Topik-topik sederhana seputar dunia kerja banyak didiskusikan di media sosial, seperti membuat ”curriculum vitae” dan berkomunikasi yang profesional di tempat kerja. Peminatnya kebanyakan usia muda.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Hubungan di dunia kerja semakin kompleks dan tidak mudah dihadapi. Media sosial telah menjelma menjadi ruang publik yang terbuka untuk bercerita apa pun tentang remah-remah keseharian di dunia kerja. Berbagi saran dan solusi melalui permasalahan dunia kerja pun dilakukan oleh kreator konten.
Kreator konten digital bidang karier, Vina Andhiani Muliana Omar atau yang lebih dikenal sebagai Vina Muliana, mengatakan, berdasarkan pengalamannya, konten seputar tips membuat CV (curriculum vitae), wawancara kerja, sikap dan komunikasi kerja, serta meningkatkan karier selalu dicari. Konten mengenai pindah tempat kerja, mengetahui tempat kerja yang toxic, dan bagaimana mendapat atasan yang menyenangkan juga banyak ditonton ataupun dibaca.
”Saya banyak menerima permintaan tema konten. Saya juga banyak menerima direct message (DM) yang isinya tidak hanya request tema, tetapi juga permasalahan hubungan kerja yang sedang penonton/pengikut saya hadapi. DM saya telah menyerupai posko pengaduan,” ujar Vina saat ditemui di acara Tiktok Southeast Asia Impact Forum, Kamis (15/6/2023), di Jakarta.
Dari sisi profil penonton/pengikut akun, Vina menyebut kebanyakan berusia 18–24 tahun. Ada pula yang berlatar belakang pendidikan SMP -SMA/SMK dan pekerja yang telah berkarier selama lima tahun.
Vina menuturkan, suatu hari, dia pernah membuat konten seputar hal-hal apa saja yang harus dilakukan saat walk in interview dan berada di acara pameran bursa lowongan pekerjaan. Konten ini terbukti mendapat views sangat tinggi, termasuk dari penonton yang berlatar belakang usia sekolah menengah atas/kejuruan.
”Lulusan sekolah menengah atas/kejuruan termasuk penyumbang besar terhadap total angkatan kerja. Akan tetapi, berangkat dari pengalaman saya selama memproduksi konten, masih banyak anak muda tidak tahu harus ngapain (ketika masuk bekerja). Walaupun, pada akhirnya, informasi menghadapi dinamika dunia kerja bisa dipahami seiring durasi pengalaman bekerja seseorang,” kata Vina.
Kreator konten digital bidang public speaking, Teuku Daffa, juga kerap membagikan tips komunikasi di dunia kerja, khususnya terkait public speaking. Dia menganggap, komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting di dunia kerja, mulai dari saat sesi wawancara kerja, bekerja dalam tim, hingga promosi naik jabatan. Hal inilah yang dia duga semakin disadari oleh banyak calon ataupun sudah masuk bagian angkatan kerja.
”Di antara penonton konten ataupun pengikut akun saya merupakan anak remaja masih SMP dan SMA,” ujar Daffa, yang juga berprofesi sebagai praktisi public speaking sejak sembilan tahun lalu itu.
Mulanya, Daffa membuat konten public speaking dengan akun @daffaspeaks di Tiktok untuk iseng. Ini terjadi pada tahun 2021. Setahun kemudian, lantaran rutin dan rajin membuat perencanaan konten, penonton dan pengikutnya yang berlatar belakang pekerja bermunculan. Tema seputar public speaking bisa menyangkut intonasi, tips mengatasi grogi, dan sikap tubuh.
”Aku juga bahas tips public speaking untuk kebutuhan presentasi di depan atasan dan saat wawancara kerja. Aku mengembangkan konten bertema public speaking challenge. Jumlah penonton (view) bisa tembus sampai 6-8 juta per konten,” ucap Daffa.
Kurang pembekalan
Koordinator Divisi Advokasi dan Pendampingan Hukum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Jabodetabek, Setyo A Saputro, saat dihubungi Minggu (18/6/2023), di Jakarta, berpendapat, sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya lebih berorientasi mencetak pekerja dibandingkan pemikir.
Kendati demikian, institusi pendidikan masih sering luput mengajarkan hal-hal teknis yang harus dikuasai oleh pekerja. Mengenai pembuatan CV dan public speaking, misalnya. Padahal, kedua hal itu merupakan kemampuan dasar seorang pekerja yang seharusnya dimiliki ketika akan masuk ke pasar kerja.
”Begitu pula mengenai hak-hak pekerja. Kampus ataupun institusi sekolah menengah tidak pernah memberikan pembekalan pengetahuan atau menyinggung hal tersebut,” ujar Setyo.
Realitas tersebut, imbuh Setyo, sebagai pemicu maraknya konten digital seputar ketenagakerjaan, mulai dari tips membuat CV, public speaking di tempat kerja, hingga cara menghadapi budaya kerja di suatu perusahaan. Konten seperti itu tidak hanya muncul di media massa daring, tetapi juga media sosial. Peminatnya sebagian besar merupakan angkatan kerja usia muda.
Sekretaris Daerah Federasi Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Niba KSPSI) Dedeh Farihah, saat dihubungi terpisah, menyampaikan pandangan senada. Karena tidak dibekali pengetahuan, kemampuan dasar bertahan di dunia kerja, dan pemahaman hak-hak pekerja, angkatan kerja muda akhirnya memiliki kepercayaan diri yang rendah.
”Dengan mencari tahu secara mandiri di media sosial, misalnya seputar tips membuat CV, wawancara kerja, dan public speaking di tempat kerja, mereka berharap kepercayaan dirinya naik. Dari sisi kreator konten dan pemengaruh di bidang sumber daya manusia, mereka memanfaatkan kondisi tersebut sebagai peluang kreatif,” kata Dedeh.
Menurut Dedeh, serikat pekerja sebenarnya punya peran untuk menjembatani kebutuhan angkatan kerja muda itu. Misalnya, memberikan kelas atau workshop yang melibatkan mahasiswa sampai lulusan baru dengan cara menggandeng kampus.
Sementara itu, pemerhati budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, berpendapat, media sosial telah berkembang sebagai ruang untuk memediasi berbagai macam urusan, termasuk ketenagakerjaan. Media sosial juga telah tumbuh sebagai ruang yang mengisi peluang yang di dunia luring tidak marak, seperti membuat CV secara profesional.
”Jumlah angkatan kerja produktif di Indonesia besar. Apabila ada kreator konten yang memproduksi konten ketenagakerjaan, mereka punya peluang pasar (bisnis) yang besar,” tutur Firman.