
Selain itu, UU No 1/1970 mengamanatkan adanya panitia pembina K3 di masing-masing perusahaan. Panitia pembina K3 harus terdiri dari manajemen dan serikat pekerja. Akan tetapi, realitasnya tidak dijalankan optimal. ”Dari sisi investor, kami mengamati ada karakteristik investor yang berbeda. Ada investor yang cenderung menempatkan K3 dan pekerja sebagai ongkos sehingga kelengkapan sistem K3 tidak diperhatikan,” ujarnya.
Serikat pekerja/buruh sebenarnya tidak anti terhadap investasi, tetapi mereka tidak sepakat terhadap lemahnya perlindungan pekerja.
Menurut Said, serikat pekerja/buruh sebenarnya tidak anti terhadap investasi, tetapi mereka tidak sepakat terhadap lemahnya perlindungan pekerja. Pemerintah seharusnya bisa bertindak tegas, misalnya mewajibkan investor patuh membentuk panitia pembina K3 dan melengkapi alat K3 sebagai syarat dikeluarkannya kartu izin tinggal terbatas bagi warga asing yang ingin bekerja di Indonesia.
Dewan Penasihat Indonesian Network of Occupational Health and Safety Professionals (Inosphro) Tan Malaka, saat dihubungi terpisah, Jumat, di Jakarta, menilai, paparan jumlah kasus K3 naik selama ini kerap kali tidak akurat. Jika kasus K3 mengacu ke data klaim di BPJS Ketenagakerjaan, hal ini akan menyesatkan publik. ”BPJS Ketenagakerjaan baru mencakup 30 persen dari total populasi K3 Indonesia dari sisi perusahaan,” ujarnya.
Dia juga menduga kenaikan jumlah kasus K3 memang sejalan dengan kenaikan jumlah perusahaan baru. Sejauh ini, Tan menyebut sistem pelaporan dan pengawasan implementasi K3 di pemerintahan tidak berjalan optimal. Sistem pelaporan, khususnya, dinilai masih berjalan secara manual.
”Investasi terhadap proyek-proyek hilirisasi akan terus berkembang. Indonesia tidak bisa menihilkan kasus K3, tetapi penegakkan hukum atas pelanggaran implementasi K3 seharusnya bisa dilakukan (oleh pemerintah) sehingga frekuensi kasus jauh lebih berkurang. Cuma, ini (penegakkan hukum) belum dijalankan optimal,” kata Tan.
Dia menambahkan, fenomena yang terjadi adalah buyer memaksa K3 dijalankan maksimal. Dengan demikian, sejumlah perusahaan dalam negeri bersedia menjalankan K3.
”Di Indonesia, aplikasi K3 yang baik hanya di sektor minyak dan gas bumi, korporasi pertambangan skala besar, dan manufaktur berorientasi ekspor,” ucap Tan yang juga Guru Besar Bidang Ilmu Kedokteran Universitas Sriwijaya.