Sistem blokir otomatis (”automatic blocking system”) akan digunakan untuk upaya penyelesaian piutang negara lainnya selain penerimaan negara bukan pajak (PNBP), seperti pajak dan bea cukai.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan akan memperluas cakupan sistem blokir otomatis untuk menagih piutang negara lainnya di luar penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. Perusahaan yang kerap mangkir dari kewajiban pembayaran akan semakin sulit mengakali sistem. Pemasukan dari berbagai sektor penerimaan negara pun diharapkan bisa meningkat lebih pesat.
Sebelumnya, sistem blokir otomatis (automatic blocking system/ABS) hanya berlaku untuk menindak perusahaan yang kerap menunggak pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Korporasi yang belum membayar atau melunasi sisa kekurangan kewajiban PNBP akan diblokir dari Sistem Informasi Pembayaran PNBP Online (SIMPONI) sehingga tidak bisa menjalankan kegiatan usahanya.
Pemerintah baru-baru ini merevisi regulasi untuk membuat pemblokiran itu menjadi lebih ketat, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Salah satunya, dalam Pasal 184E diatur, sistem blokir otomatis dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian piutang negara lainnya selain piutang PNBP.
Upaya penyelesaian piutang negara lainnya itu diajukan melalui usulan dari unit eselon I di Kementerian Keuangan, seperti dari Direktorat Jenderal Pajak atau Bea dan Cukai, kepada Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu. Usulan itu dapat disampaikan melalui sistem informasi yang sudah terintegrasi dengan sistem blokir otomatis atau ABS.
Direktur PNBP Kementerian/Lembaga Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (DJA Kemenkeu) Wawan Sunarjo, Minggu (11/6/2023), mengatakan, secara prinsip, sistem blokir otomatis kelak akan diterapkan untuk semua badan usaha yang mempunyai tunggakan kewajiban keuangan negara, baik PNBP maupun perpajakan (pajak dan bea cukai).
Tunggakan pada salah satu sektor penerimaan akan berakibat pada diblokirnya layanan di semua sektor. Misalnya, perusahaan yang memiliki tunggakan PNBP tidak hanya akan diblokir dari SIMPONI atau layanan PNBP, tetapi juga dari layanan kepabeanan. Misalnya, penerbitan dokumen ekspor atau Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) akan dihentikan sampai utang dilunasi.
Demikian pula, jika ada badan usaha yang memiliki utang pajak, otomatis pejabat perusahaan terkait juga akan diblokir dari berbagai layanan lainnya di kepabeanan atau PNBP. Bahkan, ikut diblokir dari layanan lain di luar Kemenkeu, seperti layanan keimigrasian. Pemerintah menargetkan integrasi sistem ini bisa tercapai dalam dua tahun.
”Direksi atau komisaris perusahaan yang mau membuat paspor bisa diblokir dari layanan imigrasi, sampai perusahaan itu melunasi tunggakan PNBP, pajak, dan bea cukai. Jadi, tidak ada istilahnya seseorang bisa lolos di pajak, bea cukai dan PNBP, semuanya akan terintegrasi ke depan,” kata Wawan saat dihubungi.
Informasi yang terpadu lintas sektor penerimaan negara juga bisa membantu akurasi dalam pemeriksaan pajak. Wawan mencontohkan, kantor pelayanan pajak (KPP) dapat membuka data PNBP untuk mengecek antara pembayaran PNBP yang sudah dilunasi dengan laporan beban perusahaan di Surat Pemberitahuan (SPT) pajak bersangkutan.
”Jadi akan langsung ketahuan jika ternyata di SIMPONI, perusahaan itu hanya bayar PNBP Rp 50 juta, tetapi di SPT melaporkan beban sekian miliar. Itu semua nanti akan mudah dideteksi dari sistem,” ujarnya.
Masih manual
Saat ini, sistem blokir otomatis baru berlaku di sektor pemasukan PNBP karena sistem ABS belum terintegrasi antarunit. Koordinasi tetap dilakukan, tetapi masih melalui cara manual atau surat-menyurat. Proses administrasi pun tidak bisa cepat dieksekusi dan beberapa kasus berpotensi luput dari perhatian.
”Sekarang ini lewat surat-menyurat biasanya butuh 5 jam untuk proses memblokir atau membuka blokir. Dengan sistem yang terintegrasi, diupayakan dalam hitungan menit layanan sudah bisa terblokir atau bisa terbuka blokirnya. Tinggal klik-klik saja, tak perlu surat-suratan,” kata Wawan.
Selama ini, kebocoran penerimaan melalui PNBP menjadi salah satu masalah yang kerap menghambat laju penerimaan negara. Kasus seperti ini kerap ditemukan di sektor komoditas berbasis sumber daya alam, seperti batubara dan sawit.
Sistem blokir otomatis kini sudah diterapkan di dua kementerian yaitu Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam waktu dua minggu terakhir sejak aturan sistem itu diperbarui, pemerintah telah memblokir 150 wajib bayar yang harus menyelesaikan piutangnya di KLHK, serta 169 wajib bayar di Kementerian ESDM.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, penerimaan PNBP ditargetkan Rp 441,4 triliun, menurun dibandingkan realisasi PNBP 2022 yang sebesar Rp 588,3 triliun. Adapun target PNBP tahun ini terdiri dari pungutan SDA sebesar Rp 196 triliun, komponen PNBP lain sebesar Rp 113,3 triliun, badan layanan umum (BLU) Rp 83 triliun, dan kekayaan negara dipisahkan (KND) Rp 49,1 triliun.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan, pada prinsipnya, pengetatan sistem blokir otomatis pada pengelolaan PNBP maupun penerimaan lainnya otomatis bisa meningkatkan kepatuhan para pelaku usaha. ”Tentu, dengan memperluasnya untuk diterapkan pada pajak dan bea cukai, ini juga berpotensi meningkatkan kepatuhan seluruh wajib pajak,” katanya.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana Kemenkeu menyiapkan sistem yang memudahkan para pelaku usaha atau wajib bayar dalam melakukan penyetoran. ”Sistem ini kelihatannya lebih rigid sehingga akan merugikan pelaku usaha apabila ketika pelaku usaha sudah memiliki keinginan untuk patuh dan membayar, tetapi sistem yang disiapkan memiliki masalah sehingga memblokir pelaku usaha itu dalam mendapatkan pelayanan lainnya dari pemerintah,” kata Josua.