Di tengah pandemi, Indonesia butuh kebijakan reindustrialisasi yang kuat untuk menopang pemulihan ekonomi, melalui pengembangan sektor bernilai tambah tinggi, berorientasi ekspor, dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Kompas/AGUS SUSANTO
Aktivitas alat berat dalam proyek konstruksi pendirian pabrik otomotif di kawasan industri GICC, Desa Sukamukti, Kecamatan Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020).
Suka tidak suka, Indonesia sedang mengalami gejala deindustrialisasi. Fenomena ini juga terjadi di banyak negara, seiring pesatnya perkembangan teknologi dan otomasi. Namun, tidak seperti di negara maju, dampak deindustrialisasi dini di negara berkembang seperti Indonesia bisa lebih buruk, terutama di tengah pandemi Covid-19.
Meski pemerintah berkali-kali membantahnya, berbagai indikator menunjukkan, deindustrialisasi dini memang sedang terjadi. Pertama, peran sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun sejak tahun 2015.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2008, kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB nasional masih mencapai 27,8 persen. Kontribusinya mulai anjlok ke angka 22 persen pada tahun 2010. Lalu, tahun 2020 peranannya menurun ke level 19,8 persen. Pada triwulan II-2021, kontribusi sektor manufaktur kembali merosot menjadi 17,34 persen.
Kedua, dampak penyerapan tenaga kerja dari investasi yang masuk semakin tidak signifikan. Pada semester I-2021, Rp 442,8 triliun investasi yang masuk menyerap 623.715 pekerja. Meski meningkat dibandingkan tahun lalu, tingkat serapan tenaga kerja dari investasi terus menurun dibandingkan periode 2014-2016. Lapangan kerja memang tercipta, tetapi tidak cukup banyak dan layak.
Hal itu tidak lepas dari tren investasi yang semakin bergeser pada sektor jasa ketimbang manufaktur. Data Kementerian Investasi, capaian realisasi investasi di sektor jasa (tersier) masih mendominasi sepanjang semester I-2021 dengan nilai Rp 218,8 triliun atau setara 49,4 persen dari total investasi pada Januari-Juni 2021 senilai Rp 442,8 triliun.
Sementara itu, sejak 2017 investasi di industri manufaktur (sekunder) mengalami tren menurun. Pada semester I-2021, investasi di sektor manufaktur tercatat senilai Rp 167,1 triliun atau setara 37,8 persen dari total nilai investasi.
Kenaikan harga komoditas (commodity boom) yang saat ini terjadi di tengah pandemi juga patut diwaspadai. Sampai akhir September, harga minyak mentah naik hingga 46,1 persen secara year to date (ytd), harga gas bumi melonjak 96 persen ytd, batubara naik ratusan persen, begitu juga dengan harga minyak kelapa sawit (CPO) yang naik 14,9 persen ytd.
Di satu sisi, kenaikan harga komoditas ini menguntungkan Indonesia sebagai pemasok global. Namun, belajar dari sejarah, Indonesia kerap lupa diri ketika sedang mengalami commodity boom. Pengembangan industri kerap terlupakan dan gejala deindustrialisasi dini semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Mengutip ekonom Bank Dunia, Maria Monica Wihardja, dalam tulisannya ”The Effect of the Commodity Boom on Indonesia’s Macroeconomic Fundamentals and Industrial Development”, ledakan komoditas pada periode 2001-2012 adalah langkah mundur bagi industrialisasi di Indonesia.
Saat itu, terlena ledakan komoditas, perekonomian lebih banyak ditopang industri ekstraktif. Pertumbuhan ekonomi memang sempat melejit sampai 6,5 persen tahun 2011. Namun, ketika ledakan komoditas berakhir tahun 2012, fundamental ekonomi makro ikut terpuruk. Akibatnya, laju industrialisasi terhambat, kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan juga semakin parah.
Deindustrialisasi memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara maju sudah duluan melalui fase deindustrialisasi secara ”alamiah”, yakni ketika sektor manufaktur di negara terkait sudah mencapai puncak kejayaannya, dan ekonomi negara itu perlahan beralih ke sektor jasa.
