Keberadaan satelit Satria-1 diperuntukkan untuk akses internet bagi pusat-pusat layanan publik di desa yang belum terlayani atau sudah terlayani internet, tetapi tidak maksimal. Satelit ini tidak dikomersialkan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
MEDIANA
Satelit Satria-1 akan resmi meluncur pada Senin (19/6/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Satelit Republik Indonesia atau Satria-1 dijadwalkan meluncur pada Senin (19/6/2023) waktu di Indonesia, di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat. Satelit hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan PT Satelit Nusantara Tiga ini baru bisa dimanfaatkan pada awal Januari 2024. Kementerian Komunikasi dan Informatika menegaskan bahwa peruntukkannya hanya untuk layanan publik pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan keamanan di daerah perbatasan.
”Peluncuran Satria-1 bertujuan untuk pemerataan pembangunan di pusat-pusat layanan publik yang terletak di desa-desa yang tidak dapat dijangkau oleh infrastruktur jaringan telekomunikasi berupa fiber optik. Kami berharap satelit ini mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat yang belum terlayani atau sudah terlayani internet, tetapi tidak optimal,” ujar Pelaksana Tugas Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mahfud MD dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Mahfud menambahkan, lewat peluncuran satelit tersebut, kapasitas internet diharapkan bisa dimanfaatkan masyarakat di lokasi-lokasi layanan publik secara bertahap mulai Januari 2024. ”Masyarakat harus membedakan bahwa proyek Satria-1 berbeda dengan proyek infrastruktur pemancar 4G (yang kini sedang tersandung kasus dugaan korupsi). Kedua proyek ini dijalankan secara berbeda,” katanya.
Satelit Satria berjenis high throughput satellite (HTS) atau satelit yang memiliki kapasitas data internet yang besar. Nilai proyek satelit Satria sebesar 545 juta dollar AS. Nilai proyek ini terdiri dari porsi ekuitas sebesar 114 juta dollar AS atau setara Rp 1,61 triliun dan utang 431 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,07 triliun.
Untuk pinjaman sebesar 431 juta dollar AS, pendanaannya bersifat sindikasi dari BPI France dan didukung oleh Banco Santander, HSBC Continental Europe, serta The Korea Development Bank (KDB). Di antara utang itu, terdapat porsi pinjaman komersial yang didanai KDB bersama Asian Infrastructure Investment Bank.
Proyek satelit Satria menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha. Badan usaha yang menjalankan adalah PT Satelit Nusantara Tiga (SNT), perusahaan yang dibentuk hasil pemenang tender yang terdiri dari PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa, dan PT Nusantara Satelit Sejahtera.
Penetapan lelang konsorsium ini dilakukan pada 26 April 2019. Adapun tahap pemenuhan pembiayaan proyek diumumkan pemerintah pada akhir Februari 2021. Untuk konstruksi, dilakukan pabrikan satelit asal Perancis, Thales Alenia Space.
Rencana awal, keberadaan satelit Satria-1 akan dipakai pemerintah untuk menyediakan akses internet bagi 150.000 titik layanan publik yang belum tersentuh ataupun kurang maksimal mendapat jangkauan internet. Sebanyak 150.000 titik layanan publik meliputi 3.700 fasilitas kesehatan, 93.900 sekolah dan pesantren, 47.900 kantor desa dan kelurahan, serta 4.500 titik layanan publik lainnya.
Namun, dalam konferensi pers, Selasa, Pelaksana Tugas Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Arief Tri Hardiyanto mengatakan, data 150.000 titik layanan publik itu merupakan data tahun 2017. Kepastian titik lokasi layanan publik bisa berubah ketika Satria-1 beroperasi Januari 2024. Saat ini, Bakti sedang mengidentifikasi kejelasan titik lokasi.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Anak-anak usia belasan tahun ini tengah belajar mengoperasikan internet dalam acara Kemah Juara di Kiara Payung, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (5/7). Dalam acara yang diadakan hingga Sabtu (7/7) itu, mereka akan menerapkan secara langsung poelajaran yang selama ini diberikan di bangku sekolah.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Ismail menambahkan, Satria-1 diperuntukkan bagi layanan publik secara gratis. Akan tetapi, Bakti punya ruang untuk mengomersialkan bagi swasta.
”Sejauh ini, kami tetap sepakat Satria-1 hanya dipakai untuk kebutuhan internet di pusat-pusat layanan publik. Sifatnya tetap,” kata Ismail.
Jaminan hidup
Presiden Direktur PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwongso, yang turut hadir, mengatakan, rata-rata usia jaminan hidup satelit adalah 15 tahun. Begitu pula dengan Satria-1. Pada tahun ke-15, Satria-1 akan diserahkan kepada pemerintah tanpa ada kompensasi kepada badan usaha.
Proyek satelit cadangan atau hot backup satellite (HBS) untuk Satria-1 akan tetap berlanjut karena proses konstruksinya sudah mencapai 80 persen. Adi menceritakan, slot HBS akan menggunakan slot Satelit Nusantara Dua yang gagal orbit pada 2020. Satelit Nusantara Dua merupakan proyek PT PSN.
”Satelit telekomunikasi akan tetap dibutuhkan untuk mendukung kebutuhan akses internet, apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan. Meski kini telah berkembang satelit berjenis orbit rendah, model satelit geostasioner, seperti Satria-1 dan proyek HBS, tetap punya kelebihan. Ongkos basisnya lebih rendah dan cocok untuk melayani pendidikan ataupun kesehatan,” papar Adi.