Cawe-cawe Pembangunan
“Cawe-cawe” Presiden menjelang pemilu bisa saja mendorong kesinambungan pembangunan. Namun, desain transformasi ekonomi dan industrialisasi menuju 2045 harus terlebih dulu disusun dengan komprehensif dan inklusif.
”Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentunya dalam arti yang positif,” demikian pernyataan Presiden Joko Widodo di hadapan sejumlah pemimpin redaksi media massa, pekan lalu.
Kalimat itu memancing berbagai spekulasi. Ada yang memaknainya sebagai manuver menjelang pemilu, ada pula yang melihatnya sebagai upaya Presiden untuk memastikan program pembangunan yang berjalan 10 tahun terakhir ini akan dilanjutkan oleh rezim berikutnya.
Di saat yang sama, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memang sedang menyusun draf Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJPN) tahun 2025-2045. Presiden berharap peta jalan menuju Visi Indonesia Emas 2045 itu bisa dijadikan landasan oleh calon presiden dan calon kepala daerah berikutnya saat menyusun visi-misi.
Baca juga: Jaga Kesinambungan Pembangunan, RPJPN Perlu Lebih Mengikat
Lepas dari berbagai tafsir politik yang ramai bergulir, tak dimungkiri, salah satu masalah klasik di negara ini adalah pembangunan yang bisa terputus sewaktu-waktu seturut pergantian pemerintahan.
Kebijakan kerap kali bersifat ad hoc serta bertentangan antara pusat-daerah maupun lintas sektor. Itu menjadi salah satu faktor yang membuat ekonomi RI sulit berlari kencang. Selama 30 tahun terakhir, sejak 1993, Indonesia terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap) dengan ekonomi tumbuh stagnan di kisaran 5 persen.
Indonesia bercita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi saat menginjak usia satu abad alias Visi Indonesia Emas 2045. Rancangan Undang-Undang (RUU) RPJPN 2025-2045 yang kini digodok pemerintah pun menargetkan peningkatan produktivitas lewat transformasi ekonomi dan industrialisasi untuk mencapai impian tersebut.
Secara umum, transformasi ekonomi dalam draf RPJPN baru terbagi menjadi empat tahapan. Pada periode 2025-2029, hilirisasi sumber daya alam, penguatan riset inovasi serta produktivitas tenaga kerja akan dipacu. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan naik ke 5,7-5,9 persen dan kontribusi industri pengolahan 19,9 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sebagai perbandingan, per 2022, share manufaktur terhadap PDB hanya 18,34 persen, turun signifikan dalam 15 tahun terakhir. Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi dini, di mana struktur ekonomi mulai bergeser menuju sektor jasa sebelum sektor manufaktur mencapai fase kejayaannya.
Pada tahap kedua, periode 2030-2034, peningkatan produktivitas akan dipercepat dan wilayah sumber pertumbuhan ekonomi diperluas. Ekonomi disasar tumbuh di kisaran 6,1-7,0 persen dengan kontribusi manufaktur meningkat menjadi 23 persen terhadap PDB.
Tak dimungkiri, salah satu masalah klasik di negara ini adalah pembangunan yang bisa terputus sewaktu-waktu seturut pergantian pemerintahan.
Pada 2035-2039, RI diharapkan menjadi pusat kekuatan ekonomi yang terintegrasi dengan jaringan rantai pasok global dan domestik serta ekspor yang kokoh. Di periode ini, ekonomi meroket ke 7-9 persen dan share industri pengolahan 30 persen terhadap PDB.
Sementara pada tahap final transformasi ekonomi (2040-2045), Indonesia ditargetkan menjadi negara berpendapatan tinggi. Seiring dengan itu, pertumbuhan ekonomi akan termoderasi menjadi 5,8-7,1 persen dan share industri pengolahan menurun ke 28 persen terhadap PDB. Pada periode ini, jumlah penduduk kelas menengah ditargetkan mencapai 80 persen dari populasi.
Cita-cita tinggi itu tentu akan sulit dicapai jika kebijakan terus berubah-ubah. Pemerintah pun bermaksud memasukkan klausul yang lebih mengikat dalam RUU RPJPN untuk menjamin desain pembangunan tidak terputus di tengah jalan meski presiden dan kepala daerah berganti. Salah satunya, melalui sanksi atau insentif dan disinsentif kepada pemimpin berikutnya.
