Kejar Durasi Tinggal Wisman, Kebijakan Bebas Visa Dicabut
Pemerintah tetap memberlakukan kebijakan visa kedatangan (”visa on arrival”) setelah mencabut kebijakan bebas visa kunjungan 159 negara. Industri pariwisata nasional dinilai butuh wisatawan yang tinggal lebih lama.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan visa yang dicabut adalah kebijakan bebas visa kunjungan dan bukan visa kedatangan atau visa on arrival. Pencabutan kebijakan bebas visa kunjungan dilakukan pemerintah karena kebijakan itu dinilai tidak efektif mendatangkan wisatawan berkualitas.
Kebijakan bebas visa kunjungan diberikan kepada warga asing dengan jangka waktu tinggal di Indonesia paling lama 30 hari dan tidak dapat diperpanjang. Sementara kebijakan visa kedatangan (VOA) diberikan kepada warga asing dengan jangka waktu tinggal 30 hari dan bisa diperpanjang satu kali dengan durasi 30 hari. Guna memperoleh VOA, orang asing bisa mengakses Molina.imigrasi.go.id dan melakukan pembayaran secara daring.
”Kebijakan bebas visa kunjungan diberikan kepada wisatawan mancanegara (wisman) dari 159 negara. Selama pandemi Covid-19, kebijakan ini disuspensi. Berdasarkan kajian bersama Direktorat Jenderal Imigrasi dan Badan Narkotika Nasional, kebijakan itu tidak efektif dalam mendatangkan kunjungan wisatawan berkualitas, antara lain mencakup (waktu) tinggal lebih lama dan berkelanjutan,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga S Uno, seusai konferensi pers mingguan di Jakarta, Senin (19/6/2023) malam.
Menurut dia, semakin lama wisman tinggal, semakin besar potensi belanja di dalam negeri. Oleh karena itu, pihaknya menganggap perlu ada kebijakan visa yang mengakomodasi hal itu, misalnya dengan visa yang memungkinkan turis asing tinggal lebih lama dan multiple entry (beberapa kali kunjungan).
”Skema izin tinggal melalui investasi dan kewarganegaraan atau golden visa memberikan durasi tinggal 10 tahun dengan multiple entry. Kami menilai wacana kebijakan golden visa yang sudah masuk tahap finalisasi akan lebih menarik. Dampaknya pun lebih besar kepada pelaku UMKM lokal,” kata Sandiaga.
Pertimbangan
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, di Jakarta, Selasa (20/6/2023), berpendapat, pihaknya tidak melarang Pemerintah Indonesia mencabut kebijakan bebas visa kunjungan. Namun, pemerintah semestinya mempertimbangkan beberapa faktor sebelum mencabut kebijakan itu. Salah satu faktor yang seharusnya jadi bahan evaluasi adalah beberapa negara di antara 159 negara sasaran kebijakan bebas visa justru berkontribusi besar terhadap jumlah kunjungan wisman. Sebagai contoh, Amerika Serikat, Australia, India, China, Inggris, Malaysia, Singapura, dan Jepang.
”Turis asal Amerika Serikat, misalnya, porsi kunjungannya di Bali menempati urutan keempat meski mereka harus terbang lama dari negara asalnya. Promosi kita ke negara itu juga sebenarnya belum maksimal,” katanya.
PHRI, lanjut Maulana, memandang dampak kebijakan bebas visa kunjungan lebih langsung ke industri pariwisata Indonesia, terutama penyerapan tenaga kerja. Dampak yang lebih langsung sedang dibutuhkan oleh pelaku industri pariwisata saat ini.
”Industri pariwisata Indonesia sedang masa pemulihan dari pandemi Covid-19. Okupansi hotel memang berangsur-angsur naik, tetapi pendapatan yang diterima belum bisa secara optimal menutup kerugian saat pandemi,” tuturnya.
Peneliti Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Janianton Damanik, berpendapat, salah satu hal yang belum dipraktikkan secara optimal adalah konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan oleh wisman. Sebagai contoh, apabila ada wisman jadi korban kriminalitas, negara tujuan destinasi wisman bersangkutan cenderung rentan dijadikan sasaran travel ban atau travel warning. Sebaliknya, apabila ada wisman yang berbuat onar terhadap kearifan lokal, pemangku kepentingan di industri pariwisata nasional cenderung kompromi berlebihan.
”Beberapa negara yang tergantung pada devisa pariwisata, seperti Indonesia, condong toleran terhadap ketidakadilan itu,” ujarnya. Pemberian jenis visa apa pun semestinya diikuti aksi pemerintah dan pemangku kepentingan di industri pariwisata untuk mendorong wisatawan respek kepada adat, budaya lokal, dan regulasi.