Literasi Keuangan dan Infrastruktur, Penghambat Sistem Pembayaran Nirkontak Indonesia
Negara maju di dunia telah menerapkan sistem pembayaran nirkontak atau ”contactless payment” dalam transaksi sehari-hari. Di Indonesia, hal ini masih dalam proses pengembangan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengembangan sistem pembayaran nirkontak atau contactless di Indonesia menemui sejumlah kendala. Kendala tersebut seperti literasi keuangan yang masih rendah, ketidaksiapan infrastruktur, dan sumber daya manusia.
Sistem nirkontak memungkinkan masyarakat untuk bertransaksi hanya dengan sekali sentuh atau mendekatkan perangkat pembayaran pada mesin pembayaran berupa electronic data capture (EDC). Artinya, seorang pelanggan hanya perlu menyentuhkan perangkat pembayaran pada mesin, tidak lagi memasukkan nomor PIN.
Kepala Bidang Produk dan Solusi Visa Indonesia Dessy Masri mengatakan, negara maju di dunia telah mengakomodasi perangkat yang lebih luas untuk transaksi nirkontak. Hal ini seperti ponsel pintar, jam pintar, tablet, laptop, dan alat elektronik lainnya.
”Di Indonesia juga sudah ada sistem nirkontak, tetapi hanya bisa menggunakan kartu. Pengembangan agar nirkontak dapat digunakan pada perangkat lain masih terkendala,” ujarnya dalam diskusi secara daring bertajuk ”Memasuki Era Virtual Banking di Indonesia”, di Jakarta, Senin (19/6/2023).
Sejak awal, mandatori penerapan pembayaran nirkontak di Indonesia cenderung lambat dibandingkan dengan negara lain. Hal itu menyebabkan transisi masyarakat dari kartu debit/kredit biasa menjadi kartu berfitur nirkontak juga terlambat.
Pelaku usaha atau merchant yang menyediakan sistem pembayaran nirkontak, kata Dessy, baru sekitar 50 persen. Masih ada setengah pelaku usaha yang belum siap menerapkan sistem nirkontak. Dalam hal ini, edukasi kepada pelaku usaha harus dilakukan secara masif.
Perkembangan teknologi yang pesat akan mempercepat peralihan masyarakat ke sistem pembayaran digital. Penerapan sistem pembayaran nirkontak bisa dimulai pada transaksi di sektor transportasi seperti pembayaran tol, bus, hingga kereta api.
”Selain itu, ada infrastruktur yang harus dibenahi. Untuk kartu kredit tidak ada masalah. Namun, kartu debit nirkontak masih terdapat kendala karena menggunakan jaringan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN),” ujarnya.
GPN merupakan sistem yang menghubungkan transaksi nontunai dengan seluruh instrumen perbankan. Untuk menyiapkan jaringan GPN yang memadai, lanjut Dessy, dibutuhkan kerja sama antarinstitusi seperti regulator dan industri peralihan (switching).
Transaksi nirkontak di Indonesia merupakan keniscayaan. Merujuk data Consumer Payment Attitudes Study 2022 oleh Visa, Indonesia dapat mencapai masyarakat tanpa uang tunai (cashless society) dalam dua tahun. Sebesar 71 persen alasannya adalah meningkatnya transaksi nirkontak sehingga masyarakat tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar.
Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menuturkan, perkembangan teknologi yang pesat akan mempercepat peralihan masyarakat ke sistem pembayaran digital. Penerapan sistem pembayaran nirkontak bisa dimulai pada transaksi di sektor transportasi seperti pembayaran tol, bus, hingga kereta api.
Literasi keuangan
Perkembangan sistem pembayaran, lanjut Huda, juga perlu diiringi dengan literasi keuangan yang baik di masyarakat. Seperti diketahui, Indeks Literasi Keuangan Indonesia hanya 49,68 persen, sedangkan Indeks Inklusi Keuangan mencapai 85,1 persen (Otoritas Jasa Keuangan/OJK, 2022).
”Jarak yang terbentang antara literasi dan penggunaan ini berbahaya. Masyarakat dapat terjebak dalam penipuan dan kejahatan lainnya. Karena itu, literasi keuangan harus ditingkatkan,” katanya.
Tingkat pendidikan juga berpengaruh pada literasi keuangan Indonesia. Semakin rendah tingkat pendidikan, kian rendah pula tingkat literasi keuangannya. Untuk meningkatkan literasi keuangan, tidak melulu hanya melibatkan OJK, melainkan kolaborasi dengan institusi pendidikan dan perbankan.
Selain itu, sumber daya manusia yang berperan sebagai pelaku usaha, pada saat bersamaan harus ditingkatkan ketersediaan sistem pembayarannya. ”Saya rasa ini semua butuh waktu, tapi pasti akan terwujud,” jelas Huda.