Transformasi sosial
Cara-cara tersebut, bersamaan dengan ”cawe-cawe” Presiden menjelang pemilu, bisa saja mendorong kesinambungan pembangunan. Namun, sebelum mengambil langkah besar itu, desain transformasi ekonomi dan industrialisasi menuju 2045 harus terlebih dulu disusun dengan komprehensif dan inklusif.
Baca juga: Menahan Deindustrialisasi Dini
Berkaca pada peta jalan kebijakan industri sejauh ini, ada kesan Indonesia belum memiliki arah yang jelas. Pandemi yang masih meninggalkan bekas luka, percepatan digitalisasi dan otomasi, pergeseran struktur rantai pasok dunia, serta tuntutan transformasi ekonomi hijau, menambah tantangan dalam menyusun desain besar arah industrialisasi.
Pemerintah telah berupaya menggenjot kembali industrialisasi dalam tiga tahun terakhir melalui hilirisasi, khususnya di sektor pertambangan. Tetapi, itu saja tidak cukup untuk menyejahterakan masyarakat.
Dari segi kinerja ekspor, dampak hilirisasi memang tak diragukan. Nilai ekspor komoditas nikel, misalnya, melonjak setelah ekspor nikel mentah dilarang. Pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah penghasil nikel juga melejit signifikan.
Namun, efek langsungnya pada penciptaan lapangan kerja belum maksimal. Akibat sifat investasi hilirisasi tambang yang lebih padat modal atau teknologi, serapan tenaga kerja belum sejalan dengan besarnya nilai investasi yang masuk.
Tingkat kemiskinan di daerah penghasil nikel masih termasuk yang tertinggi. Sebagai contoh, meski ekonomi Sulawesi Tengah tumbuh drastis 15,17 persen pada 2022, angka kemiskinan di provinsi itu per September 2022 adalah 12,3 persen dari total populasi (389.700 orang), meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 12,18 persen (381.200 orang).
Akibat sifat investasi hilirisasi tambang yang lebih padat modal atau teknologi, serapan tenaga kerja belum sejalan dengan besarnya nilai investasi.
Oleh karena itu, strategi industrialisasi harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat. Badan Pusat Statistik mencatat, mayoritas angkatan kerja masih berpendidikan SMP ke bawah. Dengan kondisi itu, hilirisasi yang bisa berdampak langsung ke masyarakat bukan pada sektor tambang, melainkan pertanian dan perkebunan yang bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal berlatar pendidikan rendah.
Hilirisasi di sektor lain yang sifatnya padat karya itu perlu dikembangkan dari sekarang untuk memenuhi kebutuhan penciptaan lapangan kerja berkualitas, setidaknya untuk 5-10 tahun pertama transformasi ekonomi. Sementara, untuk jangka panjang, peningkatan kualitas pendidikan dan kapasitas masyarakat menjadi syarat mutlak untuk mengejar laju industrialisasi yang cepat.
Pembangunan industri juga perlu diiringi dengan industrialisasi kecil-menengah yang inklusif di kawasan pedesaan dan kantong-kantong kemiskinan. Artinya, warga pedesaan bukan sekadar berperan sebagai tenaga kerja yang duduk manis menanti lapangan kerja dari investasi besar atau asing yang masuk, tetapi turut menjadi pelaku industri utama di daerahnya masing-masing.
Transformasi ekonomi tidak berjalan sendiri. Suatu negara bisa saja mengalami industrialisasi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi masyarakatnya tidak sejahtera. Itulah mengapa masyarakat harus menjadi subyek dan aktor pembangunan, bukan hanya penonton, target pasar, atau buruh berupah rendah.
Setelah desain pembangunan ekonomi jangka panjang dirumuskan secara komprehensif dan inklusif, pekerjaan rumah berikutnya adalah bergerilya atau “cawe-cawe” untuk menjamin kesinambungan pembangunan, seperti tekad Presiden. Besar harapan agar kali ini kompetisi politik jangka pendek tidak lagi menjadi kerikil dalam pembangunan.
Baca juga: Industrialisasi Jadi Jalan Keluar dari Jebakan Negara Berpendapatan Menengah