Selain terus memantau perkembangan dan proses, PTBA juga berkoordinasi dengan pemerintah agar proyek ”coal to DME” bisa berjalan dengan baik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Mundurnya perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products, dari dua proyek gasifikasi batubara di Indonesia seakan menegaskan belum menarik dan ekonomisnya energi alternatif itu dari sisi bisnis. Proyek pun reset atau diatur ulang. Di sisi lain, substitusi elpiji haruslah dipikirkan.
Kepastian mundurnya Air Products dari proyek hilirisasi batubara di Indonesi telah disampaikan pada akhir Maret 2023 lalu. Melalui laman resmi perusahaan pada Kamis, 23 Maret 2023, Air Products mengonfirmasi tidak lagi terlibat di proyek gasifikasi batubara manapun di Indonesia.
Sebelumnya, Air Products terlibat dalam dua proyek gasifikasi batubara di Indonesia, yakni batubara ke dimetel eter (DME) sebagai pengganti elpiji di Sumatera Selatan dan batubara ke metanol di Bengalon, Kalimantan Timur. Bahkan, peletakan batu pertama proyek DME di Sumsel, yang digarap bersama PT Bukit Asam Tbk dan Pertamina, diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Januari 2022.
Tiga bulan berselang, PT Bukit Asam (PTBA) masih mencari pengganti Air Products. ”Kami tetap komitmen dengan apa yang ditugaskan pemerintah. Kami sudah melakukan penjajakan dengan calon investor atau peminat dari luar negeri,” ujar Direktur Utama PTBA Arsal Ismail setelah rapat umum pemegang saham (RUPS) PTBA di Jakarta, Kamis (15/5/203).
Ia menambahkan, perusahaan yang sedang dijajaki tersebut berasal dari China. Selain terus memantau perkembangan dan proses, PTBA juga berkoordinasi dengan pemerintah agar proyek coal to DME bisa berjalan dengan baik. Apalagi, dari aspek sumber daya, PTBA memiliki cadangan batubara hampir 3 miliar ton.
Arsal juga mengakui dampak perubahan timeline proyek coal to DME dengan hengkangnya Air Products. ”Tentu harus kami jadwal ulang lagi. Kemarin, kan, sudah membuat (timeline) pembangunan sekitar 3-4 tahun, dengan investor baru start (ke awal lagi). Tapi, tidak awal banget, karena, kan, sudah ada yang dimulai,” katanya.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelum Air Products mundur, proyek coal to DME di Sumsel ditargetkan beroperasi komersial pada triwulan IV-2027. Dari proyek itu akan diproduksi DME sebanyak 1,4 juta ton per tahun dengan bahan baku batubara 6 juta per tahun.
Ketergantungan pada elpiji
Dimulainya proyek gasifikasi batubara menjadi DME sebenarnya sempat membawa harapan akan hadirnya energi alternatif sebagai pengganti elpiji. Presiden Jokowi, dalam peletakan batu pertama proyek DME di Muara Enim, Sumsel, tahun lalu, menyatakan harapannya akan itu. Menurutnya, gasifikasi batubara ke DME diperkirakan bisa mengurangi subsidi elpiji sekitar Rp 7 triliun per tahun. Jika semua impor elpiji bisa dihentikan dan diganti DME, efisiensi APBN bisa Rp 60 triliun-Rp 70 triliun.
Bahkan, Presiden pun gemas dengan proyek gasifikasi batubara karena sebenarnya sudah diminta untuk segera direalisasikan sejak enam tahun lalu. ”Ada yang nyaman dengan impor. Rutinitas terus, impor, impor, dan impor. Tidak berpikir negara dirugikan, rakyat dirugikan karena tak terbuka lapangan kerja,” sindir Presiden.
Dengan mundurnya Air Products, Indonesia pun harus menunggu lebih lama proyek gasifikasi batubara dapat terwujud. Kendati demikian, beberapa waktu lalu Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan gasifikasi batubara ke DME, bagaimanapun, harus tetap berjalan meski Air Products telah mundur.
Belum ekonomis
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, ada sejumlah kondisi berkait dengan gasifikasi batubara ke DME. Dari sisi pengusaha batubara, saat ini mereka masih akan lebih memilih untuk menjual apa adanya (mentah) saat penambahan nilainya belum menguntungkan jika diolah lebih dulu.
Namun, dari sisi ketahanan dan keamanan energi, gasifikasi batubara sejatinya hal bagus. ”Kalau keamanan energi ini dikontrol 100 persen oleh pemerintah, bisa. Tapi, masalahnya, BUMN batubara kita kan hanya sedikit (dibandingkan seluruh perusahaan). Mungkin sekitar 80-90 persen itu non-BUMN,” kata Komaidi.
Ia mencontohkan, perkembangan DME di China sebenarnya sempat masif, tetapi saat ini banyak kilang yang menganggur (idle). Pasalnya, DME akan kompetitif jika harga elpiji naik signifikan. Namun, saat harga elpiji normal, orang-orang lebih memilih kembali ke elpiji.
Bersamaan dengan itu, pemanfaatan potensi gas alam juga mesti dipacu. ”Sebetulnya yang sangat potensial (sebagai substitusi elpiji) ialah gas alam. Perlu ada lompatan seperti membangun infrastruktur masif melalui pipa-pipa ke perumahan,” tuturnya.
Hengkangnya Air Products memang berbeda dengan kasus mundurnya Shell dari proyek Abadi Masela, yang relatif sudah tinggal menjalankan proyek. Namun, hal itu tetap mesti menjadi catatan agar tidak terulang. Ketahanan energi sewaktu-waktu bisa goyah jika masih berada di zona nyaman impor elpiji.