Banyak kendala dalam program hilirisasi mineral di dalam negeri, seperti pembiayaan, energi, lahan, dan perizinan. Oleh karena itu, tahapan program hilirisasi mesti jelas dan terpadu dari hulu ke hilir.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan yang proporsional, kemampuan serapan di dalam negeri, dan kepentingan jangka panjang menjadi tiga hal yang mesti dipertimbangkan dalam kebijakan hilirisasi mineral. Kepastian arah hilirisasi harus jelas sehingga tarik ulur kebijakan tidak terulang kendati larangan ekspor mineral mentah per Juni 2023 sudah sesuai amanat undang-undang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan secara resmi melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Di sisi lain, ada sekitar 20 juta ton bijih bauksit yang terancam tak terserap jika kebijakan itu diterapkan. Adapun pemerintah masih berpegang pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terkait larangan tersebut.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Resvani, Senin (27/2/2023), di Jakarta mengatakan, kesiapan fasilitas dan industri, baik dari bauksit menjadi alumina maupun lebih hilir lagi, yakni dari alumina menjadi aluminium, perlu disiapkan dengan lebih cepat. Hal tersebut mesti dipastikan supaya ada arah yang jelas dalam tahapan hilirisasi.
”Lalu, dipersiapkan juga sektor lebih hilir lagi, yakni produk yang siap digunakan untuk masyarakat. Hal-hal seperti itu perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan timeline (lini masa) dari pelarangan ekspor untuk setiap tingkatan produk,” kata Resvani.
Melihat pengaturan dalam UU No 3/2020, menurut Resvani, segala ketentuan mengenai hilirisasi mineral belum terperinci. Begitu juga aturan turunan dari UU tersebut. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktepatan kalkulasi di awal dalam kebijakan hilirisasi, yang membuat adanya relaksasi-relaksasi ekspor bijih.
Menurut Resvani, kebijakan yang holistik terkait hilirisasi saat ini menjadi penting dengan berorientasi pada tahapan yang jelas disertai komitmen dalam menjalankannya. ”Tidak bisa tiba-tiba distop (ekspor bijih), karena (industri) bisa mati. Harus tetap menimbang keberlanjutan kegiatan pertambangan. Tidak apa-apa diekspor, misalnya, tetapi dikenai bea keluar,” ujar Resvani.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif dalam lokakarya ”Mining for Journalist” oleh Perhapi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (25/2), mengatakan, produksi bauksit pada 2022 sebanyak 27,7 juta ton dari 50 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan. Dari jumlah itu, serapan pabrik pemurnian untuk menjadi alumina baru 7,8 juta ton.
Saat ini ada tiga fasilitas pemurnian yang sudah beroperasi. ”Sebanyak delapan unit sedang berproses (pembangunan). Ada yang melaporkan kemajuannya sudah 50 persen, 30 persen, 18 persen. Menteri memerintahkan untuk meninjau ke lapangan, (ternyata) masih tanah. Ada satu memang yang melaporkan dan (sudah) ada kemajuan,” kata Irwandy.
Pada akhirnya, lanjut Irwandy, mereka yang bersungguh-sungguh untuk memenuhi janji membangun fasilitas pemurnian yang akan mendapat hak ekspor. Sebab, sebelumnya sudah ada janji akan menyelesaikannya pada Juni 2023. Apabila tidak selesai, izin penambangan tetap berlangsung, tetapi tidak bisa ekspor sehingga hanya bisa memasok ke fasilitas pemurnian di dalam negeri.
Empat kendala
Irwandy mengemukakan, di tengah perjalanan dalam membangun fasilitas pemurnian tersebut, secara umum ada empat kesulitan yang dihadapi, yakni finansial, energi, lahan, dan perizinan. Namun, menurut dia, pemerintah juga sudah pernah memfasilitasi pertemuan dengan perbankan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Kementerian Perindustrian, dan Kementerian ESDM.
Mengenai potensi adanya sekitar 20 juta ton bijih bauksit yang tidak terserap karena belum siapnya fasilitas pemurnian, menurut Irwandy, pemerintah hingga kini tetap berpegang pada UU No 3/2020. Artinya, larangan ekspor tetap akan diberlakukan.
Sebelumnya, Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia Ronald Sulistyanto mengatakan, larangan ekspor bauksit memang amanat UU. Namun, perlu ada kejelasan saat ada produksi, tetapi tidak dapat dijual. Ada potensi timbul masalah lain karena sudah banyak tenaga kerja yang terlibat.