Soal Larangan Ekspor Bauksit, Ketegasan dan Pengawasan Ketat Diperlukan
Arah hilirisasi yang jelas dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk melaksanakan amanat undang-undang terkait larangan ekspor mineral mentah. Selama ini, pemerintah dinilai kurang tegas dalam penerapan kebijakan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan ekspor bauksit, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, akan berlaku mulai 10 Juni 2023. Dalam pelaksanaannya, ketegasan pemerintah dinilai perlu, tetapi hal itu harus diikuti arah hilirisasi yang jelas dan pengawasan yang kuat.
Sebelumnya, pada Desember 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan bakal menghentikan ekspor bauksit dalam rangka peningkatan nilai tambah komoditas itu mulai Juni 2023. Hal tersebut menjadi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 yang dimaksudkan agar ada peningkatan nilai tambah mineral mentah. Pemerintah ingin keberhasilan hilirisasi nikel diikuti mineral logam lain.
Aturan mengenai kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral oleh pengusaha sejatinya sudah diatur dalam UU No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba (sebelum diubah menjadi UU No 3/2020). Mineral logam agar sepenuhnya diolah di dalam negeri. Namun, situasi yang terus terjadi ialah pemberian relaksasi larangan ekspor karena ketidaksiapan fasilitas itu.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (3/6/2023), berpendapat, pemerintah harus menjalankan amanat UU tersebut. Selama ini, ada kecenderungan pemerintah kurang tegas dan konsisten dalam menerapkan kebijakan itu.
Akan tetapi, melihat kenyataan yang ada, fasilitas pemurnian dan pengolahan bauksit memang tidak siap. ”Oleh karena itu, arah peta jalan pengolahan dan pemurnian yang konsisten diperlukan, selain perusahaan dengan progres pembangunan fasilitas yang lebih baik perlu didahulukan,” ujar Akmaluddin.
Ia menambahkan, untuk memastikan penyelesaian pembangunan fasilitas pemurian mineral logam di dalam negeri, diperlukan payung hukum dan penegakan hukum yang tegas. Langkah itu akan menjadi dasar untuk memberikan kesempatan penjualan hasil pengolahan mineral. Artinya, perusahaan yang memiliki keseriusan akan mendapat kesempatan lebih besar. Pengawasan harus berjalan.
Menurut Akmaluddin, besarnya modal yang dibutuhkan dalam membangun fasilitas pemurnian bauksit memang menjadi salah satu tantangan. ”Sebaiknya pemerintah membuat badan usaha atau konsorsium yang berfokus pada upaya percepatan penyelesaian pembangunan pemurnian/smelter. Dengan demikian, sirkular dan keberlanjutan ekonomi bisa terwujud,” katanya.
Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya memastikan hanya ada lima smelter dari empat badan usaha yang telah membangun fasilitas pemurnian konsentrat mineral logam atau smelter, dengan kemajuan lebih dari 50 persen per Januari 2023. Dari kelima smelter itu, tak ada komoditas bauksit.
Menteri ESDM Arifin Tasrif, dalam beberapa kesempatan, mengatakan, dari tinjauan langsung ke lapangan, kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian/pengolahan bauksit tidak sesuai harapan. Bahkan, dari delapan smelter yang sedang dibangun, tujuh di antaranya masih berupa tanah lapang.
Hal itu pula yang membuat bauksit tak masuk dalam daftar komoditas yang izin ekspornya akan diperpanjang hingga Mei 2024. Pelonggaran itu terbatas pada komoditas tembaga, besi, timbal, seng, dan lumpur anoda hasil pemurnian tembaga. Itu pun dengan catatan kemajuan pembangunan smelter yang sudah di atas 50 persen per Januari 2023.
Sebelumnya, dalam diskusi publik yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (31/5/2023), Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto menuturkan, pihaknya ragu bahwa pelarangan ekspor akan berdampak pada hilirisasi. Menurut dia, keduanya tak paralel.
Dia mengatakan, tidak sejalannya larangan ekspor dan hilirisasi di masa lalu bisa berulang. ”Pada UU Nomor 4 Tahun 2009, (diatur) ekspor di-banned pada 2014 (lima tahun sejak UU berlaku). Namun, apa yang terjadi saat itu? Dari 70 lebih pemegang IUP (izin usaha pertambangan) dan 40 lebih pemegang RKAB (rencana kerja dan anggaran biaya), hanya satu yang merealisasikan,” kata Ronald.
Ronald menambahkan, salah satu kendala terbesarnya adalah mahalnya biaya pembangunan fasilitas pemurnian/pengolahan. Selain itu, pemurnian bauksit tidak mudah karena tak ada tahapan lain selain langsung menjadi alumina. Alumina pun sudah 99 persen untuk diolah lebih lanjut menjadi aluminium.
”Kalau pengusaha, sebagai pemegang kendali usaha, diserahi tugas yang berat tanpa ada bantuan pemerintah, rasanya tak masuk akal (bisa berhasil). Pengusaha seharusnya dibina karena bagaimanapun, (saat) pengusaha besar nantinya negara akan ikut menikmati hasilnya,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Center Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho berpendapat, dalam hilirisasi bauksit, masih perlu tahapan sebelum langsung menerapkan larangan ekspor. Biaya pembangunan smelter bauksit mahal, tetapi tak ada pemberian fasilitas kredit murah.
”Kita sebetulnya bisa melakukan larangan ekspor terbatas melalui pengenaan bea ekspor sehingga ada mekanisme kontrol untuk ekspor komoditas mentah dalam hal ini bauksit. Di saat bersamaan, negara juga mendapat penerimaan dari situ. Jadi, perlahan-lahan kita bisa memberikan insentif untuk meningkatkan industrialisasi atau hilirisasi (bauksit) di dalam negeri,” kata Andry.