Pemerintah Permudah Akses Layanan Bantuan Hukum UMKM
Selain menjadi tulang punggung perekonomian, pelaku usaha mikro dan kecil tidak luput dari permasalahan hukum. Melalui regulasi, pemerintah berupaya memberikan layanan bantuan hukum kepada mereka.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah berhak menerima layanan bantuan dan perlindungan hukum dari pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Para pelaku usaha hanya perlu mengajukan permohonan kepada Kemenkop dan UKM dengan mencantumkan nomor induk usaha dan dokumen hukum terkait.
Pelayanan tersebut diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Selanjutnya, Kemenkop UKM mengeluarkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No 3/2021 tentang Pelaksanaan PP No 7/2021.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengutarakan, struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh pelaku UMKM. Sebagian besar dari mereka menghadapi berbagai permasalahan hukum, seperti kredit macet, wan prestasi, dan utang-piutang lantaran karakteristiknya.
”Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan PP No 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, pemerintah wajib memberikan akses perlindungan hukum. Salah satunya diimplementasikan dalam program layanan bantuan dan pendampingan hukum pada pelaku usaha mikro dan kecil,” ujarnya dalam seminar nasional daring bertajuk ”Optimalisasi Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil”, Jumat (23/6/2023).
Menurut Teten, pelaksanaan program tersebut membutuhkan sinergi dan kolaborasi dari berbagai pihak sehingga literasi, layanan bantuan, dan pendampingan hukum dapat dimanfaatkan oleh para pelaku. Di sisi lain, digitalisasi juga perlu diterapkan untuk mempermudah akses.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop UKM Yulius menambahkan, seminar ini diadakan dalam rangka menjalankan PP No 7/2021 dari sisi hulu. Sementara Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No 3/2021 tentang Pelaksanaan PP No 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM memandatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada pelaku usaha mikro dan kecil.
”Dalam rangka optimalisasi layanan bantuan dan perlindungan hukum, dilakukan kerja sama antara Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop UKM dengan Direktorat Jenderal Peradilan Hukum Mahkamah Agung, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Sikap Yogyakarta, LBH Jakarta, PT Justika Media Indonesia, asosiasi, serta pos bantuan hukum di seluruh Indonesia,” katanya.
Syarat-syarat ketika ingin mendapatkan layanan hukum dari Kemenkop UKM ini ialah NIB dan dokumen yang berkaitan dengan masalah hukum. Ini berbeda dengan layanan bantuan hukum dari Badan Pembinaan Hukum Nasional yang menjadikan SKTM sebagai syarat mutlak bagi masyarakat dengan keterbatasan ekonomi.
Pengacara LBH Sikap Yogyakarta, Julian DP, menjelaskan, surat keterangan tidak mampu (SKTM) tidak lagi menjadi satu-satunya syarat untuk mendapatkan bantuan hukum. Kini, para pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) dapat mengajukan permohonan kepada Kemenkop UKM dengan mencantumkan nomor induk berusaha (NIB).
”Konteks dari SKTM sebenarnya adalah turunan dari UU bantuan hukum. Mereka yang mendapat bantuan hukum adalah mereka yang memiliki SKTM. Konteksnya hari ini berbeda, SKTM sebagai syarat dalam UU bantuan hukum hanya melihat secara ekonomi. Padahal, bisa dari cara pandang lain, misalnya difabel,” tuturnya dalam sesi diskusi.
Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Kartiko Nurintias, yang diwakilkan oleh Henny, menuturkan, terdapat dua layanan hukum bagi para pelaku UMK, yakni melalui Kemenkop UKM dan BPHN Kemenkumham. SKTM menjadi kewajiban untuk mendapat layanan hukum di BPHN Kemenkumham.
”Syarat-syarat ketika ingin mendapatkan layanan hukum dari Kemenkop UKM ini ialah NIB dan dokumen yang berkaitan dengan masalah hukum. Ini berbeda dengan layanan bantuan hukum dari Badan Pembinaan Hukum Nasional yang menjadikan SKTM sebagai syarat mutlak bagi masyarakat dengan keterbatasan ekonomi,” ucapnya.
Berdasarkan Pendataan Lengkap Kemenkop UKM 2022-2024, sedikitnya terdapat 9,1 juta unit usaha yang telah divalidasi. Sebelumnya, Kemenkop UKM memproyeksikan terdapat sekitar 65 juta UMKM pada tahun 2019.
Julian menjelaskan, jumlah tenaga ahli hukum dengan jumlah pelaku UMK tidak sebanding. Hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat pelaku UMK tersebar di berbagai wilayah, sementara lembaga bantuan hukum terpusat di kota-kota.
”Ada banyak UMK, sementara pemberi bantuan hukumnya sedikit. Oleh sebab itu, perlu ada perwakilan dari para legal di antara para pelaku UMK sehingga bisa langsung ke komunitas dan menyelesaikan masalah. Kita perlu melakukan transformasi kesadaran hukum,” ujarnya.
Salah satu permasalahan hukum yang mencuat adalah perihal hak kekayaan intelektual (HKI). Menurut Julian, HKI mengandung banyak risiko hukum, terutama bagi mereka yang tidak memiliki literasi hukum.
Dalam hak paten tempe terkait ekspor, misalnya, 15 hak paten dikuasai Amerika Serikat, lima hak paten dipegang Jepang, sedangkan Indonesia hanya memiliki dua hak paten. Padahal, orang Indonesia menguasai pembuatan tempe dan ini berdampak pada penjualan tempe di pasar global yang berpotensi dijegal.
”Oleh sebab itu, kita perlu mendorong pemerintah untuk mendaftarkan dan mengakomodasi HKI agar ekspor lebih mudah. Dalam hal ini, pemerintah pusat yang menentukan diterima atau tidaknya jenama para pelaku usaha. Semua bergantung pada pusat,” tuturnya.