Kelemahan di perusahaan teknologi adalah sikap aji mumpung (moral hazard) yang dilakukan oleh para eksekutifnya. Ketamakan atau kerakusan muncul di dalam diri para eksekutifnya pada saat mereka menangani bisnis
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Andreas Maryoto
Aset kripto jatuh hingga titik terendah. Pendanaan usaha rintisan (startup) seret. Pemutusan hubungan kerja terjadi di hampir semua perusahaan teknologi. Baru saja, Silicon Valley Bank serta dua bank lainnya yang bergerak di layanan keuangan teknologi digital ditutup. Semua membawa prediksi suram bagi masa depan industri baru ini. Bagaimana ekosistem perusahaan teknologi bakal keluar dari kemelut ini?
Berbagai kasus di dunia teknologi sebenarnya sudah lama terjadi. Kita masih ingat kasus usaha rintisan bodong di bidang teknologi kesehatan bernama Theranos yang memukau banyak orang, termasuk sejumlah tokoh penting, namun pada akhirnya menyeret pendiri sekaligus CEO Elizabeth Holmes ke meja hijau hingga divonis 11 tahun penjara. Setelah itu CEO WeWork Adam Neumann harus lengser dari jabatannya karena salah mengelola perusahaannya hingga menyebabkan valuasi perusahaan terjungkal. Gaya hidupnya yang antah berantah juga menjadi sorotan.
Setelah itu CEO FTX, yang merupakan perusahaan broker aset kripto, Sam Bankman-Fried mengundurkan diri dari jabatannya dan berurusan dengan hukum. Ia ditangkap oleh aparat di Bahama. Otoritas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Sam melakukan tindak penipuan. Saat krisis likuiditas menimpa FTX karena para investor menarik dananya, Sam disebut memindahkan sejumlah dana ke sebuah lembaga miliknya. Ia sempat mengundurkan diri dari jabatannya namun otoritas tetap mempermasalahkan kemungkinan tindak kriminal yang dilakukan oleh Sam.
AFP/NICK OTTO
Elizabeth Holmes and partner Billy Evans, (03/01/2022), berjalan keluar pengadilan federal di San Jose, California, Amerika Serikat. Holmes adalah pendiri dan CEO perusahaan rintisan bodong di bidang kesehatan, Theranos.
Melihat kasus-kasus itu maka kita bisa mengambil kesimpulan kelemahan di perusahaan teknologi adalah sikap aji mumpung ( moral hazard) yang dilakukan oleh para eksekutifnya. Ketamakan atau kerakusan muncul di dalam diri para eksekutifnya pada saat mereka menangani bisnis. Sejumlah pimpinan di Theranos sempat menasihati Holmes agar terbuka terhadap masalah yang dihadapi yaitu teknologi yang dikembangkan tidak berjalan. Akan tetapi Holmes malah meminta mereka agar tidak memberitahukan masalah ini ke investor. Keinginan untuk menjadi besar dan berkuasa menutup kejujuran mereka.
Dalam kasus Silicon Valley Bank kita melihat kelemahan yang lain dari perusahaan teknologi dan usaha rintisan. Infrastruktur keuangan mereka memiliki sejumlah kelemahan. Kucuran dana melimpah dari perusahaan modal ventura yang telah lama terjadi langsung mengering begitu otoritas menaikkan suku bunga. Pemilik modal memilih mengamankan dananya dan juga mencari tempat yang lebih aman dibandingkan berinvestasi di perusahaan rintisan. Otomatis dana tidak mengalir ke perusahaan rintisan. Kekeringan ini menyebabkan perusahaan rintisan mencairkan dana tunai di bank tersebut untuk kebutuhan operasional. Dengan demikian kita bisa melihat betapa lemahnya infrastruktur keuangan dalam perusahaan teknologi.
Sepintas, kasus ini hanyalah masalah perbankan murni. Akan tetapi kalangan keuangan kini lebih berfokus pada tata kelola (governance) baik di kalangan perusahaan rintisan maupun bank tersebut. Mereka mempertanyakan, bagaimana respons awal mereka ketika diketahui terjadi kejanggalan dalam pencairan dana? Bagaimana mereka berkomunikasi dengan otoritas ketika ada tanda-tanda masalah itu mulai muncul? Bagaimana langkah para pemilik saham ketika masalah mulai muncul?
