Larangan Ekspor Bauksit Berpotensi Timbulkan Proteksionisme Negara Lain
Kebijakan melarang ekspor mineral mentah dapat mendorong hilirisasi sehingga dapat memberikan nilai tambah produksi. Namun, keputusan ini dapat berdampak pada proteksi dagang negara lain.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan larangan ekspor bijih bauksit berpotensi mendorong langkah proteksionisme dari negara mitra dagang utama Indonesia. Walakin, pelaku industri optimistis jika kebijakan larangan ekspor bauksit akan memberikan dampak positif di masa mendatang.
Pada 10 Juni 2023, pemerintah resmi memberlakukan larangan ekspor bijih bauksit. Kebijakan tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Ketentuan ini mengatur ekspor produk mineral logam mentah hanya dapat dilakukan paling lama tiga tahun setelah aturan berlaku.
Melalui larangan ekspor tersebut, pemerintah hendak mendorong pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri (hilirisasi). Berkaca dari larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020, pemerintah memperhitungkan mampu meningkatkan nilai ekspor nikel hingga 19 kali lipat.
Wakil Direktur Utama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Jahen Fachrul Rezki mengemukakan, larangan ekspor tersebut berisiko menimbulkan potensi balasan atau retaliation dari negara mitra dagang utama Indonesia berupa proteksionisme. Proteksionisme atau proteksi dagang adalah kebijakan suatu negara untuk membatasi persaingan atau mengetatkan perdagangan dengan negara lain.
”Pemerintah perlu berhati-hati dengan hilirisasi ini karena setiap komoditas punya karakteristik tersendiri. Jika Indonesia bukan pemain utama untuk komoditas yang akan dihilirisasi, sulit untuk bisa bersaing dengan produk negara lain. Belum lagi, respons dari negara lain atas aksi Indonesia ini juga akan memberikan dampak buruk, khususnya bagi konsumen dan produsen dalam negeri,” ujar Jahen ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Saat ini, lebih dari 90 persen bahan baku dan barang modal untuk produksi di Indonesia berasal dari impor. Jika negara mitra dagang Indonesia menerapkan kebijakan proteksionisme pada beberapa komoditas utama impor Indonesia, kinerja industri domestik akan terdampak. Menurut Jahen, kebijakan proteksionisme yang dilakukan Indonesia bukan satu-satunya jalan untuk mendorong hilirisasi dan tidak semua komoditas harus dihilirisasikan.
Sebaiknya, pemerintah menyiapkan kebijakan hilirisasi dan investasi sektor hilir di setiap sektor mineral mentah secara matang terlebih dahulu sembari memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok global.
Di sisi lain, minat investasi pada pengolahan bauksit sebagai bahan dasar aluminium belum setinggi investasi pada pengolahan nikel. Laporan penelitian LPEM FEB UI bertajuk Larangan Ekspor Mineral Indonesia dan Implikasinya yang dipublikasikan pada Juni 2023 menyebutkan, Indonesia bukanlah eksportir utama bauksit di pasar global.
Berdasarkan market share bauksit di pasar global pada 2022, Indonesia berkontribusi sebesar 9 persen atau berada di posisi ketiga setelah Guinea sebesar 71 persen dan Australia sebesar 11 persen.
United States Geological Survey (USGS) memperkirakan, cadangan bauksit global mencapai 55 miliar metrik ton hingga 75 miliar metrik ton. Pada 2022, Indonesia tercatat memproduksi sekitar 21 juta metrik ton bauksit atau berada di posisi kelima setelah Australia, China, Guinea, dan Brasil.
Jahen menambahkan, saat ini, baru ada beberapa perusahaan China yang tertarik berinvestasi membangun smelter bauksit untuk memproduksi alumina di Indonesia, seperti Shandong Nanshan Aluminium Limited. Diketahui, Shandong Nanshan akan memperluas pabrik alumina barunya di Pulau Bintan dengan membangun kompleks peleburan aluminium senilai 6 miliar dollar AS pada tahun 2028.
