Pandemi yang mempercepat digitalisasi memicu munculnya perbankan yang mengklaim sebagai bank digital. Namun, mereka sejatinya belum jadi bank digital sepenuhnya, hanya memberikan layanan ke dalam ponsel (mobile banking).
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setahun terakhir banyak bermunculan bank yang menyebut dirinya sebagai bank digital. Padahal, belum tentu bank-bank tersebut memenuhi persyaratan sebagai bank digital. Pasalnya, bank digital tak sekadar memindahkan layanan perbankan konvensional ke ponsel cerdas.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, di tengah maraknya digitalisasi layanan perbankan, banyak perbankan yang mengklaim dirinya bank digital untuk menarik nasabah. Nyatanya, mereka hanya memberikan layanan mobile banking atau layanan perbankan dari ponsel.
”Banyak bank yang menggunakan kata digital sebagai gimik semata untuk menarik nasabah dan investor. Kata digital ini (dipakai) agar kelihatan canggih dan kekinian. Bank digital itu bukan sekadar mobile banking,” ujar Piter dalam webinar bertajuk ”Outlook Indonesia 2022: Menyambut Era Digital Finance”, Rabu (2/2/2022).
Piter menjelaskan, yang dimaksud dengan mobile banking sebatas pada layanan bank melalui aplikasi yang terpasang di ponsel pintar nasabah. Sementara bank digital tidak sekadar mobile banking dan punya arti dan fungsi yang lebih luas.
”Sebuah bank digital adalah bank yang memfasilitasi seluruh fungsi bank untuk bisa diakses cukup melalui layanan platform digital. Ini mulai dari fungsi kantor pusat, kantor cabang, anjungan tunai mandiri (ATM), kartu kredit, sistem pembayaran, dan lain-lain,” kata Piter.
Piter memproyeksikan transformasi bank konvensional menjadi bank digital akan terus berlanjut hingga 2030. Pada tahun itu, dia meramalkan seluruh bank adalah akan menjadi bank digital dan sudah tidak ada lagi bank konvensional yang bertemu fisik antara nasabah dan petugas layanan bank seperti hari ini.
Meski belum menjadi bank digital yang sempurna, imbuh Piter, transformasi digital perlu terus dilakukan perbankan karena sudah menjadi tuntutan zaman. Secara lebih luas, kehadiran bank digital bisa meningkatkan inklusi keuangan lantaran kemampuannya menjangkau segmen yang sebelumnya dinilai tidak bisa diberikan pinjaman bank (unbankable).
Salah satu perbankan yang memberikan layanan simpan dan pinjam secara digital di Indonesia adalah Amar Bank. Bank tersebut memiliki aplikasi bernama ”Tunaiku” untuk mendapatkan pinjaman dari bank yang diajukan secara digital dan aplikasi ”Senyumku” untuk menyimpan uang.
Direktur Utama Amar Bank Vishal Tulsian mengatakan, aplikasi perbankan digital itu difokuskan untuk memberikan pendanaan pada segmen usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Karena formatnya yang sederhana dan mudah diakses dari ponsel, aplikasi ini menjadi cara Amar Bank memperluas pasar bagi kelompok masyarakat yang masuk kategori unbankable.
”Kami tahu mereka membutuhkan bantuan pendanaan dari bank. Namun, karena berbagai kendala, mereka tak bisa mendapatkannya. Dengan akses bank digital, ini dapat membantu mereka mengatasi kendala tersebut dan bisa memperoleh pendanaan yang dibutuhkan,” kata Vishal.
Saat ini, aplikasi bank digital Amar Bank itu telah diunduh 7 juta kali dengan 10 juta pengguna. Dari jumlah pengguna tersebut 6,7 juta di antaranya telah mengajukan permintaan kredit.
Pengembangan aplikasi layanan digital juga dikembangkan oleh Bank Syariah Indonesia (BSI). Bank syariah dengan aset terbesar di Indonesia ini memiliki layanan BSI Mobile. Direktur Teknologi dan Informasi BSI Ahmad Syafii menjelaskan, aplikasi BSI Mobile adalah layanan perbankan digital yang melayani kebutuhan ekonomi dan keuangan syariah nasabah. Selain membuka rekening, BSI Mobile juga memberikan layanan seperti transfer zakat dan lain-lain.
Saat ini jumlah pengguna BSI Mobile mencapai 3,47 juta atau tumbuh 127 persen secara tahunan. Sepanjang 2021, aplikasi ini mencatat 124,54 juta transaksi dengan nilai mencapai Rp 150,84 triliun.