Faktor keekonomian hilirisasi batubara dipengaruhi oleh harga komoditas tambang tersebut. Namun, komitmen transisi energi di Indonesia tetap harus dijalankan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga batubara dapat memengaruhi program hilirisasi batubara menjadi dimetil eter sebagai pengganti elpiji. Selain godaan untuk mengekspor lantaran harganya sedang tinggi, ongkos hilirisasi batubara menjadi dimetil eter bisa turut membengkak. Namun, peningkatan nilai tambah batubara tetap penting dalam jangka panjang.
”Problemnya, konversi batubara ke dimetil eter (DME) itu teknologinya mahal dan juga bergantung pada harga batubara. Saat harga batubara tinggi, tentu biaya produksi (konversi batubara ke DME) juga tinggi,” ujar Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, dalam webinar ”Proyeksi Tantangan Komoditas Strategis Minyak Bumi dan Batubara di Indonesia”, Jumat (3/2/2023), di Jakarta.
Dengan kondisi harga batubara yang relatif tinggi, imbuh Dendi, program hilirisasi sulit terlaksana dengan cepat. Namun, riset tentang peningkatan nilai tambah batubara tetap penting untuk jangka menengah dan panjang.
”Ketika energi terbarukan sudah masif dan harga batubara turun, di situlah hilirisasi menjadi kunci. Batubara bisa dipakai dan hilirisasi menjadi layak,” ucapnya.
Di sisi lain, Dendi menilai Indonesia harus tetap berkomitmen dengan agenda transisi energi, tetapi tidak perlu di bawah tekanan. Sebab, kenyataannya negara-negara Eropa ataupun Amerika Serikat tingkat konsumsi batubaranya tinggi meski berkomitmen dalam transisi energi.
”China menjadi yang terbesar dari produksi dan konsumsi, kemudian India. AS konsumsinya sekitar 600 juta ton (per tahun) dan Jerman 300 juta ton, sedangkan Indonesia sekitar 160 juta ton. Dengan data itu, harusnya kita memiliki kepercayaan diri cukup kuat dalam bargaining (terkait transisi energi) di dunia internasional,” kata Dendi.
Sejak pertengahan 2021, harga batubara menanjak seiring meningkatnya permintaan global lantaran ekonomi yang pulih dari pandemi Covid-19. Catatan Trading Economics menunjukkan, puncaknya terjadi pada 5 September 2022, yang harganya mencapai 457 dollar AS per ton.
Tetap dibutuhkan
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menuturkan, terkait peta jalan energi di Indonesia, batubara akan tetap dimanfaatkan, tetapi diupayakan untuk tidak menghasilkan emisi tinggi. Pemanfaatan biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara (co-firing) terus dilakukan.
Sementara itu, pada 2026-2030, akan ada implementasi dari pemanfaatan batubara dengan teknologi bersih (clean coal technology/CCT). Berikutnya juga diupayakan agar bisa dilengkapi dengan teknologi penangkapan, penyimpanan, dan utilisasi karbon (CCS/CCUS), meskipun membutuhkan biaya tinggi terkait teknologinya.
”Pada 2030-2045, industri berbasis batubara akan menjadi solusi ketahanan dan kemandirian energi. Misalnya, memanfaatkan batubara untuk gas, metanol, dan DME sebagai pengganti elpiji. (Selanjutnya), pemanfaatan batubara akan terus turun seiring skenario emisi nol bersih di 2060. Dalam hitungan kami, puncaknya itu pada 2035,” kata Djoko.
Saat ini ada dua proyek gasifikasi batubara yang menjadi proyek strategis nasional (PSN), yakni coal to DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, oleh PT Bukit Asam dan coal to methanol di Kalimantan Timur. Keduanya diharapkan menjadi pionir gasifikasi batubara, baik untuk kemandirian energi dan industri maupun pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Lana Saria mengatakan, sudah banyak perencanaan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah batubara. Ada yang sudah ground breaking, tetapi sebagian lagi masih dalam tahap perencanaan.