Statistik menunjukkan apa yang ada di media sosial jadi motivasi umum untuk membelanjakan lebih banyak uang. Tak sedikit yang akhirnya terjebak utang. Semua ini karena biaya untuk kebutuhan eksis di media sosial.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Begitu sejumlah konser bakal digelar di Indonesia, orang mulai mengingatkan agar membeli tiket dengan tidak menggunakan pinjaman daring atau pinjol. Peringatan itu juga muncul ketika orang mudah sekali berbelanja dan menggunakan pinjaman daring, tetapi tak paham konsekuensinya. Tak cuma itu, hadir di pernikahan seseorang ternyata juga menyebabkan jebakan utang. Semua ini karena biaya untuk kebutuhan eksis di media sosial.
Otoritas keuangan terus berhati-hati. Di satu sisi mereka ingin fasilitas teknologi finansial berkembang dengan baik, tetapi kemudahan itu diharapkan menghindarkan orang dari dampak negatif. Angka-angka jebakan utang itu memang belum muncul. Namun, pencarian pinjaman daring sudah menjadi pembicaraan umum di kalangan anak-anak muda untuk menutupi kebutuhan. Mereka butuh biaya, tetapi gaji tak cukup. Akhirnya, mereka lari ke pinjaman daring karena cepat dan mudah.
Pada 2017, Malaysia memperingatkan masalah seperti ini. Karena ketergantungan pada media sosial dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan citra tertentu di media sosial, pasar kelompok muda menghadapi risiko masalah yang lebih rumit ketika tiba waktunya untuk membeli kebutuhan, seperti rumah dan mobil, seiring bertambahnya usia. Otoritas mengatakan, Departemen Kepailitan telah memperingatkan meningkatnya jumlah anak muda yang ”bangkrut” di negara itu karena jebakan utang.
Kisah di Amerika Serikat (AS) mungkin menarik untuk jadi cermin. Apabila di Indonesia pesta pernikahan sering meninggalkan utang, di AS pesta pernikahan juga menyebabkan sekitar 62 persen tamu pernikahan terjebak utang berdasarkan sebuah survei pada April lalu yang dikutip dari laman Fox News. Angka ini naik dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu 40 persen. Seseorang yang hadir dan menjadi teman dekat seorang pengantin bercerita kalau berbagai kebutuhan untuk hadir di pernikahan butuh biaya sekitar 1.000 dollar AS.
Rupanya media sosial telah menekan mereka untuk hadir dan memiliki peran di dalam pernikahan-pernikahan mewah. Media sosial pula yang menyebabkan mereka agar bisa merasakan ”begini lho pernikahan mewah”. Mereka pun punya impian ketika kelak menikah, mereka akan seperti itu. Tekanan media sosial memang riil. Berdasarkan survei Deloitte di 44 negara, media sosial telah membuat 51 persen gen Z dan 43 persen milenial ingin membeli sesuatu yang sebenarnya mereka tak mampu beli.
Laporan The Ascent menyebutkan, statistik menunjukkan bahwa apa yang ada di media sosial menjadi motivasi umum untuk membelanjakan lebih banyak uang. Dalam sebuah studi oleh Allianz Life, 61 persen generasi milenial mengatakan mereka merasa tidak mampu dalam hidup karena apa yang mereka lihat di media sosial. Selain itu sebanyak 57 persen mengatakan media sosial menyebabkan mereka menghabiskan uang karena takut kehilangan peluang untuk mendapatkan barang atau layanan.
Statistik menunjukkan bahwa apa yang ada di media sosial menjadi motivasi umum untuk membelanjakan lebih banyak uang.
Credit Karma menemukan bahwa 39 persen generasi milenial bahkan pernah berutang hanya untuk mengikuti cara menikmati hidup teman-temannya. Pengeluaran berlebihan karena tekanan media sosial mungkin tampak bodoh, tapi banyak sekali orang yang jatuh ke dalam perangkap ini. Kisah-kisah yang pernah kita dengar bukanlah gosip semata, melainkan nyata terjadi di dalam kehidupan. Ada banyak cara yang sangat meyakinkan di media sosial yang membuat orang untuk berbelanja lebih banyak hingga terjebak utang.
The Ascent memberikan saran agar jebakan utang pinjaman daring bisa berkurang. Saran paling sederhana adalah membatasi waktu yang Anda habiskan di media sosial per hari. Anda juga akan membatasi berapa banyak tekanan yang Anda hadapi untuk membelanjakan uang. Salah satu cara yang baik untuk memberi diri Anda batasan waktu media sosial yang ketat adalah dengan menggunakan aplikasi, seperti Durasi Layar atau Demam Sosial, yang dapat melacak berapa banyak waktu yang Anda habiskan di jejaring sosial.
Solusi lainnya, kita harus mengingatkan diri kita bahwa media sosial tidak menunjukkan segalanya. Citra yang Anda lihat di media sosial hampir tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Seseorang mengunggah mode mewah atau foto sebuah perjalanan bisa berbiaya 10.000 dollar AS dalam bentuk utang kartu kredit karena mencoba menjalani gaya hidup yang tidak mampu mereka bayar. Media sosial cenderung menjadi sorotan kehidupan seseorang, jadi jangan tertipu dengan berpikir bahwa Anda satu-satunya yang tidak selalu berlibur.
Saran lainnya, menabunglah sebelum berbelanja. Tidak ada salahnya membelanjakan uang untuk diri sendiri, tetapi jauh lebih baik menabung terlebih dahulu agar Anda tidak terlilit utang. Cara yang bisa dilakukan adalah membuka rekening bank baru yang didedikasikan hanya untuk pembelian keinginan Anda. Pilihan lain, jika Anda tertarik untuk melakukan perjalanan adalah menggunakan kartu kredit perjalanan dan membayar poin sebanyak yang Anda bisa.
Untuk perusahaan finansial, sepertinya tidak bisa melepaskan diri dari masalah aktual ini. Mereka juga harus bertindak sebelum jebakan utang anak muda menjadi masalah besar dalam korporasi. Kita pasti paham bahwa anak muda memiliki risiko tinggi masuk dalam kredit bermasalah. Untuk itu, komunikasi yang baik akan menekan risiko ini, termasuk membuat literasi keuangan yang pas dengan gaya hidup dan kebutuhan mereka. Pengaturan iklan di media sosial juga perlu mendapat perhatian otoritas.