Pertanyaan lebih jauh adalah pengelolaan dana dari pemodal ventura oleh perusahaan teknologi dan usaha rintisan sendiri selama ini. Mengapa dana mereka cepat mengering? Kita perlu menilik prinsip kehati-hatian mereka. Penghamburan uang mudah sekali terjadi dalam hal gaji para karyawannya yang secara umum berlipat dibandingkan perusahaan lainnya. Gaya hidup mereka, seperti gaya hidup Adam Neumann yang gemar naik pesawat privat serta memiliki rumah mewah, mencerminkan pengeluaran mereka tidak terkendali. Penggelontoran dana besar dari investor sepertinya membuat mereka mudah gelap mata. Bukannya mengembangkan bisnis tetapi mereka malah berfoya-foya. Mental muda dan merasa kaya sepertinya mudah sekali menjangkiti mereka.
Dalam kasus pengembangan teknologi, tidak sedikit usaha rintisan dan perusahaan teknologi yang sekadar ikut-ikutan. Mereka juga main klaim berlebihan. Setidaknya hal ini terlihat dalam pengembangan metamesta (metaverse). Hampir semua perusahaan teknologi kemudian menahbiskan dirinya sebagai perusahaan metamesta sekalipun mereka sekadar mengembangkan teknologi realitas virtual (virtual reality) dan realitas tertambahkan ( augmented reality). Mereka langsung kebingungan ketika tren teknologi ternyata bukan metamesta tetapi kecerdasan buatan.
Melihat ketiga hal itu saja yaitu sikap aji mumpung di kalangan eksekutifnya, infrastruktur keuangan yang lemah, dan orientasi pengembangan teknologi yang sekadar ikut-ikutan maka cukup bagi kita untuk menyatakan usaha rintisan dan perusahaan teknologi sebenarnya menggali kuburnya sendiri. Mereka rontok satu persatu dan bahkan tewas ketika mereka tidak berusaha untuk melakukan perbaikan. Suatu saat mungkin hanya penyesalan yang muncul. Nasi sudah menjadi bubur.
AFP/JUSTIN SULLIVAN
Seorang karyawan memberi tahu orang-orang bahwa kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) ditutup pada 10 Maret 2023 di Santa Clara, California, AS.
Apakah ketiga kelemahan itu ada di kalangan perusahaan teknologi dan usaha rintisan dan perusahaan teknologi di Tanah Air? Sudah barang tentu ada. Sikap aji mumpung kerap kita lihat di kalangan mereka. Kelemahan infrastruktur keuangan mulai terlihat ketika pemilik modal di Indonesia terlambat merespons perkembangan model bisnis usaha rintisan pada masa awal. Mereka sekadar ikut-ikutan. Tren teknologi yang tidak dicermati juga menyebabkan usaha rintisan dan perusahaan teknologi di Indonesia sekadar ke sana ke mari saja. Minim inovasi. Tidak sedikit perusahaan yang berpartner pun tertipu.
Akan tetapi dari ketiganya, sikap aji mumpung mungkin salah satu yang perlu mendapat perhatian. Sikap ini sangat boleh jadi malah yang akan menjadikan usaha rintisan dan perusahaan teknologi di Tanah Air rentan dirundung masalah. Dari mulai gaya hidup, berelasi dengan pihak ketiga, hingga cara-cara mengatasi setiap masalah menjadi cerminan ada atau tidaknya sikap tercela itu. Apalagi ketika uang dianggap bisa mengatasi berbagai masalah atau digunakan di setiap upaya mengatasi masalah maka mereka mulai menggali kubur sendiri. Perusahaan yang tidak memiliki nilai-nilai yang kuat mudah masuk dalam perangkap ini.
Bagaimana cara usaha rintisan atau perusahaan teknologi terhindar dari menggali kubur sendiri ini? Tidak ada cara lain mereka harus memiliki nilai-nilai yang kuat yang bisa dipegang oleh bawahan sampai atasan hingga sikap aji mumpung itu tidak muncul. Bukankah ide penggunaan uang untuk sogok, bergaya hidup berlebihan, dan upaya tidak terpuji lainnya tidak akan muncul ketika nilai-nilai di antara mereka sangat kuat? Holmes, Neumann, dan Bankman-Fried menjadi contoh betapa mereka lemah dalam membangun nilai-nilai perusahaan. Kuburan menjadi akhir dari usaha yang didirikan oleh mereka.
Bila usaha rintisan dan perusahaan teknologi memiliki nilai-nilai yang kuat, masa depan tidak bakal lagi suram. Badai akan berlalu. Mereka yang selamat dari badai adalah mereka yang kuat dengan prinsip-prinsip yang bisa dipegang oleh semua yang berada di dalam perusahaan.