Lebih lanjut, pembangunan fasilitas pengolahan bauksit tidak berjalan sesuai harapan dan belum memadai. Dari delapan smelter yang sedang dibangun, tujuh di antaranya masih berupa tanah.
”Sebaiknya, pemerintah menyiapkan kebijakan hilirisasi dan investasi sektor hilir di setiap sektor mineral mentah secara matang terlebih dahulu sembari memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok global. Fokus dulu pada pengembangan sektor yang punya kekuatan atau competitive advantage. Di sisi lain, perbaikan infrastruktur, struktur industri, perbaikan iklim usaha, dan isu kelembagaan juga tetap harus terus dijalankan,” tutur Jahen.
Beberapa upaya persiapan itu antara lain meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), memberikan berbagai insentif fiskal untuk pelaku usaha yang ingin melakukan hilirisasi, menarik investasi yang dapat memberikan transfer pengetahuan dan alih teknologi, serta memastikan pasokan bahan baku domestik yang berkualitas dan memadai.
Dengan memberlakukan kuota atau kadar tertentu yang dapat diekspor, lanjut Jahen, pemerintah dapat memastikan pasokan bahan baku domestik yang berkualitas. Selain itu, penerimaan negara juga dapat lebih optimal dengan menerapkan pengenaan bea ekspor sehingga mekanisme ekspor mineral mentah lebih terkontrol. Hal ini antara lain diterapkan pula untuk ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Jangka panjang
Direktur Utama PT Antam Tbk Nicolas D Kanter menyebutkan, pihaknya mendukung kebijakan pemerintah kendati berpengaruh pada kinerja perusahaan. Larangan ekspor bauksit memang berdampak bagi kinerja perusahaan dalam jangka pendek, tetapi cukup menjanjikan dalam jangka panjang.
”Kami akan mendukung kebijakan ini. Secara jangka panjang akan berdampak positif bagi Indonesia dan Antam. Meski berdampak dalam jangka pendek, kami optimistis akan berdampak positif bagi Indonesia dan Antam dalam jangka panjang,” kata Nicolas kepada wartawan dalam Konferensi Pers Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan, di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Antam Tbk Elisabeth RT Siahaan menjelaskan, pelarangan ekspor bauksit tidak begitu berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan. Sebab, sebagian besar pendapatan Antam ditopang oleh hasil penjualan emas, nikel, dan feronikel.
Pada triwulan I-2023, total penjualan bersih Antam tercatat sebesar Rp 11,59 triliun, atau meningkat 19 persen dibandingkan kuartal I-2022 sebesar Rp 9,75 triliun. Berdasarkan segmentasi komoditas, penjualan emas menjadi kontributor terbesar dengan total penjualan bersih sebesar Rp 7,01 triliun atau mencapai 60 persen, disusul bijih nikel Rp 2,98 triliun, feronikel sebesar Rp 1,20 triliun, serta bauksit dan alumina sebesar Rp 326 miliar.
”Kontribusi bauksit pada Antam relatif kecil, yakni di bawah 3 persen. Dengan demikian, larangan ekspor bauksit tidak berpengaruh pada kinerja perusahaan secara menyeluruh di tahun 2023,” ujarnya.
Terkait dengan hilirisasi, Elisabeth optimistis jika pasar domestik mampu menyerap hasil produksi hilirisasi mineral. Berdasarkan laporan keuangan Antam pada triwulan I-2023, penjualan bersih domestik menjadi penyumbang dominan sebesar Rp 10 triliun atau 86 persen dari total penjualan bersih.
Elisabeth menambahkan, Antam menargetkan belanja modal pada tahun ini sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 14 triliun dalam rangka pengembangan baterai kendaraan listrik. Namun, pada triwulan I-2023, realisasi belanja modal masih tergolong rendah, yakni Rp 300 miliar hingga Rp 400 miliar. Menurut dia, anggaran tersebut akan mulai terealisasi pada semester kedua.