Indeks Kepercayaan Industri atau IKI melambat dalam tiga bulan terakhir meskipun masih berada di zona ekspansif. Situasi itu sejalan dengan Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia yang turun pada Mei 2023.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melambatnya Indeks Kepercayaan Industri atau IKI dalam tiga bulan terakhir perlu direspons dari dua sisi, yakni penawaran dan permintaan. Dari sisi suplai, insentif diperlukan untuk mendongkrak kinerja industri yang masih kesulitan dalam pemulihan. Di sisi lain, daya beli masyarakat mesti tetap dijaga.
Menurut data Kementerian Perindustrian, IKI Mei 2023 sebesar 50,9 atau masih berada di zona ekspansi atau optimistis (lebih dari 50). Akan tetapi, angka tersebut melanjutkan tren penurunan IKI. Pada Februari 2023, IKI tercatat 52,32. Pada Maret sebesar 51,87 dan April 51,38.
Penurunan IKI pada Mei 2023 diakibatkan penurunan 2,07 poin pada variabel Produksi menjadi 50,01 dan penurunan 0,73 poin pada variabel Pesanan Baru menjadi 49,84. Sementara variabel Persediaan Produk meningkat 2,67 poin, menjadi 54,90. Adapun pesanan domestik jadi faktor dominan dalam Pesanan Baru.
Situasi itu sejalan dengan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) manufaktur Indonesia yang dipublikasikan S&P Global. Pada Mei 2023, PMI Indonesia di posisi 50,3 atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, 52,7. Kendati menurun, PMI Indonesia masih dalam kondisi ekspansif.
Perlambatan IKI dan PMI lebih pada penyesuaian terhadap permintaan di dalam negeri. Sementara pada faktor eksternal dipengaruhi situasi global.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, dihubungi di Jakarta, Jumat (16/6/2023), menilai, dari faktor internal, perlambatan IKI dan PMI lebih pada penyesuaian terhadap permintaan di dalam negeri. Sementara pada faktor eksternal dipengaruhi situasi global.
”Khususnya pada PMI manufaktur, penurunan karena adanya ketergantungan pada pangsa pasar mereka yang ekspor. Lalu, proses pemulihan ekonomi beberapa negara, termasuk China, ternyata tidak sebaik yang diharapkan sebelumnya sehingga permintaan barang dari China pun melambat,” ujar Yusuf.
Dalam merespons tren penuruan itu, menurut Yusuf, upaya menjaga iklim bisnis di dalam negeri dinilai penting. Di sisi penawaran, hal ini dilakukan dengan meningkatkan kinerja industri manufaktur. Sektor-sektor industri yang belum mampu bangkit bisa diberi bantuan. Misalnya, pemberian insentif pajak hingga akhir tahun jika memang benar-benar dibutuhkan.
Sementara dari sisi permintaan, daya beli masyarakat perlu dijaga. Dengan demikian, permintaan domestik terhadap beragam produk diharapkan dapat terjaga. Upaya menjaga daya beli masyarakat itu, antara lain, dapat dilakukan dengan bantuan sosial ataupun menjaga agar inflasi tidak terlalu tinggi.
”Sebenarnya, tren inflasi saat ini sedang melandai. Namun, tidak boleh dilupakan hingga akhir tahun nanti ada potensi inflasi meningkat akibat El Nino. Ini berpotensi berdampak pada kenaikan harga beberapa pangan strategis. Jika tak dimitigasi di awal, akan berdampak dan muaranya ialah inflasi secara umum,” kata Yusuf.
Karakter pasar
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Wahyu Widodo, menuturkan, sejak beberapa bulan lalu, memang sudah ada peringatan kemungkinan pelemahan ekonomi global, yang bakal berimbas ke domestik. Permintaan global menurun di pasar-pasar utama, termasuk China dan Uni Eropa.
”Faktor global ini tidak bisa terhindarkan, terutama kaitannya dengan komoditas yang berorientasi ekspor. Apalagi, secara tradisional, market intelligence (kecerdasan pemasaran) Indonesia masih terbilang kurang jika dibandingkan negara seperti China. Mereka sangat agresif dalam penetrasi pasar,” katanya.
Sejumlah upaya dalam meningkatkan penetrasi pasar, dinilai Wahyu, sebenarnya sudah ada. ”Dari sisi bisnis, orang pasti mencari pasar baru. Namun, harus diikuti assessment mendalam terkait perilaku konsumen di negara tujuan. Kita bukan kalah pada kualitas produk, tetapi bagaimana membaca karakter permintaan dari negara-negara yang akan kita tuju. (Peningkatan) market intelligence ini memang butuh waktu,” lanjut Wahyu.
Gairahkan pasar
Sementara itu, Ketua Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan mengatakan, IKI sejalan dengan PMI. Adapun sejumlah faktor yang memengaruhi nilai PMI ialah permintaan atau pemesanan baru, produksi, daya beli, dan ketersediaan stok.
”Menurunnya PMI pada 2023 alasannya jelas, yakni menurunnya permintaan, baik ekspor maupun domestik. (Faktor) ekspor sudah ketahuan karena negara-negara yang biasanya kita minta (tuju) menurun, terutama Amerika Serikat, Eropa, dan China. Namun, penurunan ini paling banyak karena domestik,” ucapnya.
Akan tetapi, Johnny belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan penurunan permintaan domestik. ”Apakah (penurunan) daya beli, adanya kejenuhan, atau yang lain,” katanya.
Dalam meningkatkan kinerja manufaktur, menurut Johnny, harus dicari pasar-pasar baru, antara lain dengan keikutsertaan di event-event di luar negeri. Sementara untuk domestik, perlu ada insentif atau dukungan lainnya agar orang bisa membeli dan memakai produk, yang membuat pasar bergairah.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menuturkan, kenaikan harga gas untuk tujuh bidang industri (mulai Mei 2023), yang sebelumnya dipatok 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), bisa berdampak. Apalagi, pada 2022 juga sudah ada kenaikan harga bahan bakar minyak.
Pasalnya, komponen biaya energi mencapai 30 persen dari total biaya produksi. Efisiensi-efisiensi baru pun akan dicari di tengah melemahnya daya beli masyarakat dan derasnya produk impor yang masuk. ”Asaki mengharapkan adanya akselerasi belanja pemerintah di tengah menurunnya permintaan pasar,” kata Edy.
Jaga optimisme
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam pembukaan rapat kerja Kementerian Perindustrian 2023 di Jakarta, Jumat (16/6/2023), mengatakan, perlambatan PMI Indonesia maupun IKI dapat menjadi alarm dalam melihat kinerja makro industri. Menurut dia, pertumbuhan ekspor masih sangat baik, tetapi cenderung melambat.
Pihaknya pun menyiapkan rencana aksi strategis, baik dalam jangka pendek maupun menengah. ”(Itu) untuk meningkatkan kembali daya saing dan produktivitas sektor industri. Harapannya, kontribusi sektor industri terhadap PDB (produk domestik bruto) bisa kembali mencapai 20 persen,” kata Agus.
Agus menambahkan, kendati melambat, survei IKI menunjukkan 66,2 persen pelaku usaha optimistis terhadap kondisi perekonomian dan industri manufaktur. ”Mereka percaya global market akan pulih dan mengapresiasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Kita akan memelihara dan membuktikan yang 66,2 persen (optimistis) itu benar,” lanjutnya.