Alamiah ataupun prematur, dampak deindustrialisasi selalu buruk bagi masyarakat setempat. Kawasan ”sabuk berkarat” (rust belt) di Amerika Serikat, misalnya, adalah gambaran dampak buruk deindustrialisasi, ketika industri manufaktur yang menjadi tulang punggung mengalami kemunduran dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Sampai sekarang, zona sabuk berkarat menjadi contoh negara bagian dengan tingkat kemiskinan tertinggi di AS.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekerja industri mengecek barang-barang yang siap diekspor berupa peralatan dapur modern di Pabrik Nayati, Terboyo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (17/9/2020).
Deindustrialisasi dini yang kini terjadi di Indonesia dan beberapa negara berkembang berpotensi memberi dampak lebih parah karena terjadi di tengah tekanan pandemi Covid-19, ketika tingkat pengangguran dan angka kemiskinan sedang tinggi-tingginya. Gejala deindustrialisasi terjadi bahkan sebelum Indonesia mengalami fase kejayaan manufaktur.
Tantangan industrialisasi juga lebih kompleks. Pesatnya perkembangan teknologi mendorong otomasi dan digitalisasi, yang membuat sektor manufaktur tidak lagi sepadat karya dulu.
Reindustrialisasi
Di tengah pandemi Covid-19, Indonesia membutuhkan kebijakan reindustrialisasi yang kuat untuk menopang upaya pemulihan ekonomi, melalui pengembangan sektor yang bernilai tambah tinggi, berorientasi ekspor, dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat serta tren digitalisasi dan otomasi di sektor manufaktur memang menjadi tantangan. Pasalnya, industri semakin padat teknologi ketimbang padat karya, yang berarti lebih sedikit orang yang akan dipekerjakan di sektor manufaktur meskipun industrialisasi didorong mati-matian.
Hal ini mulai tampak dari tren investasi di sektor manufaktur yang masih meningkat secara tahunan, tetapi penyerapan tenaga kerjanya tidak lagi signifikan. Pemerintah mengakui, meski investasi di sektor manufaktur bertumbuh, pelaku usaha lebih banyak memilih investasi yang padat teknologi dibandingkan padat karya (Kompas, 4/10/2021).
Berinvestasi pada mesin dinilai lebih murah dibandingkan mempekerjakan banyak orang serta menanggung asuransi dan pajak pekerja. Di sisi lain, ada pula problem struktural berupa sedikitnya angkatan kerja nasional yang dinilai terampil sesuai dengan kebutuhan industri.
Ekonom dari Universitas Harvard, Dani Rodrik, dalam tulisannya Fixing Capitalism’s Good Jobs Problem mengatakan, kesenjangan antara kapasitas angkatan kerja dan teknologi di sektor manufaktur itu dapat diatasi melalui dua cara. Pertama, meningkatkan pendidikan dan keterampilan pekerja agar sesuai dengan kebutuhan industri. Kedua, mengarahkan penerapan inovasi teknologi di sektor manufaktur agar sesuai dengan kondisi realitas angkatan kerja setempat.
Bagi negara-negara berkembang yang ada di ambang deindustrialisasi, penerapan teknologi di sektor manufaktur harus ”bersahabat” dengan pekerja. Digitalisasi dan otomasi jangan sampai menggantikan (replace) pekerja, melainkan membantu (augment) pekerja dalam menjalankan aktivitas. Tentu saja, ini harus diiringi dengan pengembangan kapasitas sumber daya manusia agar tetap relevan dengan teknologi yang digunakan.
Pada satu titik, deindustrialisasi memang akan terjadi. Tatanan ekonomi akan bergeser dari agrikultur menuju industri pengolahan, kemudian berkembang ke sektor jasa. Namun, ini belum saatnya Indonesia takluk pada deindustrialisasi dan melangkah menuju era pasca-industrial, terutama di tengah tantangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.